2 Komentar // 7 Desember 2012
Tahnik, yaitu memberi makan kurma yang
telah dikunyah lalu dimasukkan ke dalam mulut bayi, termasuk di antara hal yang
disunnahkan dilakukan oleh orang tua ketika mendapati buah hati saat lahir.
Sejumlah tulisan telah menyebar dan membahas mengenai imunisasi yang
dinisbatkan pada Islam. Tahnik sampai disebut sebagai imunisasi alami. Bahkan
ada yang sampai mengatakan bahwa tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam atau hikmah dari tahnik adalah sebagai imunisasi alami di mana
bakteri dari mulut yang mengunyah kurma akan masuk ke perut bayi sehingga
mencetus imunitas alamiah. Ada juga yang mengklaim, tahnik sebagai imunisasi
yang islami. Pendapat ini umumnya diusung oleh kelompok anti-vaksin untuk
menolak vaksinasi.
Dalam
tulisan ini, kami akan membawakan beberapa penjelasan ulama mengenai hikmah
tahnik. Dari beberapa penjelasan ulama disimpulkan bahwa ternyata
pernyataan “tahnik adalah imunisasi dalam islam” tidak tepat. Berikut
pembahasannya.
Pengertian Tahnik
Ibnu Hajar
Al-Asqalani rahimahullah menjelaskan pengertian tahnik,
والتحنيك مضغ
الشيء ووضعه في فم الصبي ودلك حنكه به يصنع ذلك بالصبي ليتمرن على الأكل ويقوى
عليه وينبغي عند التحنيك أن يفتح فاه حتى ينزل جوفه وأولاه التمر فإن لم يتيسر تمر
فرطب وإلا فشيء حلو وعسل النحل أولى من غيره
“Tahnik
ialah mengunyah sesuatu kemudian meletakkan/ memasukkannya ke mulut bayi lalu
menggosok-gosokkan ke langit-langit mulut. Hal ini dilakukan dengan tujuan agar
bayi terlatih dengan makanan, juga untuk menguatkannya. Yang patut dilakukan
ketika mentahnik hendaklah mulut (bayi tersebut) dibuka sehingga (sesuatu yang
telah dikunyah) masuk ke dalam perutnya. Yang lebih utama, mentahnik dilakukan
dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah mendapatkan kurma kering (tamr),
maka dengan kurma basah (ruthab). Kalau tidak ada kurma, bisa diganti dengan sesuatu
yang manis. Tentunya madu lebih utama dari yang lainnya”.[1]
Hadits-Hadits Mengenai Tahnik
Diriwayatkan
oleh Al-Bukhari dan Muslim dari hadits Abu Burdah dari Abu Musa, dia berkata,
وُلِدَ لِى
غُلاَمٌ فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيمَ
وَحَنَّكَهُ بِتَمْرَةٍ
“Aku pernah
dikaruniai anak laki-laki, lalu aku membawanya ke hadapan Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, maka beliau memberinya nama Ibrahim dan mentahniknya dengan
sebuah kurma (tamr).”[2]
Dari Anas Radhiallahu
‘anhu, dia berkata:
كَانَ ابْنٌ
ِلأَبِي طَلْحَةَ يَشْتَكِي، فَخَرَجَ أَبُو طَلْحَةَ فَقُبِضَ الصَّبِيُّ
فَلَمَّا رَجَعَ أَبُو طَلْحَةَ قَالَ: مَا فَعَلَ الصَّبِيُّ؟ قَالَتْ أُمُّ
سُلَيْمٍ: هُوَ أَسْكَنُ مِمَّا كَانَ. فَقَرَّبَتْ إِلَيْهِ الْعَشَاءَ،
فَتَعَشَّى ثُمَّ أَصَابَ مِنْهَا، فَلَمَّا فَرَغَ قَالَتْ: وَارِ الصَّبِيَّ.
فَلَمَّا أَصْبَحَ أَبُو طَلْحَةَ أَتَى رَسُولَ اللهِ فَأَخْبَرَهُ فَقَالَ:
أَعْرَسْتُمُ اللَّيْلَةَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: اَللّهُمَّ بَارِكْ لَهُمَا.
فَوَلَدَتْ غُلاَمًا قَالَ لِي أَبُو طَلْحَةَ: اِحْمَلْهُ حَتَّى تَأْتِيَ بِهِ
النَّبِيَّ فَقَالَ: أَمَعَهُ شَيْءٌ؟ قَالُوا: نَعَمْ تَمَرَاتٌ. فَأَخَذَهَا
النَّبِيُّ فَمَضَغَهَا ثُمَّ أَخَذَ مِنْ فِيهِ فَجَعَلَهَا فِي الصَّبِيِّ
وَحَنَّكَهُ بِهِ وَسَمَّاهُ عَبْدَ اللهِ.
“Dahulu anak
Abu Thalhah dalam keadaan sakit. Abu Thalhah keluar rumah, saat itu lalu
anaknya meninggal dunia. Setelah pulang, Abu Thalhah berkata, ‘Apa yang
dilakukan oleh anak itu?’ Ummu Sulaim menjawab, ‘Dia lebih tenang dari
sebelumnya.’ Kemudian Ummu Sulaim menghidangkan makan malam kepadanya.
Selanjutnya Abu Thalhah mencampurinya. Setelah selesai, Ummu Sulaim berkata,
‘Tutupilah anak ini.’ Dan pada pagi harinya, Abu Thalhah mendatangi Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya memberitahu beliau, maka beliau bertanya,
“Apakah kalian bercampur tadi malam?’ ‘
Ya,’
jawabnya. Beliau pun bersabda, ‘Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada
keduanya.’
Maka Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak laki-laki. Lalu Abu Thalhah berkata kepadaku (Anas bin Malik), ‘Bawalah anak ini sehingga engkau mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Maka Ummu Sulaim pun melahirkan seorang anak laki-laki. Lalu Abu Thalhah berkata kepadaku (Anas bin Malik), ‘Bawalah anak ini sehingga engkau mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.’
Beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, ‘Apakah bersamanya ada sesuatu (ketika
di bawa kesini?’ Mereka menjawab, ‘Ya. Terdapat beberapa buah kurma.’ Kemudian
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil kurma itu lantas mengunyahnya, lalu
mengambilnya kembali dari mulut beliau dan meletakkannya di mulut anak tersebut
kemudian mentahniknya dan memberinya nama ‘Abdullah.”[3]
عَنْ
عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ أُتِىَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم –
بِصَبِىٍّ يُحَنِّكُهُ ، فَبَالَ عَلَيْهِ ، فَأَتْبَعَهُ الْمَاءَ
Dari Aisyah
-radhiyallahu ‘anha-, ia berkata, “Ada bayi laki-laki yang
didatangkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau
mentahniknya. Kemudian bayi itu malah mengincingi Nabi -shallallahu ‘alaihi wa
sallam-. Lalu beliau memercikkan kencing tersebut dengan air”[4]
Terdapat
lafazh dalam Shahih Muslim sebagai berikut,
عَنْ
عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى
الله عليه وسلم- كَانَ يُؤْتَى بِالصِّبْيَانِ فَيُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ
وَيُحَنِّكُهُمْ فَأُتِىَ بِصَبِىٍّ فَبَالَ عَلَيْهِ فَدَعَا بِمَاءٍ
فَأَتْبَعَهُ بَوْلَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
Dari Aisyah,
istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam di datangkan kepada beliau beberapa bayi kemudian
beliau mendo’akan keberkahan atas mereka dan mentahnik mereka. Lalu ada
bayi yang dihadirkan kepada beliau, kemudian bayi itu kencing di pangkuan
beliau. Lantas beliau meminta air dan memercikkannya ke kencing bayi tersebut
dan beliau tidak sampai mencucinya.”
Mengenai
hukum tahnik sendiri adalah sunnah dan tidak menjadi amalan khusus untuk Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena asalnya amalan yang beliau lakukan adalah
untuk umatnya kecuali jika ada dalil yang mengkhususkannya pada beliau (-ed).[5]
Hikmah Tahnik dan Penjelasan Ulama
Di antara
hikmah dilakukannya tahnik supaya yang paling pertama masuk di perut bayi
adalah sesuatu yang manis, ditambahkan saat itu ada do’a untuk mengharapkan
keberkahan.
Syaikh
Muhammad Shalih Al Munajjid hafizhohullah menjelaskan,
وأما الحكمة
من التحنيك بالتمر، فقد كان العلماء قديما يرون أن هذه السنة فعلها النبي صلى الله
عليه وسلم ليكون أول شيء يدخل جوف الطفل شيء حلو ، ولذا استحبوا أن يحنك بحلو إن
لم يوجد التمر
“Adapun
hikmah dari tahnik menggunakan kurma maka para ulama terdahulu berpendapat
bahwa ini adalah sunnah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam agar yang paling pertama masuk ke perut bayi adalah sesuatu yang
manis. Oleh karena itu, dianjurkan mentahnik dengan sesuatu yang manis jika
tidak mendapatkan kurma.”[6]
Ulama yang
lebih dahulu dari Syaikh Ibnu Utsaimin juga menyatakan hal yang sama. Al
Mawardi rahimahullah berkata,
فعند من يجيز
التحنيك فالأفضلُ عنده أن يكون بالتمر، فإن لم يجد فيحنِّكه بشيءٍ يكون حُلْوًا
على ما ذهب إليه الشافعية والحنابل
“Menurut
ulama yang membolehkan tahnik (bukan perbuatan khusus bagi Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam saja, -pen), maka yang paling utama menurut mereka adalah
menggunakan kurma. Jika tidak ada maka dengan sesuatu yang manis. Inilah
pendapat ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.”[7]
Imam
An-Nawawi rahimahullah berkata,
كون التحنيك
بتمر وهو مستحب ولو حنك بغيره حصل التحنيك ولكن التمر أفضل
“Tahnik
dilakukan dengan kurma dan hukumnya adalah sunnah
(anjuran). Namun andai ada yang mentahnik dengan selain kurma, maka sudah
dianggap pula sebagai tahnik. Akan tetapi, tahnik dengan kurma lebih utama.”[8]
Ibnu Hajar
Al Asqalani rahimahullah juga menjelaskan,
وأولاه التمر
فإن لم يتيسر تمر فرطب وإلا فشيء حلو وعسل النحل أولى من غير
Yang lebih
utama (ketika) mentahnik ialah dengan kurma kering (tamr). Jika tidak mudah
mendapatkan kurma kering (tamr) maka dengan kurma basah (ruthab) . Dan
kalau tidak ada kurma dengan sesuatu yang manis dan tentunya madu lebih
utama dari yang lainnya (kecuali kurma)”.[9]
Hikmah
mengapa tahnik harus dengan yang manis sebenarnya telah terungkap dalam ilmu
kedokteran. Berikut penelitian penelitian dokter spesialis, dr. Muhammad Ali Al
Baar. Ringkasan perkataan beliau sebagai berikut:
” إن مستوى السكر ” الجلوكوز” في
الدم بالنسبة للمولودين حديثاً يكون منخفضاً ، وكلما كان وزن المولود أقل ، كان
مستوى السكر منخفضاً .
وبالتالي فإن المواليد الخداج [وزنهم أقل من 2.5كجم] يكون منخفضاً جداً بحيث يكون في كثير من الأحيان أقل من 20 ملليجرام لكل 100 ملليلتر من الدم . وأما المواليد أكثر من 2.5 كجم فإن مستوى السكر لديهم يكون عادة فوق 30 ملليجرام .
ويعتبر هذا المستوى ( 20 أو 30 ملليجرام ) هبوطاً شديداً في مستوى سكر الدم ، ويؤدي ذلك إلى الأعراض الآتية :
1-أن يرفض المولود الرضاعة .
2-ارتخاء العضلات .
3-توقف متكرر في عملية التنفس وحصول ازرقاق الجسم .
4-اختلاجات ونوبات من التشنج
وبالتالي فإن المواليد الخداج [وزنهم أقل من 2.5كجم] يكون منخفضاً جداً بحيث يكون في كثير من الأحيان أقل من 20 ملليجرام لكل 100 ملليلتر من الدم . وأما المواليد أكثر من 2.5 كجم فإن مستوى السكر لديهم يكون عادة فوق 30 ملليجرام .
ويعتبر هذا المستوى ( 20 أو 30 ملليجرام ) هبوطاً شديداً في مستوى سكر الدم ، ويؤدي ذلك إلى الأعراض الآتية :
1-أن يرفض المولود الرضاعة .
2-ارتخاء العضلات .
3-توقف متكرر في عملية التنفس وحصول ازرقاق الجسم .
4-اختلاجات ونوبات من التشنج
Sesungguhnya
kandungan zat gula “glukosa” dalam darah bayi yang baru lahir adalah sangat
kecil. Jika bayi yang lahir beratnya lebih kecil maka semakin kecil pula
kandungan zat gula dalam darahnya. Oleh karena itu, bayi prematur (lahir
sebelum dewasa), beratnya kurang dari 2,5 kg, maka kandungan zat gulanya sangat
kecil sekali, di mana pada sebagian kasus malah kurang dari 20 mg/ 100 mL
darah. Adapun anak yang lahir dengan berat badan di atas 2,5 kg, maka kadar
gula dalam darahnya biasanya di atas 30 mg/100 mL.
Kadar
semacam ini berarti (20 atau 30 mg/100 mL darah) merupakan keadaan bahaya dalam
ukuran kadar gula dalam darah. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya berbagai
penyakit:
- Bayi menolak untuk menyusui,
- Otot-otot melemas,
- Berhenti secara terus-menerus aktivitas pernafasan dan kulit bayi menjadi kebiruan;
- Kontraksi atau kejang-kejang[10]
Tujuan Tahnik Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam adalah Imunisasi?
Setelah
mengetahui hikmah tahnik melalui penjelasan para ulama, maka kita dapati tidak
ada yang menyatakan bahwa hikmah tahnik adalah sebagai imunisasi alami, atau
semisal meningkatkan kemampuan tubuh untuk untuk melawan penyakit. Apalagi
menyatakan bahwa tujuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah
imunisasi, maka ini perlu dalil dan kita tidak mendapati dalil tersebut. Kita
seharusnya berhati-hati karena berkata dusta atas nama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam terdapat ancaman keras. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَذَبَ
عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Barang
siapa berdusta atas namaku, maka bersiap-siaplah menempati tempat duduknya di
neraka’”[11]
Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam juga bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَيَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Sesungguhnya
berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta atas nama orang lain. Karena
barangsiapa yang berdusta atas namaku dengan sengaja, maka hendaklah dia
mempersiapkan tempat duduknya dari neraka.”[12]
Bukan Hanya Tahnik, Tetapi Juga Ditambah
Mendo’akan
Ada ulama
juga yang berpendapat bahwa tahnik sebenarnya adalah mendoakan dan mengharap
berkah. Jadi tidak hanya tahnik saja tetapi harus disertai dengan mendoakan
bayi tersebut.
Syaikh Ihsan
bin Muhammad Al ‘Utaibi berkata,
قلت: الصحيح
الثابت أن المحنِّك “يدْعُو للْمَوْلودِ بِالبَرَكَةِ”، كما جاء في “صحيح البخاري”
(10/707) من حديث أبي موسى الأشعري. وفي صحيح مسلم (3/193) من حديث عائشة رضي الله
عنها ” يُبَرِّكُ عَلَيْهِمْ” – أي: يدعو لهم بالبركة صلى الله عليه وسلم
“Yang tepat, orang yang melakukan
tahnik juga mendoakan keberkahan bagi bayi tersebut, sebagaimana dalam
hadits di shahih Bukhari (10: 707) pada hadits Abu Musa Al Asy’ari dan di
Shahih Muslim (3: 193) dari hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha, ‘Nabi
-shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan keberkahan bagi mereka’.”[13]
Ibnu Hajar
Al Asqalani rahimahullah menjelaskan doa yang dibaca,
قوله ثم حنكه
أي وضع في فيه التمرة ودلك حنكه بها قوله وبرك عليه أي قال بارك الله فيه أو اللهم
بارك فيه
“Maksud
mentahnik adalah meletakkan dalam mulut bayi kurma, kemudian menggosoknya,
kemudian mendoakannya yaitu berdoa, “Baarakallahu fiihi (semoga berkah Allah
diberikan untuknya)”, atau “Allahumma baarik fiihi (Ya Allah, berkahilah dia).”[14]
Apakah Bakteri dalam Mulut Merangsang
Imunitas Alami?
Salah satu
teori yang diusung oleh mereka yang menyatakan bahwa tahnik adalah imunisasi
alami yaitu bakteri dari mulut orang yang mentahnik akan berpindah ke perut
bayi kemudian merangsang imunitas alami. Sebagaimana teori imunisasi yaitu
memaparkan antigen seperti bakteri yang dilemahkan atau yang dimatikan.
Ini perlu penelitian dan pembuktian ilmiah. Dan jika benar maka bayi
tersebut hanya kebal terhadap bakteri di mulut bukan dengan bakteri penyakit
yang lain. Wallahu ‘alam.
Demikian
pembahasan dari kami. jika ada saran, masukan dan kritik yang bersifat
membangun harap disampaikan kepada kami. Mungkin masih ada ilmu
yang belum sampai kepada kami. Semoga bermanfaat.
Disempurnakan
di Lombok, Pulau seribu masjid
Penyusun: dr. Raehanul
Bahraen
Editor: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel Muslim.Or.Id
[1] Fathul Baari, Ibnu Hajar Al
Asqolani, terbitan Darul ma’rifah-Beirut, tahun 1379 H, 9: 558.
[2] Dikeluarkan oleh Al-Bukhari
(5467 Fathul Bari) Muslim (2145 Nawawi), Ahmad (4/399), Al-Baihaqi dalam Al-Kubra
(9/305) dan Asy-Syu’ab karya beliau (8621, 8622)
[3] Muttafaq ‘alaih, HR. Bukhari
no. 5470 dan Muslim no. 2144.
[5] Sebagian ulama saat ini yang
Editor pernah dengar langsung membatasi tahnik hanya khusus untuk Nabi
-shallallahu ‘alaihi wa sallam-. Yang berpendapat demikian di antaranya adalah
Syaikhuna Syaikh Sholih bin Fauzan Al Fauzan dan Syaikh Sa’ad bin Nashir Asy
Syatsri. Semoga Allah menjaga dan memberkahi umur mereka berdua.
[6] Dinukil dari Fatwa Al
Islam Su’al wal Jawab no. 102906.
[8] Syarh Muslim, Imam Nawawi,
terbitan Dar Ihya’ At Turost-Beirut, cetakan kedua, tahun 1392 H, 14: 124.
[9] Fathul Baari, 9: 558.
[10] Dinukil dari Fatwa Al
Islam Su’al wal Jawab no. 102906
[11] Hadits mutawatir, HR. Bukhari
no. 1291 dan Muslim no. 3.
[12] HR. Al-Bukhari no. 1291 dan
Muslim no. 4.
[14] Fathul Baari 7: 248.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar