Nasr Hamid Abu-Zayd
Yang Berseberangan dengan Imam Syafii
16 DESEMBER 1993 adalah hari paling kelabu dalam kehidupan
Abu-Zayd. Kepahitan itu bermula dari suatu forum bahagia di Universitas kairo
untuk mempertimbangkan pengangkatan Abu Zayd sebagai profesor (al-ustadz).
Untuk keperluan itu, ia memberikan beberapa makalahnya yang telah diterbitkan
dalam beberapa jurnal. Tapi, yang istimewa adalah dia juga menyertakan dua
buku, Al-Imam as-syafi'i wa Ta'sis al-Aidulujiyat al-Wasathiyah, --Imam Syafii,
kemodernan dan Eklektisisme Arabisme dan Naqd al-Khithab ad-Din.
Forum akhirnya tidak berjalan sebagaimana yang dia inginkan. Dr
Abdus Shabur Syahin sebagai penilai (muqarrir), menilai karya-karya Abu-Zayd
berkadar ilmiah rendah dan telah ke luar dari kerangka keimanan. Bukunya yang
pertama bahkan telah menghina Imam Syafii dengan tuduhan keji. Ajakan Abu-Zayd
untuk membebaskan diri dari kekuasaan teks, di mata Shabur, adalah ajakan untuk
memalingi al-Quran. Kesimpulan yang sama, celakanya, juga diikuti penilai yang
lain, Dr Muhammad Baltaqi, Dr Ismail salim, Dr Sya'ban Ismail, Dr Muhammad
Syuk'ah. Karier akademik Abu-Zayd pun tamat. Ia kemudian dikafirkan!
Dan masalah tidak berhenti sampai di situ. Abu-Zayd melawan.
Polemik pun bertebaran di media massa.
Hebatnya, Dr Syahin menjadikan kasus Abu-Zayd ini tema dalam khotbah salat
Jumat di masjid Amr bin al-Ash. Ia memang imam tetap di sana. Dan dalam waktu singkat, publik pun
terbelah, antara yang simpati dengan Abu-Zayd dan kelompok pembencinya.
Kelompok pembencinya mengumpulkan semua tulisan kecaman dan menjadikannya
sebuah buku Qishatu Abu Zayd wa Inhisaru al-Almaniyah fi Jami'ati al-Qahirah,
--Kisah Abu-Zayd dan Kehancuran Sekularisme di Universitas Kairo. Buku ini
diberi pengantar oleh Dr Syahin sendiri dengan kecaman yang sangat pedas!
Buku-buku lain pun terbit, Abu-Zayd kian terperosok. Namun, pendukung Abu-Zayd
tak mau kalah, juga menerbitkan buku al-Qaul al-Mufid, --Ucapan yang Berguna.
Abu-Zayd sendiri tak menyerah, ia ajukan banding kepengadilan untuk mendapatkan
haknya sebagai pengajar di Universitas. Tapi, keputusan pengadilan justru
memperburuk keadaannya. Vonis murtad jatuh, dan hukum diterakan: ancaman
kematian, keharusan perceraian, dan konsekuensi lain dari kemurtadan. Abu-Zayd
menangis.
Tertarik Sastra
Nasr Hamid Abu Zayd lahir di kairo, tahun 1943. Ia anak yang
pendiam, dan suka sekali pada sastra. Sedari muda, ia sangat tertarik dengan
kajian bahasa dan filsafat. Ia bahkan fokus pada perangkat metodologi analisa
wacana dan dinamika teori teks dalam semiotika. Jelas, pikirannya menginduk ke
Prancis dengan tokoh besar Derrida, Arkoun dan pengagum Hasan Hanafi. Tak
heran, untuk memperkuat minatnya itu, ia masuk ke Fakultas Sastra Universitas
Kairo, dan kemudian mengabdi di situ. Ia kemudian membuat komunitas kritis
dalam lingkungannya. Kajiannya masih seputar wilayah teks, dengan menggali
kembali warisan-warisan intelektual Islam sebagai teks yang harus dikeluarkan
dari wacana ideologis. Ia berusaha mencari tafsir yang ke luar dari hanya
pengenalan teks semata, memasuki sisi ikutan sejarah-politik dan watak ekonomi.
Zayd percaya, peradaban selalu membentuk teks-teks keagamaan tadi.
Secara sederhana, proyek kajian Zayd adalah mencoba menbongkar
konsep keyakinan. Ia percaya, banyak teks yang hanya diyakini tanpa upaya
pemahaman yang konkret. Keimanan tanpa landasan! Maka, segera bukunya terbit,
Imam Syafii, Kemodernan, Eklektisisme-Arabisme yang memicu masalah itu. Dalam
buku ini, Zayd memang mengkritisi Imam Syafii, dan mengatakan ulama itu telah
secara sepihak menempatkan budaya Quraisy sebagai sentral penafsiran pada
al-Quran. Ia menilai Syafii telah membakukan model pemaknaan al-Quran,
teorisasi Sunah sebagai sumber tasyri' yang otoritatif dan memperluas Sunah
sampai dengan Ijma, tapi menolak qiyas.
"Akibatnya, tak bisa dibedakan lagi mana teks yang primes dan
sekunder. Ini menunjukkan watak moderat Syafii hanya semu karena argumentasinya
hanya mengutip sosiologis Quraisy," kritiknya.
Pandangan inilah yang membuat Syahin dan Muhammad Imarah menjadi
emosi. Imarah misalnya, menilai Abu-Zayd telah merusak sakralitas al-Quran dan
menyatakan Al-Quran bukan diciptakan Tuhan tapi produk budaya Arab, khususnya
puak Quraisy. Jelas, itu tuduhan yang nggladrah. Benar bahwa Abu-Zayd
berpendapat al-Quran dibentuk oleh budaya Arab. Tetapi, itu tidak berarti ia
tak meyakini al-Quran sebagai ciptaan Allah. Ia percaya hal itu, cuma karena
al-Quran menggunakan bahasa manusia dan disampaikan untuk kepentingan umat
manusia, juga melihat faktor asbab al-nuzul, ayat Mekah dan Madinah, juga yang
dihapus/diganti, menjadi bukti ada "campur tangan" sosial-politik dan
sejarah pada wahyu-wahyu itu.
Sebenarnya ini bukan pandangan yang luar biasa. Tesis kaum
Mu'tazilah pun berpendapat al-Quran adalah makhluq/muhdats, diciptakan karena
firman Allah merupakan produk dari sifat Allah yang Maha Berbicara. Pendapat
ini bertentangan dengan kelompok Hanbaliyyah dan Asy'ariyah yang yakin al-Quran
eksis bersamaan (co-exist) dengan Allah, dan tak bermula.
Pertengkaran ini memucak dalam sidang banding, dan Abu-Zayd
menyambut debat itu dengan kajian yang kian cemerlang, At-Tafkir fi zaman
at-Takfir, --Pemikiran di Masa Pengkafiran. Di sinilah, ia melontarkan pidato
yang amat terkenal itu: "Ilmu, tidak akan memberikan kepadamu sebagian
dirinya, kecuali kamu menyerahkan seluruh dirimu kepadanya. Jika kamu telah
menyerahkan kepadanya seluruh dirimu, maka dengan pemberian dirinya kepadamu
yang sebagian itu saja, ia sungguh-sungguh menempatkanmu dalam bahaya."
Dan memang, meski argumentasi buku itu demikan kuatnya dan tak
terbantahkan, Abu-Zayd tetap saja dikalahkan.
Kekalahannya sekali lagi membuktikan tesisnya tentang
"keyakinan tanpa pemahaman". Ia kembali dikafirkan, dan dinilai
murtad. Konsekwensinya menurut hukum di sana,
sebagai seorang yang murtad, perkawinannya dibatalkan. Seorang murtad dinilai
tak boleh menikahi wanita muslimah.
Ini memang upaya agar Abu-Zayd menyerah, dan mengakui kesalahan
kajiannya atas Imam Syafii. Tapi, demi kebenaran ilmiah dan kepentingan umat
Islam keseluruhan, ia tak menarik argumentasinya. Dan ketika tangan pengadilan
akan memutus pernikahannya, 1995, ia dengan berat hari "mengungsi" ke
Leiden, Belanda, di mana pemikiran seliar apa pun, sepanjang ada
arguementasinya, bisa tumbuh merdeka.
Kini, di Kairo, pemikirannnya berbiak. Abu-Zayd menang, meski ia
tak berada di dalam rumahnya. (Aulia A Muhammad)
Kritik Nasr Hamid
Nasr Hamid yang melakukan kritik terhadap teks al-Quran, banyak
persamaan dengan fenomena dalam tradisi Kristen yang begitu digemari para
sarjana Muslim. Baca di CAP Adia
Husaini, MA ke-39 (
Hidayatullah.com, Senin, 12 Januari 2004 )
Pada tanggal 27 Desember 2003, Harian Republika menurunkan artikel
saya yang berjudul “Mendudukkan Tradisi”. Seminggu kemudian, 3 Januari 2004,
muncul tanggapan terhadap artikel tersebut dari seorang mahasiswa pascasarjana
asal Indonesia yang sedang
belajar di Department of Comparative Religion, Western Michigan
University. Ia juga
penulis buku berjudul Nasr Hamid Abu Zaid dan Kritik Teks Keagamaan.
Salah satu masalah yang mendapat sorotan adalah kritik terhadap
Nasr Hamid Abu Zaid oleh Dr. Mustha Tajudin, pakar Ulumul Quran asal Maroko,
yang sekarang mengajar di Universitas Islam Internasional Malaysia. Musthafa
yang pernah berdebat secara terbuka dengan Nasr Hamid di Maroko memberikan
kritikan tajam terhadap pendapat-pendapat Nasr Hamid. Karena sosok Nasr Hamid
itu sekarang sangat popular di dunia internasional, termasuk di Indonesia,
maka kiranya perlu kita pahami sedikit latar belakang kehidupannya. Beberapa
bukunya sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Ia memang menekuni
bidang Bahasa Arab dan Ulumul Quran. Meskipun kemudian melarikan diri dari
Mesir ke Belanda, namun dalam satu wawancara, dia menyatakan bangga, karena
telah mendidik banyak cendekiawan, termasuk beberapa dari Indonesia. Tahun 1972, ia menjadi
asisten dosen di Jurusan Bahasa Arab Fakultas Sastra Universitas Kairo.
Pada tahun 1975-1977, ia mendapat bantuan beasiswa dari Ford
Foundation untuk studi di Universitas Amerika Kairo. Lalu, tahun 1978-1979 ia
belajar di Universitas Pennsylvania, Philadelphia USA. Berbeda dengan banyak ulama
atau cendekiawan Muslim, Nasr Hamid banyak menulis tentang kritik terhadap teks
al-Quran, satu studi yang biasa dilakukan terhadap Bible. Tentu, bagi kaum
Muslim, kritik teks (textual Criticism) terhadap al-Quran adalah sesuatu yang
aneh.
Studi tentang kritik teks Bible memang telah berkembang pesat di
Barat. Dr. Ernest C. Colwell, dari School of Theology Claremont, misalnya,
selama 30 tahun menekuni studi ini, dan menulis satu buku berjudul “Studies in
Methodology in Textual Criticism on the New Testatement”. Maka, jika teks-teks
Bible sudah begitu banyak dikritisi, muncul pertanyaan di kalangan orientalis,
mengapa teks-teks al-Quran tidak dapat diperlakukan yang sama? Menurut mereka,
bukankah al-Quran juga sebuah “teks”? Apa bedanya dengan Bible?
Jadi, orang seperti Lester ini ingin agar kaum Muslim melepaskan
keyakinannya, bahwa al-Quran adalah kata-kata Tuhan (kalam Allah) yang tidak
berubah. Untuk menjebol tembok keyakinan umat Islam itu, menurut Puin, maka
harus dibuktikan bahwa al-Quran juga memiliki aspek kesejarahan. Aspek
historisitas al-Quran inilah yang harus ditekankan.
Disamping merujuk kepada sederet orientalis, Lester juga
menyatakan kegembiraannya bahwa di dunia Islam, sejumlah orang telah melakukan
usaha “revisi” terhadap paham tentang teks al-Quran sebagai kalam Allah.
Diantaranya, ia menyebut nama Nasr Hamid Abu Zaid, Arkoen, dan beberapa
lainnya.
Michael Cook, dalam bukunya, The Koran: A Very Short Introduction,
(2000:44), mengutip pendapat Nasr Hamid –yang dia tulis sebagai “a Muslim
secularist” –tentang al-Quran sebagai produk budaya: “If the text was a message
sent to the Arabs of the seven century, then of necessity it was formulated in
a manner which took for granted historically specific aspects of their language
and culture. The Koran thus took shape in human setting. It was a ‘ cultural
product’ – a phrase Abu Zayd used several times…” (Pendapat Lester dan Cook
dikutip dari buku The History of the Qur’anic Text, From Revelation to
Compilation: A Comparative Study with the Old and New Testament, karya Musthafa
A’zhami (2003).
Dalam melakukan kajian terhadap al-Quran, disamping merujuk kepada
pendapat-pendapat Mu’tazilah, Nasr Hamid banyak menggunakan metode yang disebut
sebagai hermeneutic. Ia seorang hermeneut. The New Encyclopedia Britannica
menulis, bahwa hermeneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang
interpretasi Bible (the study of the general principle of biblical
interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah untuk menemukan kebenaran dan
nilai-nilai dalam Bible. Salah satu prinsip penting dalam hermeneutika untuk
memahami satu teks adalah menganalisis kondisi pengarang dari teks tersebut.
Untuk Bible, hal ini tidak terlalu menjadi masalah, sebab semua
Kitab dalam Bible memang ada pengarangnya. Tetapi, apa ada yang disebut sebagai
pengarang al-Quran? Bapak hermeneutika modern, Friedrich Schleiermacher
(1768-1834), merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasarkan pada analisis
terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan)
pengarangnya. Analisis terhadap faktor pengarang ini sangat penting untuk
memahami teks.
Tentang al-Quran, Nasr Hamid menempatkan Nabi Muhammad saw sebagai
penerima wahyu, pada posisi semacam “pengarang” al-Quran ini. Ia menulis dalam
bukunya, Mafhum al-Nash, bahwa al-Quran diturunkan melalui Malaikat Jibril
kepada seorang Muhammad yang manusia.
Bahwa, Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai
teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari
masyarakatnya. Ia tumbuh dan berkembang di Mekkah sebagai anak yatim, dididik
dalam suku Bani Sa’ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan badui.
Dengan demikian, kata Nasr Hamid, membahas Muhammad sebagai
penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif.
Membicarakan dia berarti membicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terhadap
harapan-harapan masyarakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah
bagian dari sosial budaya, dan sejarah masyarakatnya.
Tentang konsep wahyu dan Muhammad ini, ditulis dalam buku “Nasr
Hamid Abu Zaid: Kritik Teks Keagamaan” (2003:70), “ Mereka memandang al-Quran –
setidaknya sampai pada tingkat perkataan – bukanlah teks yang turun dari langit
(surga) dalam bentuk kata-kata aktual – sebagaimana pernyataan klasik yang
masih dipegang berbagai kalangan --, tetapi merupakan spirit wahyu yang disaring
melalui Muhammad dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan
kemampuan linguistiknya.”
Dengan definisi seperti itu, jelas bahwa Nabi Muhammad saw
diposisikan sebagai semacam pengarang al-Quran. Dan ini sebenarnya masih
sejalan dengan pendapat para orientalis dan misionaris Kristen yang menyebut
agama Islam sebagai “agama Muhammad”, dan hukum Islam disebut sebagai
“Mohammedan Law”, umat Islam disebut sebagai Mohammedan”. Tokoh misionaris
terkenal Samuel M. Zwemmer, menyebut bukunya yang berjudul “Islam: A Challenge
to Faith” (terbit pertama tahun 1907), sebagai “studies on the Mohammedan
religion and the needs and opportunities of the Mohammedan World From the
standpoint of Christian Missions”.
Karena itu, mestinya penyebaran pendapat tentang al-Quran yang
“nyeleneh” seperti itu dipikirkan dan didiskusikan secara serius dengan para
ulama dan cendekiawan Muslim lainnya. Sebab, pendapat seperti ini membawa
dampak yang serius dalam pemahaman tentang konsep dasar al-Quran. Sebagaimana
ditulis dalam sampul buku Mafhum al-Nash edisi Indonesia, bahwa “Dengan
pembongkaran ini, kajian atas al-Quran menjadi semakin menarik, merangsang
perdebatan ini melahirkan konsep baru yang radikal terhadap eksistensi
al-Quran.”
Pendapat Nasr dan kalangan dekontsruksionis ini memang menjebol
konsep dasar tentang al-Quran yang selama ini diyakini kaum Muslim, bahwa
al-Quran, baik makna maupun lafaz-nya adalah dari Allah. Nabi Muhammad saw
hanyalah sekedar menyampaikan, dan tidak mengapresiasi atau mengolah wahyu yang
diterimanya, untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan
interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya,
setempat dan seketika itu. Posisi beliau saw dalam menerima dan menyampaikan
al-wahyu memang pasif, hanya sebagai “penyampai” apa-apa yang diwahyukan
kepadanya. Beliau tidak menambah dan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah
kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala
kesalahan, karena beliau ma’shum.
Al-Quran menyebutkan: “Dan dia (Muhammad saw) tidak menyampaikan
sesuatu, kecuali (dari) wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (QS Al-Najm: 3).
Muhammad saw memang seorang manusia biasa, tetapi beliau berbeda dengan manusia
lainnya, karena beliau menerima al-wahyu. (QS Fushilat:6).
Dalam keyakinan Muslim selama ini, Nabi Muhammad saw hanyalah
sebagai penyampai. Teks-teks al-Quran memang dalam bahasa Arab dan beberapa
diantaranya berbicara tentang budaya ketika itu. Tetapi, al-Quran tidak tunduk
pada budaya. Al-Quran justru merombak budaya Arab dan membangun sesuatu yang
baru. Istilah-istilah yang dibawa al-Quran, meskipun dalam bahasa Arab, tetapi
membawa makna baru, yang berbeda dengan yang dipahami kaum Musyrik Arab waktu
itu.
Kajian historisitas Kitab suci semacam ini pun sebenarnya telah
berkembang lama dalam tradisi Bible. Reginald H. Fuller, dalam bukunya berjudul
A Critical Introduction to the New Testament, (London: Gerald Duckworth &
Co Ltd, 1979), menulis: “That is why if we are to understand what the New
Testament texts were meant to say by the authors when they were first written…
we must first understand the historical situation in which they were first
written.”
Jadi, kata penulis buku ini, jika ingin tahu apa yang dimaksud
oleh teks Perjanjian Baru oleh penulisnya, maka harus tahu kondisi sejarah saat
kitab itu ditulis. Canon Sell (1839-1932), seorang misionaris Kristen di
Madras, India,
sudah lama menyarankan agar kajian kritis-historis terhadap al-Quran dilakukan
dengan menggunakan metodologi kritik Injil (Biblical Criticism). Sell sendiri,
dalam karyanya Historical Development of the Qur’an sudah menggunakan
metodologi higher criticism, untuk mengkaji historisitas al-Qur’an. (Canon
Sell, Studies in Islam (Delhi:
B. R. Publishing Corporation, 1985; pertama terbit tahun 1928).
Pertanyaan kita, apakah Nabi Muhammad saw menulis al-Quran?
Sebagaimana Lukas, Markus, Matius, Johanes menulis Bible? Tentu tidak sama.
Posisi dan kondisi teks al-Quran dan Bible itulah yang sebenarnya berbeda,
sehingga tidaklah tepat jika metode interpretasi Bible yang disebut sebagai
hermeneutika juga diterapkan tehadap al-Quran. Tetapi, sekarang sudah begitu
banyak yang mengecam kitab-kitab tafsir para ulama dan mengajukan tafsir baru
metode hermeneutika. Dalam sebuah buku hermeneutika yang terbit di Indonesia,
penulisnya mencatat: “Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang
diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan
status quo, dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya.”
Nasr Hamid yang seorang hermeneut, juga mengecam keras metode
tafsir kaum Ahlusunnah yang didasarkan pada Sunnah Rasul, pendapat para sahabat
Nabi, Tabi’in, dan tabi’it tabi’in. Ia menulis dalam buku Mafhum al-Nas
Diraasah fii Uluum al-Quran: bahwa tafsir kaum Ahlussunnah adalah tafsir yang
didasarkan pada kuasa ulama kuno, yang mengaitkan “makna teks” dan
signifikansinya dengan masa keemasan, kenabian, risalah, dan masa turunnya
wahyu. Mereka menyusun sumber-sumber pokok pengambilan tafsir pada empat hal
yang dimulai dengan pengambilan dari Rasulullah saw, kemudian mengambil
pendapat sahabat, lalu merujuk pendapat-pendapat tabi’in, baru kemudian muncul
tingkat keempat, dan terakhir yaitu tafsir bahasa.
Fenomena Nasr Hamid dan para pendukungnya di Indonesia perlu dikaji secara
serius oleh para ulama dan cendekiawan Muslim. Mengapa pemikiran yang
“nyeleneh” dan banyak persamaannya dengan fenomena serupa dalam tradisi Kristen
itu begitu banyak digemari oleh kalangan sarjana Muslim. Beberapa diantaranya
menjadi fanatik dan marah-marah kalau tokoh pujaannya dikritik. Dalam beberapa
buku tentang Nasr Hamid yang terbit di Indonesia ditulis sejumlah pujian
terhadapnya. Ia digambarkan sebagai sosok ilmiah, akademis, progresif, dan
sebagainya, sementara pengritiknya diposisikan sebagai ortodoks, fundamentalis,
dan sebagainya. Seolah-olah ia adalah seorang “mujtahid” abad ke-21. Misalnya
ditulis dalam sebuah buku tentang dia: “Kendati ia harus diseret ke pengadilan
dan diharuskan bercerai dengan istrinya karena dianggap keluar dari Islam,
namun gairah intelektual tak pernah menyurutkan dirinya untuk berkarya.”
Dalam sampul buku Mafhum al-Nash edisi Indonesia ditulis: “Buku ini
merupakan salah satu sayap penafsiran radikal yang menolak al-Quran didekati
secara dogmatis-ideologis. Sebagai sanggahannya, penulis melakukan pembongkaran
atas Konsep Teks dan Wahyu melalui metode analisis teks.”
Para pendukung Nasr Hamid bukanlah manusia sembarangan. Mereka
rata-rata para sarjana agama dan beberapa diantaranya aktif di organisasi Islam
terkenal. Ada
yang sejak kecil hidup di pesantren dan berasal dari keluarga tokoh Islam.
Memang sering muncul pertanyaan, mengapa orang yang sama-sama belajar al-Quran
justru kemudian memiliki pandangan dan sikap yang berbeda-beda terhadap
al-Quran? Secara ekstrim, banyak kasus semacam ini terjadi. Para
orientalis begitu banyak yang mengkaji al-Quran, namun justru mereka ingin
meruntuhkan otoritas al-Quran.
Nama-nama Arthur Jefry, Noldeke, dan sebagainya, sudah sangat
terkenal dalam kajian tentang al-Quran. Arthur Jefry, misalnya, mendesak agar
tafsir kritis terhadap teks al-Qur’an diwujudkan dengan menggunakan metode
penelitian kritis modern. Jefry mengatakan, bahwa apa yang kita butuhkan,
adalah tafsir kritis yang mencontohi karya yang telah dilakukan oleh orientalis
modern sekaligus menggunakan metode-metode penelitian kritis modern untuk
tafsir al-Qur’an. Mestinya, karya-karya orientalis seperti ini dikritisi, sebab
banyak diantara mereka yang memiliki misi dan motif tidak baik dalam mengkaji
al-Quran. Musthafa A’zhami dalam bukunya, The History of the Qur’anic Text,
From Revelation to Compilation: A Comparative Study with the Old and New
Testament, membongkar habis-habisan serangan orientalis dan berbagai kalangan
lain terhadap al-Quran.
Fenomena semacam ini sekali lagi membuktikan, bahwa sedang terjadi
proses liberalisasi yang sangat serius di dalam tubuh umat Islam, khususnya di Indonesia.
Ratusan, bahkan ribuan cendekiawan dari kalangan kaum Muslim sendiri kini siap
membongkar-bongkar apa yang selama ini telah “selesai” dalam konsep Islam.
Tidak perlu orientalis atau misionaris yang turun tangan. Banyak diantara
pelakunya yang kemudian mendapat keuntungan di dunia. Apalagi, penguasa dunia
yang sedang berkuasa dan kaya raya, pun suka terhadap mereka. Wallahu a’lam.
(KL, 9 Januari 2004).
Toby Lester dalam The Atlantic Monthly, Januari 1999, mengutip
pendapat Gerd R. Joseph Puin, seorang orientalis pengkaji al-Quran, yang
menyarankan perlunya ditekankan soal aspek kesejarahan al-Quran. “So many
Muslims have this belief that everything between the two covers of the Koran is
just God’s unaltered word,” (Dr. Puin) says. “They like to quote the textual
work that shows that The Bible has a history and did not fall straight out of
the sky, but until now the Koran has been out of this discussion. The only way
to break through this wall is to prove that the Koran has a history too.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar