Sabtu, 15 Juni 2013

Nasr Hamid Abu-Zayd Tokoh Sekuler dalam Islam



Nasr Hamid Abu-Zayd
Yang Berseberangan dengan Imam Syafii

16 DESEMBER 1993 adalah hari paling kelabu dalam kehidupan Abu-Zayd. Kepahitan itu bermula dari suatu forum bahagia di Universitas kairo untuk mempertimbangkan pengangkatan Abu Zayd sebagai profesor (al-ustadz). Untuk keperluan itu, ia memberikan beberapa makalahnya yang telah diterbitkan dalam beberapa jurnal. Tapi, yang istimewa adalah dia juga menyertakan dua buku, Al-Imam as-syafi'i wa Ta'sis al-Aidulujiyat al-Wasathiyah, --Imam Syafii, kemodernan dan Eklektisisme Arabisme dan Naqd al-Khithab ad-Din.

Forum akhirnya tidak berjalan sebagaimana yang dia inginkan. Dr Abdus Shabur Syahin sebagai penilai (muqarrir), menilai karya-karya Abu-Zayd berkadar ilmiah rendah dan telah ke luar dari kerangka keimanan. Bukunya yang pertama bahkan telah menghina Imam Syafii dengan tuduhan keji. Ajakan Abu-Zayd untuk membebaskan diri dari kekuasaan teks, di mata Shabur, adalah ajakan untuk memalingi al-Quran. Kesimpulan yang sama, celakanya, juga diikuti penilai yang lain, Dr Muhammad Baltaqi, Dr Ismail salim, Dr Sya'ban Ismail, Dr Muhammad Syuk'ah. Karier akademik Abu-Zayd pun tamat. Ia kemudian dikafirkan!

Dan masalah tidak berhenti sampai di situ. Abu-Zayd melawan. Polemik pun bertebaran di media massa. Hebatnya, Dr Syahin menjadikan kasus Abu-Zayd ini tema dalam khotbah salat Jumat di masjid Amr bin al-Ash. Ia memang imam tetap di sana. Dan dalam waktu singkat, publik pun terbelah, antara yang simpati dengan Abu-Zayd dan kelompok pembencinya. Kelompok pembencinya mengumpulkan semua tulisan kecaman dan menjadikannya sebuah buku Qishatu Abu Zayd wa Inhisaru al-Almaniyah fi Jami'ati al-Qahirah, --Kisah Abu-Zayd dan Kehancuran Sekularisme di Universitas Kairo. Buku ini diberi pengantar oleh Dr Syahin sendiri dengan kecaman yang sangat pedas! Buku-buku lain pun terbit, Abu-Zayd kian terperosok. Namun, pendukung Abu-Zayd tak mau kalah, juga menerbitkan buku al-Qaul al-Mufid, --Ucapan yang Berguna. Abu-Zayd sendiri tak menyerah, ia ajukan banding kepengadilan untuk mendapatkan haknya sebagai pengajar di Universitas. Tapi, keputusan pengadilan justru memperburuk keadaannya. Vonis murtad jatuh, dan hukum diterakan: ancaman kematian, keharusan perceraian, dan konsekuensi lain dari kemurtadan. Abu-Zayd menangis.

Tertarik Sastra
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di kairo, tahun 1943. Ia anak yang pendiam, dan suka sekali pada sastra. Sedari muda, ia sangat tertarik dengan kajian bahasa dan filsafat. Ia bahkan fokus pada perangkat metodologi analisa wacana dan dinamika teori teks dalam semiotika. Jelas, pikirannya menginduk ke Prancis dengan tokoh besar Derrida, Arkoun dan pengagum Hasan Hanafi. Tak heran, untuk memperkuat minatnya itu, ia masuk ke Fakultas Sastra Universitas Kairo, dan kemudian mengabdi di situ. Ia kemudian membuat komunitas kritis dalam lingkungannya. Kajiannya masih seputar wilayah teks, dengan menggali kembali warisan-warisan intelektual Islam sebagai teks yang harus dikeluarkan dari wacana ideologis. Ia berusaha mencari tafsir yang ke luar dari hanya pengenalan teks semata, memasuki sisi ikutan sejarah-politik dan watak ekonomi. Zayd percaya, peradaban selalu membentuk teks-teks keagamaan tadi.

Secara sederhana, proyek kajian Zayd adalah mencoba menbongkar konsep keyakinan. Ia percaya, banyak teks yang hanya diyakini tanpa upaya pemahaman yang konkret. Keimanan tanpa landasan! Maka, segera bukunya terbit, Imam Syafii, Kemodernan, Eklektisisme-Arabisme yang memicu masalah itu. Dalam buku ini, Zayd memang mengkritisi Imam Syafii, dan mengatakan ulama itu telah secara sepihak menempatkan budaya Quraisy sebagai sentral penafsiran pada al-Quran. Ia menilai Syafii telah membakukan model pemaknaan al-Quran, teorisasi Sunah sebagai sumber tasyri' yang otoritatif dan memperluas Sunah sampai dengan Ijma, tapi menolak qiyas.

"Akibatnya, tak bisa dibedakan lagi mana teks yang primes dan sekunder. Ini menunjukkan watak moderat Syafii hanya semu karena argumentasinya hanya mengutip sosiologis Quraisy," kritiknya.

Pandangan inilah yang membuat Syahin dan Muhammad Imarah menjadi emosi. Imarah misalnya, menilai Abu-Zayd telah merusak sakralitas al-Quran dan menyatakan Al-Quran bukan diciptakan Tuhan tapi produk budaya Arab, khususnya puak Quraisy. Jelas, itu tuduhan yang nggladrah. Benar bahwa Abu-Zayd berpendapat al-Quran dibentuk oleh budaya Arab. Tetapi, itu tidak berarti ia tak meyakini al-Quran sebagai ciptaan Allah. Ia percaya hal itu, cuma karena al-Quran menggunakan bahasa manusia dan disampaikan untuk kepentingan umat manusia, juga melihat faktor asbab al-nuzul, ayat Mekah dan Madinah, juga yang dihapus/diganti, menjadi bukti ada "campur tangan" sosial-politik dan sejarah pada wahyu-wahyu itu.

Sebenarnya ini bukan pandangan yang luar biasa. Tesis kaum Mu'tazilah pun berpendapat al-Quran adalah makhluq/muhdats, diciptakan karena firman Allah merupakan produk dari sifat Allah yang Maha Berbicara. Pendapat ini bertentangan dengan kelompok Hanbaliyyah dan Asy'ariyah yang yakin al-Quran eksis bersamaan (co-exist) dengan Allah, dan tak bermula.

Pertengkaran ini memucak dalam sidang banding, dan Abu-Zayd menyambut debat itu dengan kajian yang kian cemerlang, At-Tafkir fi zaman at-Takfir, --Pemikiran di Masa Pengkafiran. Di sinilah, ia melontarkan pidato yang amat terkenal itu: "Ilmu, tidak akan memberikan kepadamu sebagian dirinya, kecuali kamu menyerahkan seluruh dirimu kepadanya. Jika kamu telah menyerahkan kepadanya seluruh dirimu, maka dengan pemberian dirinya kepadamu yang sebagian itu saja, ia sungguh-sungguh menempatkanmu dalam bahaya."

Dan memang, meski argumentasi buku itu demikan kuatnya dan tak terbantahkan, Abu-Zayd tetap saja dikalahkan.
Kekalahannya sekali lagi membuktikan tesisnya tentang "keyakinan tanpa pemahaman". Ia kembali dikafirkan, dan dinilai murtad. Konsekwensinya menurut hukum di sana, sebagai seorang yang murtad, perkawinannya dibatalkan. Seorang murtad dinilai tak boleh menikahi wanita muslimah.
Ini memang upaya agar Abu-Zayd menyerah, dan mengakui kesalahan kajiannya atas Imam Syafii. Tapi, demi kebenaran ilmiah dan kepentingan umat Islam keseluruhan, ia tak menarik argumentasinya. Dan ketika tangan pengadilan akan memutus pernikahannya, 1995, ia dengan berat hari "mengungsi" ke Leiden, Belanda, di mana pemikiran seliar apa pun, sepanjang ada arguementasinya, bisa tumbuh merdeka.
Kini, di Kairo, pemikirannnya berbiak. Abu-Zayd menang, meski ia tak berada di dalam rumahnya. (Aulia A Muhammad)

Kritik Nasr Hamid
Nasr Hamid yang melakukan kritik terhadap teks al-Quran, banyak persamaan dengan fenomena dalam tradisi Kristen yang begitu digemari para sarjana Muslim. Baca di CAP Adia Husaini, MA ke-39 ( Hidayatullah.com, Senin, 12 Januari 2004 )
Pada tanggal 27 Desember 2003, Harian Republika menurunkan artikel saya yang berjudul “Mendudukkan Tradisi”. Seminggu kemudian, 3 Januari 2004, muncul tanggapan terhadap artikel tersebut dari seorang mahasiswa pascasarjana asal Indonesia yang sedang belajar di Department of Comparative Religion, Western Michigan University. Ia juga penulis buku berjudul Nasr Hamid Abu Zaid dan Kritik Teks Keagamaan.

Salah satu masalah yang mendapat sorotan adalah kritik terhadap Nasr Hamid Abu Zaid oleh Dr. Mustha Tajudin, pakar Ulumul Quran asal Maroko, yang sekarang mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia. Musthafa yang pernah berdebat secara terbuka dengan Nasr Hamid di Maroko memberikan kritikan tajam terhadap pendapat-pendapat Nasr Hamid. Karena sosok Nasr Hamid itu sekarang sangat popular di dunia internasional, termasuk di Indonesia, maka kiranya perlu kita pahami sedikit latar belakang kehidupannya. Beberapa bukunya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Ia memang menekuni bidang Bahasa Arab dan Ulumul Quran. Meskipun kemudian melarikan diri dari Mesir ke Belanda, namun dalam satu wawancara, dia menyatakan bangga, karena telah mendidik banyak cendekiawan, termasuk beberapa dari Indonesia. Tahun 1972, ia menjadi asisten dosen di Jurusan Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Kairo.

Pada tahun 1975-1977, ia mendapat bantuan beasiswa dari Ford Foundation untuk studi di Universitas Amerika Kairo. Lalu, tahun 1978-1979 ia belajar di Universitas Pennsylvania, Philadelphia USA. Berbeda dengan banyak ulama atau cendekiawan Muslim, Nasr Hamid banyak menulis tentang kritik terhadap teks al-Quran, satu studi yang biasa dilakukan terhadap Bible. Tentu, bagi kaum Muslim, kritik teks (textual Criticism) terhadap al-Quran adalah sesuatu yang aneh.
Studi tentang kritik teks Bible memang telah berkembang pesat di Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya, selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Maka, jika teks-teks Bible sudah begitu banyak dikritisi, muncul pertanyaan di kalangan orientalis, mengapa teks-teks al-Quran tidak dapat diperlakukan yang sama? Menurut mereka, bukankah al-Quran juga sebuah “teks”? Apa bedanya dengan Bible? 

Jadi, orang seperti Lester ini ingin agar kaum Muslim melepaskan keyakinannya, bahwa al-Quran adalah kata-kata Tuhan (kalam Allah) yang tidak berubah. Untuk menjebol tembok keyakinan umat Islam itu, menurut Puin, maka harus dibuktikan bahwa al-Quran juga memiliki aspek kesejarahan. Aspek historisitas al-Quran inilah yang harus ditekankan.
Disamping merujuk kepada sederet orientalis, Lester juga menyatakan kegembiraannya bahwa di dunia Islam, sejumlah orang telah melakukan usaha “revisi” terhadap paham tentang teks al-Quran sebagai kalam Allah. Diantaranya, ia menyebut nama Nasr Hamid Abu Zaid, Arkoen, dan beberapa lainnya.
Michael Cook, dalam bukunya, The Koran: A Very Short Introduction, (2000:44), mengutip pendapat Nasr Hamid –yang dia tulis sebagai “a Muslim secularist” –tentang al-Quran sebagai produk budaya: “If the text was a message sent to the Arabs of the seven century, then of necessity it was formulated in a manner which took for granted historically specific aspects of their language and culture. The Koran thus took shape in human setting. It was a ‘ cultural product’ – a phrase Abu Zayd used several times…” (Pendapat Lester dan Cook dikutip dari buku The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, karya Musthafa A’zhami (2003).
Dalam melakukan kajian terhadap al-Quran, disamping merujuk kepada pendapat-pendapat Mu’tazilah, Nasr Hamid banyak menggunakan metode yang disebut sebagai hermeneutic. Ia seorang hermeneut. The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bible. Salah satu prinsip penting dalam hermeneutika untuk memahami satu teks adalah menganalisis kondisi pengarang dari teks tersebut.
Untuk Bible, hal ini tidak terlalu menjadi masalah, sebab semua Kitab dalam Bible memang ada pengarangnya. Tetapi, apa ada yang disebut sebagai pengarang al-Quran? Bapak hermeneutika modern, Friedrich Schleiermacher (1768-1834), merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasarkan pada analisis terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan) pengarangnya. Analisis terhadap faktor pengarang ini sangat penting untuk memahami teks.

Tentang al-Quran, Nasr Hamid menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai penerima wahyu, pada posisi semacam “pengarang” al-Quran ini. Ia menulis dalam bukunya, Mafhum al-Nash, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia.
Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Mekkah sebagai anak yatim, dididik dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan badui.
Dengan demikian, kata Nasr Hamid, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terhadap harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sosial budaya, dan sejarah masyarakatnya.

Tentang konsep wahyu dan Muhammad ini, ditulis dalam buku “Nasr Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan” (2003:70), “ Mereka memandang al-Quran – setidaknya sampai pada tingkat perkataan – bukanlah teks yang turun dari langit (surga) dalam bentuk kata-kata aktual – sebagaimana pernyataan klasik yang masih dipegang berbagai kalangan --, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring melalui Muhammad dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya.”

Dengan definisi seperti itu, jelas bahwa Nabi Muhammad saw diposisikan sebagai semacam pengarang al-Quran. Dan ini sebenarnya masih sejalan dengan pendapat para orientalis dan misionaris Kristen yang menyebut agama Islam sebagai “agama Muhammad”, dan hukum Islam disebut sebagai “Mohammedan Law”, umat Islam disebut sebagai Mohammedan”. Tokoh misionaris terkenal Samuel M. Zwemmer, menyebut bukunya yang berjudul “Islam: A Challenge to Faith” (terbit pertama tahun 1907), sebagai “studies on the Mohammedan religion and the needs and opportunities of the Mohammedan World From the standpoint of Christian Missions”.
Karena itu, mestinya penyebaran pendapat tentang al-Quran yang “nyeleneh” seperti itu dipikirkan dan didiskusikan secara serius dengan para ulama dan cendekiawan Muslim lainnya. Sebab, pendapat seperti ini membawa dampak yang serius dalam pemahaman tentang konsep dasar al-Quran. Sebagaimana ditulis dalam sampul buku Mafhum al-Nash edisi Indonesia, bahwa “Dengan pembongkaran ini, kajian atas al-Quran menjadi semakin menarik, merangsang perdebatan ini melahirkan konsep baru yang radikal terhadap eksistensi al-Quran.”

Pendapat Nasr dan kalangan dekontsruksionis ini memang menjebol konsep dasar tentang al-Quran yang selama ini diyakini kaum Muslim, bahwa al-Quran, baik makna maupun lafaz-nya adalah dari Allah. Nabi Muhammad saw hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya, setempat dan seketika itu. Posisi beliau saw dalam menerima dan menyampaikan al-wahyu memang pasif, hanya sebagai “penyampai” apa-apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau tidak menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma’shum.
Al-Quran menyebutkan: “Dan dia (Muhammad saw) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS Al-Najm: 3). Muhammad saw memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6).

Dalam keyakinan Muslim selama ini, Nabi Muhammad saw hanyalah sebagai penyampai. Teks-teks al-Quran memang dalam bahasa Arab dan beberapa diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu. Tetapi, al-Quran tidak tunduk pada budaya. Al-Quran justru merombak budaya Arab dan membangun sesuatu yang baru. Istilah-istilah yang dibawa al-Quran, meskipun dalam bahasa Arab, tetapi membawa makna baru, yang berbeda dengan yang dipahami kaum Musyrik Arab waktu itu.

Kajian historisitas Kitab suci semacam ini pun sebenarnya telah berkembang lama dalam tradisi Bible. Reginald H. Fuller, dalam bukunya berjudul A Critical Introduction to the New Testament, (London: Gerald Duckworth & Co Ltd, 1979), menulis: “That is why if we are to understand what the New Testament texts were meant to say by the authors when they were first written… we must first understand the historical situation in which they were first written.”
Jadi, kata penulis buku ini, jika ingin tahu apa yang dimaksud oleh teks Perjanjian Baru oleh penulisnya, maka harus tahu kondisi sejarah saat kitab itu ditulis. Canon Sell (1839-1932), seorang misionaris Kristen di Madras, India, sudah lama menyarankan agar kajian kritis-historis terhadap al-Quran dilakukan dengan menggunakan metodologi kritik Injil (Biblical Criticism). Sell sendiri, dalam karyanya Historical Development of the Qur’an sudah menggunakan metodologi higher criticism, untuk mengkaji historisitas al-Qur’an. (Canon Sell, Studies in Islam (Delhi: B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama terbit tahun 1928).

Pertanyaan kita, apakah Nabi Muhammad saw menulis al-Quran? Sebagaimana Lukas, Markus, Matius, Johanes menulis Bible? Tentu tidak sama. Posisi dan kondisi teks al-Quran dan Bible itulah yang sebenarnya berbeda, sehingga tidaklah tepat jika metode interpretasi Bible yang disebut sebagai hermeneutika juga diterapkan tehadap al-Quran. Tetapi, sekarang sudah begitu banyak yang mengecam kitab-kitab tafsir para ulama dan mengajukan tafsir baru metode hermeneutika. Dalam sebuah buku hermeneutika yang terbit di Indonesia, penulisnya mencatat: “Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo, dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya.”

Nasr Hamid yang seorang hermeneut, juga mengecam keras metode tafsir kaum Ahlusunnah yang didasarkan pada Sunnah Rasul, pendapat para sahabat Nabi, Tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Ia menulis dalam buku Mafhum al-Nas Diraasah fii Uluum al-Quran: bahwa tafsir kaum Ahlussunnah adalah tafsir yang didasarkan pada kuasa ulama kuno, yang mengaitkan “makna teks” dan signifikansinya dengan masa keemasan, kenabian, risalah, dan masa turunnya wahyu. Mereka menyusun sumber-sumber pokok pengambilan tafsir pada empat hal yang dimulai dengan pengambilan dari Rasulullah saw, kemudian mengambil pendapat sahabat, lalu merujuk pendapat-pendapat tabi’in, baru kemudian muncul tingkat keempat, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.

Fenomena Nasr Hamid dan para pendukungnya di Indonesia perlu dikaji secara serius oleh para ulama dan cendekiawan Muslim. Mengapa pemikiran yang “nyeleneh” dan banyak persamaannya dengan fenomena serupa dalam tradisi Kristen itu begitu banyak digemari oleh kalangan sarjana Muslim. Beberapa diantaranya menjadi fanatik dan marah-marah kalau tokoh pujaannya dikritik. Dalam beberapa buku tentang Nasr Hamid yang terbit di Indonesia ditulis sejumlah pujian terhadapnya. Ia digambarkan sebagai sosok ilmiah, akademis, progresif, dan sebagainya, sementara pengritiknya diposisikan sebagai ortodoks, fundamentalis, dan sebagainya. Seolah-olah ia adalah seorang “mujtahid” abad ke-21. Misalnya ditulis dalam sebuah buku tentang dia: “Kendati ia harus diseret ke pengadilan dan diharuskan bercerai dengan istrinya karena dianggap keluar dari Islam, namun gairah intelektual tak pernah menyurutkan dirinya untuk berkarya.”

Dalam sampul buku Mafhum al-Nash edisi Indonesia ditulis: “Buku ini merupakan salah satu sayap penafsiran radikal yang menolak al-Quran didekati secara dogmatis-ideologis. Sebagai sanggahannya, penulis melakukan pembongkaran atas Konsep Teks dan Wahyu melalui metode analisis teks.”

Para pendukung Nasr Hamid bukanlah manusia sembarangan. Mereka rata-rata para sarjana agama dan beberapa diantaranya aktif di organisasi Islam terkenal. Ada yang sejak kecil hidup di pesantren dan berasal dari keluarga tokoh Islam. Memang sering muncul pertanyaan, mengapa orang yang sama-sama belajar al-Quran justru kemudian memiliki pandangan dan sikap yang berbeda-beda terhadap al-Quran? Secara ekstrim, banyak kasus semacam ini terjadi. Para orientalis begitu banyak yang mengkaji al-Quran, namun justru mereka ingin meruntuhkan otoritas al-Quran.

Nama-nama Arthur Jefry, Noldeke, dan sebagainya, sudah sangat terkenal dalam kajian tentang al-Quran. Arthur Jefry, misalnya, mendesak agar tafsir kritis terhadap teks al-Qur’an diwujudkan dengan menggunakan metode penelitian kritis modern. Jefry mengatakan, bahwa apa yang kita butuhkan, adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk tafsir al-Qur’an. Mestinya, karya-karya orientalis seperti ini dikritisi, sebab banyak diantara mereka yang memiliki misi dan motif tidak baik dalam mengkaji al-Quran. Musthafa A’zhami dalam bukunya, The History of the Qur’anic Text, From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, membongkar habis-habisan serangan orientalis dan berbagai kalangan lain terhadap al-Quran.

Fenomena semacam ini sekali lagi membuktikan, bahwa sedang terjadi proses liberalisasi yang sangat serius di dalam tubuh umat Islam, khususnya di Indonesia. Ratusan, bahkan ribuan cendekiawan dari kalangan kaum Muslim sendiri kini siap membongkar-bongkar apa yang selama ini telah “selesai” dalam konsep Islam. Tidak perlu orientalis atau misionaris yang turun tangan. Banyak diantara pelakunya yang kemudian mendapat keuntungan di dunia. Apalagi, penguasa dunia yang sedang berkuasa dan kaya raya, pun suka terhadap mereka. Wallahu a’lam. (KL, 9 Januari 2004).




Toby Lester dalam The Atlantic Monthly, Januari 1999, mengutip pendapat Gerd R. Joseph Puin, seorang orientalis pengkaji al-Quran, yang menyarankan perlunya ditekankan soal aspek kesejarahan al-Quran. “So many Muslims have this belief that everything between the two covers of the Koran is just God’s unaltered word,” (Dr. Puin) says. “They like to quote the textual work that shows that The Bible has a history and did not fall straight out of the sky, but until now the Koran has been out of this discussion. The only way to break through this wall is to prove that the Koran has a history too.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar