Minggu, 30 Juni 2013

Mempunyai Tiga Orang tua ???

Apa yang terjadi di Dunia sekarang ini ?

Bukankah ini pertanda akan datang Kiamat ?
 Dan Dajjal akan segera keluar ?

Dan ini menjadi tantangan bagi kaum muslimin dan muslimat



Di negara-negara di mana perselingkuhan menjadi hal yang wajar, tingkat satanisasi telah mencapai proporsi pandemi.  Tujuan utama adalah untuk mendistorsi esensi dari sifat manusia.
Moral, etika dan bahkan peraturan kesehatan yang melindungi masyarakat telah berubah menjadi kebinatangan yang menghancurkan.  Salah satu tujuan utama satanisasi adalah kehancuran keluarga, lansir Kavkaz Center.
Beberapa saat setelah media mengatakan kepada dunia bahwa pemerintah Inggris akan menghilangkan istilah seperti “ibu” dan “Ayah” serta “istri” dan “suami”, sebuah laporan baru keluar.
Pada musim gugur 2013, yang disebut “konsepsi trinitas” akan dilegalkan di Inggris, maka secara hukum diperbolehkan untuk mencampur gen dari tiga orang dalam inseminasi buatan.
Ilmuwan Inggris mengumumkan beberapa tahun yang lalu.  Tapi Undang-undang pencampuran gen dari tiga orang yang berbeda untuk inseminasi buatan akan diadopsi musim gugur ini, ujar Otoritas Fertilisasi dan Embriologi Manusia Inggris (HFEA) mengatakan hanya selang sehari setelah sebuah pernyataan yang sama diterbitkan di website resmi mereka.
Menurut The Independent, penguasa Inggris memutuskan untuk memperluas konsep “keluarga non-tradisional”.  Pengesahan Undang-undang yang sedang diselesaikan musim gugur ini, berarti izin untuk mengubah kode genetik manusia.  “Anak yang dikandung oleh tiga ‘orang tua’ akan berisi informasi DNA dari tiga orang yang berbeda yang sebenarnya mirip dengan mengubah sifat manusia.”
Harus disebutkan dalam konteks ini bahwa Islam memperingatkan bahwa setan berusaha untuk mengubah dan merusak ciptaan Allah.
Bagaimanapun, teknologi maupun uji empiris berusaha memberikan dasar ilmiah untuk mempelajari efek mutasi pada faktor genetis.  Metode “konsepsi tiga cara” menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan ahli genetika saat ini, mungkinkah embrio tersebut akan dikandung hingga akhir masanya?.
Para ilmuwan dan ahli Inggris yang mendukung metode ini bersembunyi di balik argumen tentang kesehatan manusia.  Menurut mereka hal ini bisa “mengurangi resiko penyakit genetik yang diwariskan pada anak-anak” seperti hemofilia. (haninmazaya/arrahmah.com)



Di negara-negara di mana perselingkuhan menjadi hal yang wajar, tingkat satanisasi telah mencapai proporsi pandemi.  Tujuan utama adalah untuk mendistorsi esensi dari sifat manusia.
Moral, etika dan bahkan peraturan kesehatan yang melindungi masyarakat telah berubah menjadi kebinatangan yang menghancurkan.  Salah satu tujuan utama satanisasi adalah kehancuran keluarga, lansir Kavkaz Center.
Beberapa saat setelah media mengatakan kepada dunia bahwa pemerintah Inggris akan menghilangkan istilah seperti “ibu” dan “Ayah” serta “istri” dan “suami”, sebuah laporan baru keluar.
Pada musim gugur 2013, yang disebut “konsepsi trinitas” akan dilegalkan di Inggris, maka secara hukum diperbolehkan untuk mencampur gen dari tiga orang dalam inseminasi buatan.
Ilmuwan Inggris mengumumkan beberapa tahun yang lalu.  Tapi Undang-undang pencampuran gen dari tiga orang yang berbeda untuk inseminasi buatan akan diadopsi musim gugur ini, ujar Otoritas Fertilisasi dan Embriologi Manusia Inggris (HFEA) mengatakan hanya selang sehari setelah sebuah pernyataan yang sama diterbitkan di website resmi mereka.
Menurut The Independent, penguasa Inggris memutuskan untuk memperluas konsep “keluarga non-tradisional”.  Pengesahan Undang-undang yang sedang diselesaikan musim gugur ini, berarti izin untuk mengubah kode genetik manusia.  “Anak yang dikandung oleh tiga ‘orang tua’ akan berisi informasi DNA dari tiga orang yang berbeda yang sebenarnya mirip dengan mengubah sifat manusia.”
Harus disebutkan dalam konteks ini bahwa Islam memperingatkan bahwa setan berusaha untuk mengubah dan merusak ciptaan Allah.
Bagaimanapun, teknologi maupun uji empiris berusaha memberikan dasar ilmiah untuk mempelajari efek mutasi pada faktor genetis.  Metode “konsepsi tiga cara” menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan ahli genetika saat ini, mungkinkah embrio tersebut akan dikandung hingga akhir masanya?.
Para ilmuwan dan ahli Inggris yang mendukung metode ini bersembunyi di balik argumen tentang kesehatan manusia.  Menurut mereka hal ini bisa “mengurangi resiko penyakit genetik yang diwariskan pada anak-anak” seperti hemofilia. (haninmazaya/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/07/01/satanisasi-inggris-membolehkan-melahirkan-anak-dari-tiga-orang-tua.html#sthash.5yLniq11.dpuf
Di negara-negara di mana perselingkuhan menjadi hal yang wajar, tingkat satanisasi telah mencapai proporsi pandemi.  Tujuan utama adalah untuk mendistorsi esensi dari sifat manusia.
Moral, etika dan bahkan peraturan kesehatan yang melindungi masyarakat telah berubah menjadi kebinatangan yang menghancurkan.  Salah satu tujuan utama satanisasi adalah kehancuran keluarga, lansir Kavkaz Center.
Beberapa saat setelah media mengatakan kepada dunia bahwa pemerintah Inggris akan menghilangkan istilah seperti “ibu” dan “Ayah” serta “istri” dan “suami”, sebuah laporan baru keluar.
Pada musim gugur 2013, yang disebut “konsepsi trinitas” akan dilegalkan di Inggris, maka secara hukum diperbolehkan untuk mencampur gen dari tiga orang dalam inseminasi buatan.
Ilmuwan Inggris mengumumkan beberapa tahun yang lalu.  Tapi Undang-undang pencampuran gen dari tiga orang yang berbeda untuk inseminasi buatan akan diadopsi musim gugur ini, ujar Otoritas Fertilisasi dan Embriologi Manusia Inggris (HFEA) mengatakan hanya selang sehari setelah sebuah pernyataan yang sama diterbitkan di website resmi mereka.
Menurut The Independent, penguasa Inggris memutuskan untuk memperluas konsep “keluarga non-tradisional”.  Pengesahan Undang-undang yang sedang diselesaikan musim gugur ini, berarti izin untuk mengubah kode genetik manusia.  “Anak yang dikandung oleh tiga ‘orang tua’ akan berisi informasi DNA dari tiga orang yang berbeda yang sebenarnya mirip dengan mengubah sifat manusia.”
Harus disebutkan dalam konteks ini bahwa Islam memperingatkan bahwa setan berusaha untuk mengubah dan merusak ciptaan Allah.
Bagaimanapun, teknologi maupun uji empiris berusaha memberikan dasar ilmiah untuk mempelajari efek mutasi pada faktor genetis.  Metode “konsepsi tiga cara” menimbulkan banyak pertanyaan di kalangan ahli genetika saat ini, mungkinkah embrio tersebut akan dikandung hingga akhir masanya?.
Para ilmuwan dan ahli Inggris yang mendukung metode ini bersembunyi di balik argumen tentang kesehatan manusia.  Menurut mereka hal ini bisa “mengurangi resiko penyakit genetik yang diwariskan pada anak-anak” seperti hemofilia. (haninmazaya/arrahmah.com)
- See more at: http://www.arrahmah.com/news/2013/07/01/satanisasi-inggris-membolehkan-melahirkan-anak-dari-tiga-orang-tua.html#sthash.5yLniq11.dpuf

Kata-kata orang bijak tentang Ibu

Seseorang menanyakanku, Mana lebih Indah Ibumu dengan Bulan ?
Jawabku :
Jika aku Memandang Ibuku maka aku lupa pada bulan,
Jika aku memandang Bulan aku teringat pada Ibu.

Dipetik dari kata orang-orang bijak.

Sabda Rasul tentang Syam ( Syiria )

Rasulullah SAW bersabda :
 
Kebaikan itu ada Sepuluh bahagian, 9 ada disyam, dan 1 ada disemua tempat lain, Keburukan itu ada 10 bahagian 1 nya di Syam,dan 9 nya diseluruh tempat yang lain, Maka jika Penduduk Syam itu telah Rusak maka tiada kebaikan padamu.

Tarikh Madinah Damsyiq Bagi Ibnu `Asakir




Senjata Pemikiran Islam


Karangan : Prof .Dr. Muhammad Abdul Latif Shalih Al-Furfur Al-Hasani

Siapa yang berminat boleh membelinya di PMKT Melaka .

Buku ini menjawab segala permasalahan kontenporari yang berkembang dalam masyarakat sekarang ini. Seperti Permasalah isyu `Aqidah , Membetulkan pemikiran para remaja sekarang ini, Punca perselisihan dalam Islam, Cinta kasih dan ikutan, dan Tentang Maulid Nabi, dll.

Buku yang sangat bermakna dan bermanfaat bagi kita semua.

Sabtu, 15 Juni 2013

Nasr Hamid Abu-Zayd Tokoh Sekuler dalam Islam



Nasr Hamid Abu-Zayd
Yang Berseberangan dengan Imam Syafii

16 DESEMBER 1993 adalah hari paling kelabu dalam kehidupan Abu-Zayd. Kepahitan itu bermula dari suatu forum bahagia di Universitas kairo untuk mempertimbangkan pengangkatan Abu Zayd sebagai profesor (al-ustadz). Untuk keperluan itu, ia memberikan beberapa makalahnya yang telah diterbitkan dalam beberapa jurnal. Tapi, yang istimewa adalah dia juga menyertakan dua buku, Al-Imam as-syafi'i wa Ta'sis al-Aidulujiyat al-Wasathiyah, --Imam Syafii, kemodernan dan Eklektisisme Arabisme dan Naqd al-Khithab ad-Din.

Forum akhirnya tidak berjalan sebagaimana yang dia inginkan. Dr Abdus Shabur Syahin sebagai penilai (muqarrir), menilai karya-karya Abu-Zayd berkadar ilmiah rendah dan telah ke luar dari kerangka keimanan. Bukunya yang pertama bahkan telah menghina Imam Syafii dengan tuduhan keji. Ajakan Abu-Zayd untuk membebaskan diri dari kekuasaan teks, di mata Shabur, adalah ajakan untuk memalingi al-Quran. Kesimpulan yang sama, celakanya, juga diikuti penilai yang lain, Dr Muhammad Baltaqi, Dr Ismail salim, Dr Sya'ban Ismail, Dr Muhammad Syuk'ah. Karier akademik Abu-Zayd pun tamat. Ia kemudian dikafirkan!

Dan masalah tidak berhenti sampai di situ. Abu-Zayd melawan. Polemik pun bertebaran di media massa. Hebatnya, Dr Syahin menjadikan kasus Abu-Zayd ini tema dalam khotbah salat Jumat di masjid Amr bin al-Ash. Ia memang imam tetap di sana. Dan dalam waktu singkat, publik pun terbelah, antara yang simpati dengan Abu-Zayd dan kelompok pembencinya. Kelompok pembencinya mengumpulkan semua tulisan kecaman dan menjadikannya sebuah buku Qishatu Abu Zayd wa Inhisaru al-Almaniyah fi Jami'ati al-Qahirah, --Kisah Abu-Zayd dan Kehancuran Sekularisme di Universitas Kairo. Buku ini diberi pengantar oleh Dr Syahin sendiri dengan kecaman yang sangat pedas! Buku-buku lain pun terbit, Abu-Zayd kian terperosok. Namun, pendukung Abu-Zayd tak mau kalah, juga menerbitkan buku al-Qaul al-Mufid, --Ucapan yang Berguna. Abu-Zayd sendiri tak menyerah, ia ajukan banding kepengadilan untuk mendapatkan haknya sebagai pengajar di Universitas. Tapi, keputusan pengadilan justru memperburuk keadaannya. Vonis murtad jatuh, dan hukum diterakan: ancaman kematian, keharusan perceraian, dan konsekuensi lain dari kemurtadan. Abu-Zayd menangis.

Tertarik Sastra
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di kairo, tahun 1943. Ia anak yang pendiam, dan suka sekali pada sastra. Sedari muda, ia sangat tertarik dengan kajian bahasa dan filsafat. Ia bahkan fokus pada perangkat metodologi analisa wacana dan dinamika teori teks dalam semiotika. Jelas, pikirannya menginduk ke Prancis dengan tokoh besar Derrida, Arkoun dan pengagum Hasan Hanafi. Tak heran, untuk memperkuat minatnya itu, ia masuk ke Fakultas Sastra Universitas Kairo, dan kemudian mengabdi di situ. Ia kemudian membuat komunitas kritis dalam lingkungannya. Kajiannya masih seputar wilayah teks, dengan menggali kembali warisan-warisan intelektual Islam sebagai teks yang harus dikeluarkan dari wacana ideologis. Ia berusaha mencari tafsir yang ke luar dari hanya pengenalan teks semata, memasuki sisi ikutan sejarah-politik dan watak ekonomi. Zayd percaya, peradaban selalu membentuk teks-teks keagamaan tadi.

Secara sederhana, proyek kajian Zayd adalah mencoba menbongkar konsep keyakinan. Ia percaya, banyak teks yang hanya diyakini tanpa upaya pemahaman yang konkret. Keimanan tanpa landasan! Maka, segera bukunya terbit, Imam Syafii, Kemodernan, Eklektisisme-Arabisme yang memicu masalah itu. Dalam buku ini, Zayd memang mengkritisi Imam Syafii, dan mengatakan ulama itu telah secara sepihak menempatkan budaya Quraisy sebagai sentral penafsiran pada al-Quran. Ia menilai Syafii telah membakukan model pemaknaan al-Quran, teorisasi Sunah sebagai sumber tasyri' yang otoritatif dan memperluas Sunah sampai dengan Ijma, tapi menolak qiyas.

"Akibatnya, tak bisa dibedakan lagi mana teks yang primes dan sekunder. Ini menunjukkan watak moderat Syafii hanya semu karena argumentasinya hanya mengutip sosiologis Quraisy," kritiknya.

Pandangan inilah yang membuat Syahin dan Muhammad Imarah menjadi emosi. Imarah misalnya, menilai Abu-Zayd telah merusak sakralitas al-Quran dan menyatakan Al-Quran bukan diciptakan Tuhan tapi produk budaya Arab, khususnya puak Quraisy. Jelas, itu tuduhan yang nggladrah. Benar bahwa Abu-Zayd berpendapat al-Quran dibentuk oleh budaya Arab. Tetapi, itu tidak berarti ia tak meyakini al-Quran sebagai ciptaan Allah. Ia percaya hal itu, cuma karena al-Quran menggunakan bahasa manusia dan disampaikan untuk kepentingan umat manusia, juga melihat faktor asbab al-nuzul, ayat Mekah dan Madinah, juga yang dihapus/diganti, menjadi bukti ada "campur tangan" sosial-politik dan sejarah pada wahyu-wahyu itu.

Sebenarnya ini bukan pandangan yang luar biasa. Tesis kaum Mu'tazilah pun berpendapat al-Quran adalah makhluq/muhdats, diciptakan karena firman Allah merupakan produk dari sifat Allah yang Maha Berbicara. Pendapat ini bertentangan dengan kelompok Hanbaliyyah dan Asy'ariyah yang yakin al-Quran eksis bersamaan (co-exist) dengan Allah, dan tak bermula.

Pertengkaran ini memucak dalam sidang banding, dan Abu-Zayd menyambut debat itu dengan kajian yang kian cemerlang, At-Tafkir fi zaman at-Takfir, --Pemikiran di Masa Pengkafiran. Di sinilah, ia melontarkan pidato yang amat terkenal itu: "Ilmu, tidak akan memberikan kepadamu sebagian dirinya, kecuali kamu menyerahkan seluruh dirimu kepadanya. Jika kamu telah menyerahkan kepadanya seluruh dirimu, maka dengan pemberian dirinya kepadamu yang sebagian itu saja, ia sungguh-sungguh menempatkanmu dalam bahaya."

Dan memang, meski argumentasi buku itu demikan kuatnya dan tak terbantahkan, Abu-Zayd tetap saja dikalahkan.
Kekalahannya sekali lagi membuktikan tesisnya tentang "keyakinan tanpa pemahaman". Ia kembali dikafirkan, dan dinilai murtad. Konsekwensinya menurut hukum di sana, sebagai seorang yang murtad, perkawinannya dibatalkan. Seorang murtad dinilai tak boleh menikahi wanita muslimah.
Ini memang upaya agar Abu-Zayd menyerah, dan mengakui kesalahan kajiannya atas Imam Syafii. Tapi, demi kebenaran ilmiah dan kepentingan umat Islam keseluruhan, ia tak menarik argumentasinya. Dan ketika tangan pengadilan akan memutus pernikahannya, 1995, ia dengan berat hari "mengungsi" ke Leiden, Belanda, di mana pemikiran seliar apa pun, sepanjang ada arguementasinya, bisa tumbuh merdeka.
Kini, di Kairo, pemikirannnya berbiak. Abu-Zayd menang, meski ia tak berada di dalam rumahnya. (Aulia A Muhammad)

Kritik Nasr Hamid
Nasr Hamid yang melakukan kritik terhadap teks al-Quran, banyak persamaan dengan fenomena dalam tradisi Kristen yang begitu digemari para sarjana Muslim. Baca di CAP Adia Husaini, MA ke-39 ( Hidayatullah.com, Senin, 12 Januari 2004 )
Pada tanggal 27 Desember 2003, Harian Republika menurunkan artikel saya yang berjudul “Mendudukkan Tradisi”. Seminggu kemudian, 3 Januari 2004, muncul tanggapan terhadap artikel tersebut dari seorang mahasiswa pascasarjana asal Indonesia yang sedang belajar di Department of Comparative Religion, Western Michigan University. Ia juga penulis buku berjudul Nasr Hamid Abu Zaid dan Kritik Teks Keagamaan.

Salah satu masalah yang mendapat sorotan adalah kritik terhadap Nasr Hamid Abu Zaid oleh Dr. Mustha Tajudin, pakar Ulumul Quran asal Maroko, yang sekarang mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia. Musthafa yang pernah berdebat secara terbuka dengan Nasr Hamid di Maroko memberikan kritikan tajam terhadap pendapat-pendapat Nasr Hamid. Karena sosok Nasr Hamid itu sekarang sangat popular di dunia internasional, termasuk di Indonesia, maka kiranya perlu kita pahami sedikit latar belakang kehidupannya. Beberapa bukunya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Ia memang menekuni bidang Bahasa Arab dan Ulumul Quran. Meskipun kemudian melarikan diri dari Mesir ke Belanda, namun dalam satu wawancara, dia menyatakan bangga, karena telah mendidik banyak cendekiawan, termasuk beberapa dari Indonesia. Tahun 1972, ia menjadi asisten dosen di Jurusan Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Kairo.

Pada tahun 1975-1977, ia mendapat bantuan beasiswa dari Ford Foundation untuk studi di Universitas Amerika Kairo. Lalu, tahun 1978-1979 ia belajar di Universitas Pennsylvania, Philadelphia USA. Berbeda dengan banyak ulama atau cendekiawan Muslim, Nasr Hamid banyak menulis tentang kritik terhadap teks al-Quran, satu studi yang biasa dilakukan terhadap Bible. Tentu, bagi kaum Muslim, kritik teks (textual Criticism) terhadap al-Quran adalah sesuatu yang aneh.
Studi tentang kritik teks Bible memang telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Maka, jika teks-teks Bible sudah begitu banyak dikritisi, muncul pertanyaan di kalangan orientalis, mengapa teks-teks al-Quran tidak dapat diperlakukan yang sama? Menurut mereka, bukankah al-Quran juga sebuah “teks”? Apa bedanya dengan Bible? 

Jadi, orang seperti Lester ini ingin agar kaum Muslim melepaskan keyakinannya, bahwa al-Quran adalah kata-kata Tuhan (kalam Allah) yang tidak berubah. Untuk menjebol tembok keyakinan umat Islam itu, menurut Puin, maka harus dibuktikan bahwa al-Quran juga memiliki aspek kesejarahan. Aspek historisitas al-Quran inilah yang harus ditekankan.
Disamping merujuk kepada sederet orientalis, Lester juga menyatakan kegembiraannya bahwa di dunia Islam, sejumlah orang telah melakukan usaha “revisi” terhadap paham tentang teks al-Quran sebagai kalam Allah. Diantaranya, ia menyebut nama Nasr Hamid Abu Zaid, Arkoen, dan beberapa lainnya.
Michael Cook, dalam bukunya, The Koran: A Very Short Introduction, (2000:44), mengutip pendapat Nasr Hamid –yang dia tulis sebagai “a Muslim secularist” –tentang al-Quran sebagai produk budaya: “If the text was a message sent to the Arabs of the seven century, then of necessity it was formulated in a manner which took for granted historically specific aspects of their language and culture. The Koran thus took shape in human setting. It was a ‘ cultural product’ – a phrase Abu Zayd used several times…” (Pendapat Lester dan Cook dikutip dari buku The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, karya Musthafa A’zhami (2003).
Dalam melakukan kajian terhadap al-Quran, disamping merujuk kepada pendapat-pendapat Mu’tazilah, Nasr Hamid banyak menggunakan metode yang disebut sebagai hermeneutic. Ia seorang hermeneut. The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Salah satu prinsip penting dalam hermeneutika untuk memahami satu teks adalah menganalisis kondisi pengarang dari teks tersebut.
Untuk Bible, hal ini tidak terlalu menjadi masalah, sebab semua Kitab dalam Bible memang ada pengarangnya. Tetapi, apa ada yang disebut sebagai pengarang al-Quran? Bapak hermeneutika modern, Friedrich Schleiermacher (1768-1834), merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasarkan pada analisis terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan) pengarangnya. Analisis terhadap faktor pengarang ini sangat penting untuk memahami teks.

Tentang al-Quran, Nasr Hamid menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai penerima wahyu, pada posisi semacam “pengarang” al-Quran ini. Ia menulis dalam bukunya, Mafhum al-Nash, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia.
Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Mekkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan badui.
Dengan demikian, kata Nasr Hamid, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terhadap harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya, dan sejarah masyarakatnya.

Tentang konsep wahyu dan Muhammad ini, ditulis dalam buku “Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan” (2003:70), “ Mereka memandang al-Quran – setidaknya sampai pada tingkat perkataan – bukanlah teks yang turun dari langit (surga) dalam bentuk kata-kata aktual – sebagaimana pernyataan klasik yang masih dipegang berbagai kalangan --, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya.”

Dengan definisi seperti itu, jelas bahwa Nabi Muhammad saw diposisikan sebagai semacam pengarang al-Quran. Dan ini sebenarnya masih sejalan dengan pendapat para orientalis dan misionaris Kristen yang menyebut agama Islam sebagai “agama Muhammad”, dan hukum Islam disebut sebagai “Mohammedan Law”, umat Islam disebut sebagai Mohammedan”. Tokoh misionaris terkenal Samuel M. Zwemmer, menyebut bukunya yang berjudul “Islam: A Challenge to Faith” (terbit pertama tahun 1907), sebagai “studies on the Mohammedan religion and the needs and opportunities of the Mohammedan World From the standpoint of Christian Missions”.
Karena itu, mestinya penyebaran pendapat tentang al-Quran yang “nyeleneh” seperti itu dipikirkan dan didiskusikan secara serius dengan para ulama dan cendekiawan Muslim lainnya. Sebab, pendapat seperti ini membawa dampak yang serius dalam pemahaman tentang konsep dasar al-Quran. Sebagaimana ditulis dalam sampul buku Mafhum al-Nash edisi Indonesia, bahwa “Dengan pembongkaran ini, kajian atas al-Quran menjadi semakin menarik, merangsang perdebatan ini melahirkan konsep baru yang radikal terhadap eksistensi al-Quran.”

Pendapat Nasr dan kalangan dekontsruksionis ini memang menjebol konsep dasar tentang al-Quran yang selama ini diyakini kaum Muslim, bahwa al-Quran, baik makna maupun lafaz-nya adalah dari Allah. Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya, setempat dan seketika itu. Posisi beliau saw dalam menerima dan menyampaikan al-wahyu memang pasif, hanya sebagai “penyampai” apa-apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau tidak menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma’shum.
Al-Quran menyebutkan: “Dan dia (Muhammad saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS Al-Najm: 3). Muhammad saw memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6).

Dalam keyakinan Muslim selama ini, Nabi Muhammad saw hanyalah sebagai penyampai. Teks-teks al-Quran memang dalam bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu. Tetapi, al-Quran tidak tunduk pada budaya. Al-Quran justru merombak budaya Arab dan membangun sesuatu yang baru. Istilah-istilah yang dibawa al-Quran, meskipun dalam bahasa Arab, tetapi membawa makna baru, yang berbeda dengan yang dipahami kaum Musyrik Arab waktu itu.

Kajian historisitas Kitab suci semacam ini pun sebenarnya telah berkembang lama dalam tradisi Bible. Reginald H. Fuller, dalam bukunya berjudul A Critical Introduction to the New Testament, (London: Gerald Duckworth & Co Ltd, 1979), menulis: “That is why if we are to understand what the New Testament texts were meant to say by the authors when they were first written… we must first understand the historical situation in which they were first written.”
Jadi, kata penulis buku ini, jika ingin tahu apa yang dimaksud oleh teks Perjanjian Baru oleh penulisnya, maka harus tahu kondisi sejarah saat kitab itu ditulis. Canon Sell (1839-1932), seorang misionaris Kristen di Madras, India, sudah lama menyarankan agar kajian kritis-historis terhadap al-Quran dilakukan dengan menggunakan metodologi kritik Injil (Biblical Criticism). Sell sendiri, dalam karyanya Historical Development of the Qur’an sudah menggunakan metodologi higher criticism, untuk mengkaji historisitas al-Qur’an. (Canon Sell, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama terbit tahun 1928).

Pertanyaan kita, apakah Nabi Muhammad saw menulis al-Quran? Sebagaimana Lukas, Markus, Matius, Johanes menulis Bible? Tentu tidak sama. Posisi dan kondisi teks al-Quran dan Bible itulah yang sebenarnya berbeda, sehingga tidaklah tepat jika metode interpretasi Bible yang disebut sebagai hermeneutika juga diterapkan tehadap al-Quran. Tetapi, sekarang sudah begitu banyak yang mengecam kitab-kitab tafsir para ulama dan mengajukan tafsir baru metode hermeneutika. Dalam sebuah buku hermeneutika yang terbit di Indonesia, penulisnya mencatat: “Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo, dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya.”

Nasr Hamid yang seorang hermeneut, juga mengecam keras metode tafsir kaum Ahlusunnah yang didasarkan pada Sunnah Rasul, pendapat para sahabat Nabi, Tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Ia menulis dalam buku Mafhum al-Nas Diraasah fii Uluum al-Quran: bahwa tafsir kaum Ahlussunnah adalah tafsir yang didasarkan pada kuasa ulama kuno, yang mengaitkan “makna teks” dan signifikansinya dengan masa keemasan, kenabian, risalah, dan masa turunnya wahyu. Mereka menyusun sumber-sumber pokok pengambilan tafsir pada empat hal yang dimulai dengan pengambilan dari Rasulullah saw, kemudian mengambil pendapat sahabat, lalu merujuk pendapat-pendapat tabi’in, baru kemudian muncul tingkat keempat, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.

Fenomena Nasr Hamid dan para pendukungnya di Indonesia perlu dikaji secara serius oleh para ulama dan cendekiawan Muslim. Mengapa pemikiran yang “nyeleneh” dan banyak persamaannya dengan fenomena serupa dalam tradisi Kristen itu begitu banyak digemari oleh kalangan sarjana Muslim. Beberapa diantaranya menjadi fanatik dan marah-marah kalau tokoh pujaannya dikritik. Dalam beberapa buku tentang Nasr Hamid yang terbit di Indonesia ditulis sejumlah pujian terhadapnya. Ia digambarkan sebagai sosok ilmiah, akademis, progresif, dan sebagainya, sementara pengritiknya diposisikan sebagai ortodoks, fundamentalis, dan sebagainya. Seolah-olah ia adalah seorang “mujtahid” abad ke-21. Misalnya ditulis dalam sebuah buku tentang dia: “Kendati ia harus diseret ke pengadilan dan diharuskan bercerai dengan istrinya karena dianggap keluar dari Islam, namun gairah intelektual tak pernah menyurutkan dirinya untuk berkarya.”

Dalam sampul buku Mafhum al-Nash edisi Indonesia ditulis: “Buku ini merupakan salah satu sayap penafsiran radikal yang menolak al-Quran didekati secara dogmatis-ideologis. Sebagai sanggahannya, penulis melakukan pembongkaran atas Konsep Teks dan Wahyu melalui metode analisis teks.”

Para pendukung Nasr Hamid bukanlah manusia sembarangan. Mereka rata-rata para sarjana agama dan beberapa diantaranya aktif di organisasi Islam terkenal. Ada yang sejak kecil hidup di pesantren dan berasal dari keluarga tokoh Islam. Memang sering muncul pertanyaan, mengapa orang yang sama-sama belajar al-Quran justru kemudian memiliki pandangan dan sikap yang berbeda-beda terhadap al-Quran? Secara ekstrim, banyak kasus semacam ini terjadi. Para orientalis begitu banyak yang mengkaji al-Quran, namun justru mereka ingin meruntuhkan otoritas al-Quran.

Nama-nama Arthur Jefry, Noldeke, dan sebagainya, sudah sangat terkenal dalam kajian tentang al-Quran. Arthur Jefry, misalnya, mendesak agar tafsir kritis terhadap teks al-Qur’an diwujudkan dengan menggunakan metode penelitian kritis modern. Jefry mengatakan, bahwa apa yang kita butuhkan, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Qur’an. Mestinya, karya-karya orientalis seperti ini dikritisi, sebab banyak diantara mereka yang memiliki misi dan motif tidak baik dalam mengkaji al-Quran. Musthafa A’zhami dalam bukunya, The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, membongkar habis-habisan serangan orientalis dan berbagai kalangan lain terhadap al-Quran.

Fenomena semacam ini sekali lagi membuktikan, bahwa sedang terjadi proses liberalisasi yang sangat serius di dalam tubuh umat Islam, khususnya di Indonesia. Ratusan, bahkan ribuan cendekiawan dari kalangan kaum Muslim sendiri kini siap membongkar-bongkar apa yang selama ini telah “selesai” dalam konsep Islam. Tidak perlu orientalis atau misionaris yang turun tangan. Banyak diantara pelakunya yang kemudian mendapat keuntungan di dunia. Apalagi, penguasa dunia yang sedang berkuasa dan kaya raya, pun suka terhadap mereka. Wallahu a’lam. (KL, 9 Januari 2004).




Toby Lester dalam The Atlantic Monthly, Januari 1999, mengutip pendapat Gerd R. Joseph Puin, seorang orientalis pengkaji al-Quran, yang menyarankan perlunya ditekankan soal aspek kesejarahan al-Quran. “So many Muslims have this belief that everything between the two covers of the Koran is just God’s unaltered word,” (Dr. Puin) says. “They like to quote the textual work that shows that The Bible has a history and did not fall straight out of the sky, but until now the Koran has been out of this discussion. The only way to break through this wall is to prove that the Koran has a history too.”


Kamis, 13 Juni 2013

Benarkah Tahnik termasuk Imunisasai Islami ?




Sumber : Muslim.co.id
2 Komentar // 7 Desember 2012
Tahnik, yaitu memberi makan kurma yang telah dikunyah lalu dimasukkan ke dalam mulut bayi, termasuk di antara hal yang disunnahkan dilakukan oleh orang tua ketika mendapati buah hati saat lahir. Sejumlah tulisan telah menyebar dan membahas mengenai imunisasi yang dinisbatkan pada Islam. Tahnik sampai disebut sebagai imunisasi alami. Bahkan ada yang sampai mengatakan bahwa tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam atau hikmah dari tahnik adalah sebagai imunisasi alami di mana bakteri dari mulut yang mengunyah kurma akan masuk ke perut bayi sehingga mencetus imunitas alamiah. Ada juga yang mengklaim, tahnik sebagai imunisasi yang islami. Pendapat ini umumnya diusung oleh kelompok anti-vaksin untuk menolak vaksinasi.
Dalam tulisan ini, kami akan membawakan beberapa penjelasan ulama mengenai hikmah tahnik. Dari beberapa  penjelasan ulama disimpulkan bahwa ternyata pernyataan “tahnik adalah imunisasi dalam islam” tidak tepat. Berikut pembahasannya.
Pengertian Tahnik
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan pengertian tahnik,
والتحنيك مضغ الشيء ووضعه في فم الصبي ودلك حنكه به يصنع ذلك بالصبي ليتمرن على الأكل ويقوى عليه وينبغي عند التحنيك أن يفتح فاه حتى ينزل جوفه وأولاه التمر فإن لم يتيسر تمر فرطب وإلا فشيء حلو وعسل النحل أولى من غيره
“Tahnik ialah mengunyah sesuatu kemudian meletakkan/ memasukkannya ke mulut bayi lalu menggosok-gosokkan ke langit-langit mulut. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar bayi terlatih dengan makanan, juga untuk menguatkannya. Yang patut dilakukan ketika mentahnik hendaklah mulut (bayi tersebut) dibuka sehingga (sesuatu yang telah dikunyah) masuk ke dalam perutnya. Yang lebih utama, mentahnik dilakukan dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr), maka dengan kurma basah (ruthab). Kalau tidak ada kurma, bisa diganti dengan sesuatu yang manis. Tentunya madu lebih utama dari yang lainnya”.[1]
Hadits-Hadits Mengenai Tahnik
Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Burdah dari Abu Musa, dia berkata,
وُلِدَ لِى غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ
“Aku pernah dikaruniai anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan sebuah kurma (tamr).[2]
Dari Anas Radhiallahu ‘anhu, dia berkata:
كَانَ ابْنٌ ِلأَبِي طَلْحَةَ يَشْتَكِي، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ فَقُبِضَ الصَّبِيُّ فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ: مَا فَعَلَ الصَّبِيُّ؟ قَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: هُوَ أَسْكَنُ مِمَّا كَانَ. فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ، فَتَعَشَّى ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ: وَارِ الصَّبِيَّ. فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللهِ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ: أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اَللّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا. فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: اِحْمَلْهُ حَتَّى تَأْتِيَ بِهِ النَّبِيَّ فَقَالَ: أَمَعَهُ شَيْءٌ؟ قَالُوا: نَعَمْ تَمَرَاتٌ. فَأَخَذَهَا النَّبِيُّ فَمَضَغَهَا ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِي الصَّبِيِّ وَحَنَّكَهُ بِهِ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللهِ.
“Dahulu anak Abu Thalhah dalam keadaan sakit. Abu Thalhah keluar rumah, saat itu lalu anaknya meninggal dunia. Setelah pulang, Abu Thalhah berkata, ‘Apa yang dilakukan oleh anak itu?’ Ummu Sulaim menjawab, ‘Dia lebih tenang dari sebelumnya.’ Kemudian Ummu Sulaim menghidangkan makan malam kepadanya. Selanjutnya Abu Thalhah mencampurinya. Setelah selesai, Ummu Sulaim berkata, ‘Tutupilah anak ini.’ Dan pada pagi harinya, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya memberitahu beliau, maka beliau bertanya, “Apakah kalian bercampur tadi malam?’ ‘
Ya,’ jawabnya. Beliau pun bersabda, ‘Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada keduanya.’
Maka Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak laki-laki. Lalu Abu Thalhah berkata kepadaku (Anas bin Malik),   ‘Bawalah anak ini sehingga engkau mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah bersamanya ada sesuatu (ketika di bawa kesini?’ Mereka menjawab, ‘Ya. Terdapat beberapa buah kurma.’ Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma itu lantas mengunyahnya, lalu mengambilnya kembali dari mulut beliau dan meletakkannya di mulut anak tersebut kemudian mentahniknya dan memberinya nama ‘Abdullah.[3]
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – بِصَبِىٍّ يُحَنِّكُهُ ، فَبَالَ عَلَيْهِ ، فَأَتْبَعَهُ الْمَاءَ
Dari Aisyah -radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Ada bayi laki-laki yang didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau mentahniknya. Kemudian bayi itu malah mengincingi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Lalu beliau memercikkan kencing tersebut dengan air”[4]
Terdapat lafazh dalam Shahih Muslim sebagai berikut,
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ وَيُحَنِّكُهُمْ فَأُتِىَ بِصَبِىٍّ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Dari Aisyah, istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di datangkan kepada beliau beberapa bayi kemudian beliau mendo’akan keberkahan atas mereka dan mentahnik mereka. Lalu ada bayi yang dihadirkan kepada beliau, kemudian bayi itu kencing di pangkuan beliau. Lantas beliau meminta air dan memercikkannya ke kencing bayi tersebut dan beliau tidak sampai mencucinya.”
Mengenai hukum tahnik sendiri adalah sunnah dan tidak menjadi amalan khusus untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena asalnya amalan yang beliau lakukan adalah untuk umatnya kecuali jika ada dalil yang mengkhususkannya pada beliau (-ed).[5]

Hikmah Tahnik dan Penjelasan Ulama
Di antara hikmah dilakukannya tahnik supaya yang paling pertama masuk di perut bayi adalah sesuatu yang manis, ditambahkan saat itu ada do’a untuk mengharapkan keberkahan.
Syaikh Muhammad Shalih Al Munajjid hafizhohullah menjelaskan,
وأما الحكمة من التحنيك بالتمر، فقد كان العلماء قديما يرون أن هذه السنة فعلها النبي صلى الله عليه وسلم ليكون أول شيء يدخل جوف الطفل شيء حلو ، ولذا استحبوا أن يحنك بحلو إن لم يوجد التمر
“Adapun hikmah dari tahnik menggunakan kurma maka para ulama terdahulu berpendapat bahwa ini adalah sunnah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar yang paling pertama masuk ke perut bayi adalah sesuatu yang manis. Oleh karena itu, dianjurkan mentahnik dengan sesuatu yang manis jika tidak mendapatkan kurma.”[6]
Ulama yang lebih dahulu dari Syaikh Ibnu Utsaimin juga menyatakan hal yang sama. Al Mawardi rahimahullah berkata,
فعند من يجيز التحنيك فالأفضلُ عنده أن يكون بالتمر، فإن لم يجد فيحنِّكه بشيءٍ يكون حُلْوًا على ما ذهب إليه الشافعية والحنابل
“Menurut ulama yang membolehkan tahnik (bukan perbuatan khusus bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam saja, -pen), maka yang paling utama menurut mereka adalah menggunakan kurma. Jika tidak ada maka dengan sesuatu yang manis. Inilah pendapat ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.”[7]
Imam An-Nawawi rahimahullah berkata,
كون التحنيك بتمر وهو مستحب ولو حنك بغيره حصل التحنيك ولكن التمر أفضل
“Tahnik dilakukan dengan kurma dan hukumnya adalah sunnah (anjuran). Namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma, maka sudah dianggap pula sebagai tahnik. Akan tetapi, tahnik dengan kurma lebih utama.”[8]
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah juga menjelaskan,
وأولاه التمر فإن لم يتيسر تمر فرطب وإلا فشيء حلو وعسل النحل أولى من غير
Yang lebih utama (ketika) mentahnik ialah dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr) maka dengan kurma basah (ruthab) . Dan kalau tidak ada kurma dengan sesuatu yang manis dan tentunya madu lebih utama dari yang lainnya (kecuali kurma)”.[9]
Hikmah mengapa tahnik harus dengan yang manis sebenarnya telah terungkap dalam ilmu kedokteran. Berikut penelitian penelitian dokter spesialis, dr. Muhammad Ali Al Baar. Ringkasan perkataan beliau sebagai berikut:
” إن مستوى السكر ” الجلوكوز” في الدم بالنسبة للمولودين حديثاً يكون منخفضاً ، وكلما كان وزن المولود أقل ، كان مستوى السكر منخفضاً .
وبالتالي فإن المواليد الخداج [وزنهم أقل من 2.5كجم] يكون منخفضاً جداً بحيث يكون في كثير من الأحيان أقل من 20 ملليجرام لكل 100 ملليلتر من الدم . وأما المواليد أكثر من 2.5 كجم فإن مستوى السكر لديهم يكون عادة فوق 30 ملليجرام .
ويعتبر هذا المستوى ( 20 أو 30 ملليجرام ) هبوطاً شديداً في مستوى سكر الدم ، ويؤدي ذلك إلى الأعراض الآتية :
1-أن يرفض المولود الرضاعة .
2-ارتخاء العضلات .
3-توقف متكرر في عملية التنفس وحصول ازرقاق الجسم .
4-اختلاجات ونوبات من التشنج
Sesungguhnya kandungan zat gula “glukosa” dalam darah bayi yang baru lahir adalah sangat kecil. Jika bayi yang lahir beratnya lebih kecil maka semakin kecil pula kandungan zat gula dalam darahnya. Oleh karena itu, bayi prematur (lahir sebelum dewasa), beratnya kurang dari 2,5 kg, maka kandungan zat gulanya sangat kecil sekali, di mana pada sebagian kasus malah kurang dari 20 mg/ 100 mL darah. Adapun anak yang lahir dengan berat badan di atas 2,5 kg, maka kadar gula dalam darahnya biasanya di atas 30 mg/100 mL.
Kadar semacam ini berarti (20 atau 30 mg/100 mL darah) merupakan keadaan bahaya dalam ukuran kadar gula dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya berbagai penyakit:
  1. Bayi menolak untuk menyusui,
  2. Otot-otot melemas,
  3. Berhenti secara terus-menerus aktivitas pernafasan dan kulit bayi menjadi kebiruan;
  4. Kontraksi atau kejang-kejang[10]
Tujuan Tahnik Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah Imunisasi?
Setelah mengetahui hikmah tahnik melalui penjelasan para ulama, maka kita dapati tidak ada yang menyatakan bahwa hikmah tahnik adalah sebagai imunisasi alami, atau semisal meningkatkan kemampuan tubuh untuk untuk melawan penyakit. Apalagi menyatakan bahwa tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah imunisasi, maka ini perlu dalil dan kita tidak mendapati dalil tersebut. Kita seharusnya berhati-hati karena berkata dusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terdapat ancaman keras. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang siapa berdusta atas namaku, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di neraka’”[11]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Karena barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.”[12]
Bukan Hanya Tahnik, Tetapi Juga Ditambah Mendo’akan
Ada ulama juga yang berpendapat bahwa tahnik sebenarnya adalah mendoakan dan mengharap berkah. Jadi tidak hanya tahnik saja tetapi harus disertai dengan mendoakan bayi tersebut.
Syaikh Ihsan bin Muhammad Al ‘Utaibi berkata,
قلت: الصحيح الثابت أن المحنِّك “يدْعُو للْمَوْلودِ بِالبَرَكَةِ”، كما جاء في “صحيح البخاري” (10/707) من حديث أبي موسى الأشعري. وفي صحيح مسلم (3/193) من حديث عائشة رضي الله عنها ” يُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ” – أي: يدعو لهم بالبركة صلى الله عليه وسلم
Yang tepat, orang yang melakukan tahnik juga mendoakan keberkahan bagi bayi tersebut, sebagaimana dalam hadits di shahih Bukhari (10: 707) pada hadits Abu Musa Al Asy’ari dan di Shahih Muslim (3: 193) dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ‘Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan bagi mereka.”[13]
Ibnu Hajar Al Asqalani rahimahullah menjelaskan doa yang dibaca,
قوله ثم حنكه أي وضع في فيه التمرة ودلك حنكه بها قوله وبرك عليه أي قال بارك الله فيه أو اللهم بارك فيه
“Maksud mentahnik adalah meletakkan dalam mulut bayi kurma, kemudian menggosoknya, kemudian mendoakannya yaitu berdoa, “Baarakallahu fiihi (semoga berkah Allah diberikan untuknya)”, atau “Allahumma baarik fiihi (Ya Allah, berkahilah dia).”[14]
Apakah Bakteri dalam Mulut Merangsang Imunitas Alami?
Salah satu teori yang diusung oleh mereka yang menyatakan bahwa tahnik adalah imunisasi alami yaitu bakteri dari mulut orang yang mentahnik akan berpindah ke perut bayi kemudian merangsang imunitas alami. Sebagaimana teori imunisasi yaitu memaparkan antigen seperti bakteri yang dilemahkan atau yang dimatikan.  Ini perlu penelitian dan pembuktian ilmiah. Dan jika benar maka bayi tersebut hanya kebal terhadap bakteri di mulut bukan dengan bakteri penyakit yang lain. Wallahu ‘alam.
Demikian pembahasan dari kami. jika ada saran, masukan dan kritik yang bersifat membangun harap disampaikan kepada kami. Mungkin masih ada ilmu yang belum sampai kepada kami. Semoga bermanfaat.

Disempurnakan di Lombok, Pulau seribu masjid
Artikel Muslim.Or.Id


[1] Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqolani, terbitan Darul ma’rifah-Beirut, tahun 1379 H, 9: 558.
[2] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari (5467 Fathul Bari) Muslim (2145 Nawawi), Ahmad (4/399), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra (9/305) dan Asy-Syu’ab karya beliau (8621, 8622)
[3] Muttafaq ‘alaih, HR. Bukhari no. 5470 dan Muslim no. 2144.
[4] HR. Bukhari no. 5468 dan Muslim no. 286. Lafazh hadits ini adalah lafazh Bukhari.
[5] Sebagian ulama saat ini yang Editor pernah dengar langsung membatasi tahnik hanya khusus untuk Nabi -shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Yang berpendapat demikian di antaranya adalah Syaikhuna Syaikh Sholih bin Fauzan Al Fauzan dan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy Syatsri. Semoga Allah menjaga dan memberkahi umur mereka berdua.
[7] Al Inshaf lil Mawardi 4: 104. Dinukil dari web ferkous di sini.
[8] Syarh Muslim, Imam Nawawi, terbitan Dar Ihya’ At Turost-Beirut, cetakan kedua, tahun 1392 H, 14: 124.
[9] Fathul Baari, 9: 558.
[11] Hadits mutawatir, HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 3.
[12] HR. Al-Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4.
[14] Fathul Baari 7: 248.