Puasa Tarwiyah
Puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah
yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang
artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa
pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini
dloif
(kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits
yang
dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka
fadla'ilul a’mal (untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud
tidak berkaitan dengan masalah aqidah dan hukum.
Menurut Syaikh Musthafa Al Adawi, ada dua
hadits berkenaan dengan puasa 10 hari di awal Dzulhijjah secara khusus:
- Hadits Ummul Mukminîn ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anha yang dikeluarkan oleh
Muslim yang redaksinya, “Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam sama sekali
tidak pernah berpuasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah).”
- Dikeluarkan oleh an-Nasâi dan lainnya dari jalur seorang rawi yang bernama
Hunaidah bin Khâlid, terkadang ia meriwayatkannya dari Hafshah ia berkata,
“Empat hal yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallâhu ‘alaihi
wa sallam: (diantaranya): puasa sepuluh (hari awal Dzulhijjah).”
Menurutnya, pernyataan Hunaidah pada riwayat
ini diperselisihkan oleh ulama, sebab terkadang ia meriwayatkan dari ibunya,
dari Ummu Salamah sebagai ganti dari Hafshah, dan terkadang pula dari Ummu
Salamah secara langsung, kemudian ia mendatangkan bentuk lain dari bentuk-bentuk
yang berbeda!”
Dari sisi keabsahan, maka yang unggul bahwa
hadits ‘Aisyah yang terdapat di dalam shahîh Muslim adalah lebih shahîh,
sekalipun padanya terdapat bentuk perselisihan dari Al A’masy dan Manshûr.
Namun diantara ulama ada yang mencoba
mengkompromikan dua hadits tersebut yang kesimpulannya, “Bahwa masing-masing
dari istri Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam menceritakan apa yang ia saksikan
dari beliau, bagi yang tidak menyaksikan menafikkan keberadaannya, dan yang
menyaksikan menetapkan keberadaannya, sedang Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa
sallam sendiri menggilir setiap istrinya dalam sembilan malam (hanya) satu
malam. Maka atas dasar ini dapat dikatakan, “Jika seseorang terkadang berpuasa
dan terkadang tidak berpuasa, atau ia berpuasa beberapa tahun lalu tidak
berpuasa beberapa tahun (berikutnya) ada benarnya, maka manapun dari dua
pendapat tersebut diamalkan maka ia telah memiliki salaf (pendahulu).”
Puasa Tarwiyah Menghapuskan Dosa Satu Tahun
Terdapat hadits yang diriwayatkan Imam Ad
Dailami:
صَوْمُ يَوْمِ التَّرْوِيَةِ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَصَوْمُ يَوْمِ
عَرفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ
“Puasa pada hari tarwiyah menghapuskan
(dosa) satu tahun, dan puasa pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua
tahun.”
Sementara puasa Tarwiyah dilaksanakan pada hari Tarwiyah
yakni pada tanggal 8 Dzulhijjah. Ini didasarkan pada satu redaksi hadits yang
artinya bahwa Puasa pada hari Tarwiyah menghapuskan dosa satu tahun, dan puasa
pada hari Arafah menghapuskan (dosa) dua tahun. Dikatakan hadits ini dloif
(kurang kuat riwayatnya) namun para ulama memperbolehkan mengamalkan hadits yang
dloif sekalipun sebatas hadits itu diamalkan dalam kerangka fadla'ilul a’mal
(untuk memperoleh keutamaan), dan hadits yang dimaksud tidak berkaitan dengan
masalah aqidah dan hukum.
Imam Ibnu Katsir mengatakan maksud dari “pada
hari-hari ini” adalah sepuluh hari Dzulhijjah. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim,
8/390. Lihat Syaikh Sayyid Ath Thanthawi, Al Wasith, 1/4497. Mawqi’ At
Tafasir)
Maka, tidak apa-apa puasa tanggal 8 tersebut
karena dia bagian dari cara amal shalih yg bisa kita lakukan selama 10 hari
dzulhijjah, dan sebagusnya dilanjutkan dgn puasa ‘Arafahnya, agar puasa pada
hari tarwiyah itu tidak menyendiri.”
Hadits tentang puasa tarwiyah
dikatakan dho’if karena sanad hadits ini ada kelemahan :
Pertama;
Kalbi (sanad ketiga) yang namanya : Muhammad bin Saaib Al-Kalbi. Dia ini seorang
rawi pendusta. Dia pernah mengatakan kepada Sufyan Ats-Tsauri, “Apa-apa hadits
yang engkau dengar dariku dari jalan Abi Shaalih dari Ibnu Abbas, maka hadits
ini dusta” (Sedangkan hadits di atas Kalbiy meriwayatkan dari jalan Abi Shaalih
dari Ibnu Abbas).
Imam Hakim berkata : “Ia meriwayatkan dari Abi Shaalih
hadits-hadits yang maudlu’ (palsu)” Tentang Kalbi ini dapatlah dibaca lebih
lanjut di kitab-kitab Jarh Wat Ta’dil.
Kedua; Ali bin Ali
Al-Himyari (sanad kedua) adalah seorang rawi yang majhul (tidak
dikenal).
Tidak disangsikan lagi bahwa puasa adalah jenis amalan yang
paling utama, dan yang dipilih Allah untuk diri-Nya. Disebutkan dalam hadist
Qudsi: Puasa ini adalah untuk-Ku, dan Aku-lah yang akan membalasnya. Sungguh dia
telah meninggalkan syahwat, makanan dan minumannya semata-mata karena
Aku.
Diriwayatkan dari Abu Said Al-Khudri, Radhiyallahu 'Anhu, Rasulullah
SAW bersabda:"Tidaklah seorang hamba berpuasa sehari di jalan Allah melainkan
Allah pasti menjauhkan dirinya dengan puasanya itu dari api neraka selama tujuh
puluh tahun." (HR Bukhari Muslim).
“Artinya : … Dan puasa pada hari
Arafah –aku mengharap dari Allah- menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah lalu
dan satu tahun yang akan datang. Dan puasa pada hari ‘Asyura’ (tanggal 10
Muharram) –aku mengharap dari Allah menghapuskan (dosa) satu tahun yang telah
lalu”. [Shahih riwayat Imam Muslim (3/168), Abu Dawud (no. 2425), Ahmad (5/297,
308, 311), Baihaqi (4/286) dan lain-lain]
Tambahan Ibnu
KatibySebagian ulama mengatakan bahwa hadits itu bukan Maudhu’
melainkan hanya dho’if. Yaitu riwayat dari jalur lainnya yaitu dari jalur Ibnu
Najjar.
صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ سَنَة
“Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni
dosa setahun yang lalu.”
Oleh Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini
tidak shahih. Dan kita tahu bahwa jumhurul ulama sepakat boleh mengamalkan
hadits dho’if dalam fadhoil a’mal.
Kemudian puasa Tarwiyah tidak bisa
dibilang bid’ah sehingga haram dilakukan, karena pertama, haditsnya dari jalur
lain bertaraf dho’if bukan maudhu’.
Kedua, dalil-dalil umum sudah
cukup menjelaskan kebolehannya melakukan puasa di hari Tarwiyyah
Lagi
pula hari-hari pada sepersepuluh pertama bulan Dzulhijjah adalah hari-hari yang
istimewa. Ibnu Abbas r.a meriwayatkan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
ما من أيام العمل الصالح فيها أحب إلى الله من هذه الأيام يعني أيام
العشر قالوا: يا رسول الله، ولا الجهاد في سبيل الله؟ قال: ولا الجهاد في سبيل الله
إلا رجل خرج بنفسه وماله فلم يرجع من ذلك شيء
"Tidak ada perbuatan yang lebih disukai oleh Allah
Subhanahu wa Ta’ala dari pada perbuatan baik yang dilakukan pada sepuluh hari
pertama di bulan Dzulhijjah. Para sahabat bertanya : Ya Rasulullah! walaupun
jihad di jalan Allah? Sabda Rasulullah: Walau jihad pada jalan Allah kecuali
seorang lelaki yang keluar dengan dirinya dan harta bendanya, kemudian tidak
kembali selama-lamanya (menjadi syahid). (HR Bukhari)
Puasa Arafah
Puasa Arafah yaitu puasa pada tanggal 9 bulan
Dzulhijjah, sedangkan puasa tarwiyah adalah puasa pada tanggal 8 bulan
Dzulhijjah. Puasa sunnah itu berdasarkan dalil berikut:
Dari Abi Qatadah Radhiyallahu ‘Anhu berkata
bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
صوم يوم عرفة يكفر سنتين ماضية ومستقبلة وصوم يوم عاشوراء يكفر سنة
ماضية
"Puasa hari Arafah menghapuskan dosa dua tahun, yaitu tahun
sebelumnya dan tahun sesudahnya. Puasa Asyura’ menghapuskan dosa tahun
sebelumnya. (HR. Jamaah, kecuali Bukhari dan Tirmizy)
Puasa hari Arafah (9 Dzulhijjjah) ini
disepakati sunnah bagi yang tidak menunaikan haji. Sedangkan bagi yang wukuf di
Arafah hukumnya diperselisihkan dikarenakan dalil yang melarang puasa bagi
jamaah haji yang wukuf dipermasalahkan.
1. Haram Puasa Bagi Yang Wukuf
Imam At Tirmidzi Rahimahullah mengatakan:
وقد استحب أهل العلم صيام يوم عرفة إلا بعرفة
Para ulama telah menganjurkan berpuasa pada
hari ‘Arafah, kecuali bagi yang sedang di ‘Arafah. (Sunan At Tirmidzi, komentar
hadits No. 749)
Apa dasarnya bagi yang sedang wuquf di ‘Arafah
dilarang berpuasa?
Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu berkata:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَوْمِ
يَوْمِ عَرَفَةَ بِعَرَفَاتٍ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melarang berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di ‘Arafah.” (HR. Abu Daud
No. 2440, Ibnu Majah No. 1732, Ahmad No. 8031, An Nasa’i No. 2830, juga dalam As
Sunan Al Kubra No. 2731, Ibnu Khuzaimah No. 2101, Al Hakim dalam Al Mustadrak
No. 1587)
Hadits ini dishahihkan oleh Imam Al Hakim,
katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim tapi keduanya tidak
meriwayatkannya.” (Al Mustadrak No. 1587) Imam Adz Dzahabi menyepakati
penshahihannya. Dishahihkan pula oleh Imam Ibnu Khuzaimah, ketika beliau
memasukkannya dalam kitab Shahihnya. Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar: Aku berkata:
Ibnu Khuzaimah telah menshahihkannya, dan Mahdi telah ditsiqahkan oleh Ibnu
Hibban. (At Talkhish, 2/461-462)
2. Boleh Berpuasa Meski Wukuf
Mereka menyanggah tashhih (penshahihan)
tersebut, karena perawi hadits ini yakni Syahr bin Hausyab dan Mahdi Al Muharibi
bukan perawi Bukhari dan Muslim sebagaimana yang diklaim Imam Al Hakim.
Imam Al Munawi mengatakan: Berkata Al Hakim:
“Sesuai syarat Bukhari,” mereka (para ulama) telah menyanggahnya karena terjadi
ketidakjelasan pada Mahdi, dia bukan termasuk perawinya Bukhari, bahkan Ibnu
Ma’in mengatakan: majhul. Al ‘Uqaili mengatakan: “Dia tidak bisa diikuti karena
kelemahannya.” (Faidhul Qadir, 6/431) Lalu, Mahdi Al Muharibi – dia adalah
Ibnu Harb Al Hijri, dinyatakan majhul (tidak diketahui) keadaannya oleh para
muhadditsin.
Syaikh Al Albani berkata: Aku berkata: isnadnya
dhaif, semua sanadnya berputar pada Mahdi Al Hijri, dan dia majhul. (Tamamul
Minnah Hal. 410)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata: Isnadnya
dhaif, karena ke-majhul-an Mahdi Al Muharibi, dia adalah Ibnu Harbi Al Hijri,
dan Ibnu Hibban menyebutkannya dalam kitab Ats Tsiqaat (orang-orang terpercaya),
dia (Ibnu Hibban) memang yang menggampangkannya (untuk ditsiqahkan, pen).
(Ta’liq Musnad Ahmad No. 8041)
Telah masyhur bagi para ulama hadits, bahwa
Imam Ibnu Hibban adalah imam hadits yang dinilai terlalu mudah men-tsiqah-kan
perawi yang majhul.
Majhulnya Mahdi Al Muharibi juga di sebutkan
oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. (At Talkhish Al Habir, 2/461), Imam Al ‘Uqaili
mengatakan dalam Adh Dhuafa: “Dia tidak bisa diikuti.” (Ibid)
Imam Yahya bin Ma’in dan Imam Abu Hatim
mengatakan: Laa A’rifuhu – saya tidak mengenalnya. (Imam Ibnu Mulqin, Al Badrul
Munir, 5/749)
Imam Ibnul Qayyim mengatakan: Dalam isnadnya
ada yang perlu dipertimbangkan, karena Mahdi bin Harb Al ‘Abdi bukan orang yang
dikenal. (Zaadul Ma’ad, 1/61), begitu pula dikatakan majhul oleh Imam Asy
Syaukani. (Nailul Authar, 4/239)
Maka, pandangan yang lebih kuat adalah tidak
ada yang shahih larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi yang sedang di
‘Arafah. Oleh karenanya Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: Tidak ada yang
shahih bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melarang berpuasa pada
hari ini ( 9 Dzhulhijjah). (Ta’liq Musnad Ahmad, No. 8031)
Tetapi, di sisi lain juga tidak ada yang shahih
bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah berpuasa ketika wuquf di
‘Arafah.
Rasulullah Wukuf dan Tidak Berpuasa
Arafah
Diriwayatkan secara shahih:
عَنْ أُمِّ الْفَضْلِ أَنَّهُمْ شَكُّوا فِي صَوْمِ النَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَرَفَةَ فَبَعَثَتْ إِلَيْهِ بِقَدَحٍ مِنْ
لَبَنٍ فَشَرِبَهُ
Dari Ummu Al Fadhl, bahwa mereka ragu tentang
berpuasanya Nabi Shalllallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari ‘Arafah, lalu
dikirimkan kepadanya segelas susu, lalu dia meminumnya. (HR. Bukhari No.
5636)
Oleh karenanya Imam Al ‘Uqaili mengatakan:
Telah diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan sanad-sanad
yang baik, bahwa Beliau belum pernah berpuasa pada hari ‘Arafah ketika berada di
sana, dan tidak ada yang shahih darinya tentang larangan berpuasa pada hari itu.
(Adh Dhuafa, No. 372)
Para sahabat yang utama pun juga tidak pernah
berpuasa ketika mereka di ‘Arafah. Disebutkan oleh Nafi’ –pelayan Ibnu Umar,
sebagai berikut: Dari Nafi’, dia berkata: Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa
hari ‘Arafah ketika di ‘Arafah, dia menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam tidak berpuasa, begitu pula Abu Bakar, Umar, dan Utsman.” (HR. An Nasa’i,
As Sunan Al Kubra No. 2825)
Maka, larangan berpuasa pada hari ‘Arafah bagi
yang di ‘Arafah tidaklah pasti, di sisi lain, Nabi pun tidak pernah berpuasa
ketika sedang di ‘Arafah, begitu pula para sahabat setelahnya. Oleh karena itu,
kemakruhan berpuasa tanggal 9 Dzulhijjah bagi yang sedang wuquf telah
diperselisihkan para imam kaum muslimin. Sebagian memakruhkan dan pula ada yang
membolehkan.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau tidak
pernah melakukannya, tetapi juga tidak melarang puasa ‘Arafah bagi yang wuquf di
‘Arafah.
سئل بن عمر عن صوم يوم عرفة فقال حججت مع النبي صلى الله عليه و سلم فلم
يصمه وحججت مع أبي بكر فلم يصمه وحججت مع عمر فلم يصمه وحججت مع عثمان فلم يصمه
وأنا لا أصومه ولا أمر به ولا أنهى عنه
Ibnu Umar ditanya tentang berpuasa pada hari
‘Arafah, beliau menjawab: “Saya haji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
Beliau tidak berpuasa, saya haji bersama Abu Bakar, juga tidak berpuasa, saya
haji bersama Umar, juga tidak berpuasa, saya haji bersama ‘Utsman dia juga tidak
berpuasa, dan saya tidak berpuasa juga, saya tidak memerintahkan dan tidak
melarangnya.” (Sunan Ad Darimi No. 1765. Syaikh Husein Salim Asad berkata:
isnaduhu shahih.)
Kalangan Hanafiyah mengatakan, boleh saja
berpuasa ‘Arafah bagi jamaah haji yang sedang wuquf jika itu tidak membuatnya
lemah. (Syaikh Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/25)
Syaikh Wahbah Az Zuhaili menyebutkan bahwa
tidak dianjurkan mereka berpuasa, walaupun kuat fisiknya, tujuannya agar mereka
kuat berdoa: Ada pun para haji, tidaklah disunahkan berpuasa pada hari ‘Arafah,
tetapi disunahkan untuk berbuka walau pun dia orang yang kuat, agar dia kuat
untuk banyak berdoa, dan untuk mengikuti sunah. (Ibid, 3/24) Jadi, menurutnya
“tidak disunahkan”, dan tidak disunahkan bukan bermakna tidak boleh.
Pendapat Empat Mazhab: Makruh Puasa Arafah
Bagi yang Wukuf
- Hanafiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah jika membuat lemah,
begitu juga puasa tarwiyah (8 Dzulhijjah).
- Malikiyah: makruh bagi jamaah haji berpuasa ‘Arafah, begitu pula puasa
tarwiyah.
- Syafi’iyah: jika jamaah haji mukim di Mekkah, lalu pergi ke ‘Arafah siang
hari maka puasanya itu menyelisihi hal yang lebih utama, jika pergi ke ‘Arafah
malam hari maka boleh berpuasa. Jika jamaah haji adalah musafir, maka secara
mutlak disunahkan untuk berbuka.
- Hanabilah: Disunahkan bagi para jamaah haji berpuasa pada hari ‘Arafah jika
wuqufnya malam, bukan wuquf pada siang hari, jika wuqufnya siang maka makruh
berpuasa.