Haji adalah salah satu rukun Islam. Dalam hadits Jibril yang
diriwayatkan oleh Umar bin al-Khattab, urutannya ada pada yang kelima
setelah puasa. Tapi dalam Hadits Ibnu Umar, posisinya ada pada urutan ke
empat, sebelum puasa.
Kekhasan haji sebagai ibadah Mahdhah antar lain disebabkan, karena ia
menggabungkan dua unsur sekaligus; fisik dan finansial (ibadah
jasadiyah wa maaliyah). Berbeda dengan Shalat dan puasa yang hanya
melibatkan fisik (ibadah jasadiyah). Juga berbeda dengan zakat yang
semata-mata ibadah maaliyah tanpa melibatkan jasad.
Jadi haji memang ibadah yang unik. Seseorang yang hanya memiliki
kemampuan fisik atau dana saja, tidaklah menjadi jaminan untuk
menunaikan haji. Sekian banyak orang sehat, tapi tidak memiliki dukungan
maaliyah, begitu juga sebaliknya, akhirnya mereka tidak dapat berhaji.
Juga menarik, satu-satunya rukun Islam yang diambil menjadi nama surat dalam Alqur’an hanyalah haji dengan surat al-haj.
Ada poin essensial dalam haji yang justru banyak dilupakan orang
termasuk yang melakukan manasik itu sendiri, yaitu ketergantungan (tidak
sekedar keterkaitan) haji dengan Tauhid.
Adalah jarang kita mendengar, dalam pelajaran manasik, masalah haji
dan tauhid dibahas. Yang lebih dominan adalah pembahasan haji dari sudut
pandang hukum (fiqh), mempersoalkan mana yang rukun, wajib dan sunnat
haji?
Umpamanya, bagaimana kalau wudhu’ batal di tengah tawaf, karena
bersenggolan dengan wanita yang bukan mahramnya, dalam mazhab Syafii.
Bagaimana batu yang digunakan untuk melontar Jamrah, bukan dari
Muzdalifah, dan persoalan yang sejenisnya.
Padahal, haji mengandung pelajaran penting bagi ‘Aqidah seorang
Muslim. Seharusnya, yang banyak diperhatikan oleh jamaah haji adalah
evaluasi terhadap pemahaman tauhid yang ada pada diri masing-masing.
Apakah pemahamannya selama ini tentang syahadat tauhid sudah benar atau
belum.
Jika ilmu tentang syahadat sudah ia miliki, bagaimana implementasinya
dalam kehidupan? Apakah ilmu itu sudah membuahkan hasil tunduk dan
pasrah secara mutlak kepada Allah Swt? Apakah mereka sudah benar-benar
mengilahkan (menuhankan) Allah swt atau belum?
Jika ya, niscaya akan terlihat efeknya dalam sepak terjangnya. Bila
ia seorang politisi, tentunya ia tidak akan haus jabatan dan pemburu
kekuasaan. Jika ia seorang pebisnis, tentu ia tidak menuhankan
keuntungan materi.
Jadi pertanyaan-pertanyaan ini perlu dihidupkan terus menerus oleh
para jamaah, agar kepergiannya ke tanah haram membuahkan hasil berupa
perubahan dalam garis hidupnya. Tanpa melakukan ini, besar kemungkinan
tidak ada yang berubah, sehingga setelah ia kembali dari haji, mentalnya
sama seperti ketika ia belum berangkat.
Jika ia melakukan korupsi sebelum haji, maka setelah hajipun
perbuatan haram itu masih tetap berlanjut. Jika sebelum haji, ia hampir
tidak pernah datang ke masjid, maka setelah hajipun ia juga jarang
berjamaah ke masjid.
Tidak sedikit muslim bahkan aktifis Islam, yang bolak balik haji dan
umroh (bahkan iktikaf asyrul awakhir bulan Ramadhan di Masjidil Haram),
tapi sesampainya di tanah air, watak aslinya tetap muncul, enggan salat
berjamaah di Masjid, ambisi kekuasaannya sampai ke ubun-ubun,
kehausannya pada kesenangan duniawi mengalahkan kaum kuffar.
Manusia semacam ini, jelas mengkhianati iqrar tauhid yang ia ucapkan dalam manasik haji atau umroh.
Ada sejumlah praktik manasik yang sangat kental nuansa Tauhidnya,
kendatipun secara umum manasik sebenarnya, berkait erat dengan
wahdaniyah Allah Swt., antara lain:
1. Lafaz Talbiyah.
Pertama sekali pelajaran tauhid ada dalam kalimat talbiyah yang
dikumandangkan setiap muhrim (pemakai ihram), baik haji ataupun umroh.
Dalam kalimat itu, dua kali berulang ungkapan ‘La Syarika lak’ (tidak
ada sekutu bagiMu). Sebuah deklarasi penolakan terhadap segala bentuk
penuhanan pada selain Allah Swt. Ini berarti orang tersebut tidak akan
menuhankan kekuasaan, materi, harta, hawa nafsu, dan Ilah-ilah lainnya.
Namun jika fakta di lapangan menunjukkan berbeda dengan iqrar
tersebut, berarti di sana sedang terjadi pengkhianatan, atau lebih
halusnya, sedang berlangsung pemupukan kemunafikan. wal ‘iyazu billah.
2. Tawaf.
Apalagi jika kita renungkan tawaf (mengelilingi) baitullah, maka suhu
tauhid semakin membara di dalam kalbu muhrim. Dari awal putaran ia
mulai dengan kalimat Takbir: ‘Bismillah Allahu Akbar’. Yang besar di
matanya hanya Allah. Semua makhluk adalah kecil. Pikirannya menjadi
terpusat pada Robb hazal bait (Pemilik rumah Allah). Lidahnya hanya
mengucapkan pujian, tasbih, mengakui kemaha agungan Allah swt.
3. Figur Sejarah.
Tak kalah pentingnya dalam pengokohan tauhid pada ibadah haji, ialah
Nabi Ibrahim sebagai figur yang banyak terkait dengan asal usul manasik.
Mulai dari upaya keras membangun ka’bah. Berlari bolak balik dari Safa
ke Marwa. Melempar jamrah yang diambil dari praktik melempar syaitan
yang menggoda Ibrahim a.s agar menggagalkan penyembelihan anaknya
Isma’il a.s.
Ada apa dengan Ibrahim? Ia adalah figur yang menjadi simbol tauhid.
Permusuhannya terhadap paganisme diabadikan di dalam alqur’an surat
al-Anbiya’.
Pada awalnya ia hanya sendirian dengan tegar berani melawan kekuatan
thoghut pada zamannya yang memaksakan kemusyrikan. Ibrahim melawannya
dengan demonstratif. Ia hancurkan seluruh patung yang dipertuhan oleh
kaumnya dan menyisakan hanya satu patung yang terbesar. Keberaniannya
berdebat melawan raja dan melecehkan kaum paganis dengan menyuruh mereka
bertanya kepada patung tentang pelaku pengrusakan Tuhan-tuhan mereka.
Ternyata dalam pandangan Allah, pendapat sedikit atau banyak orang
sama sekali tidak ukuran bagi kebenaran. Belum tentu pendapat terbanyak
itu benar dan pendapat sedikit orang itu salah. Bahkan Ibrahim di
zamannya hanya sendirian, tapi di mata Allah ia dihitung ummat ‘inna
Ibrahim kaana ummah’.
Jadi demokrasi yang mendasarkan pada pendapat terbanyak adalah
prinsip yang batil. Kebenaran tidak boleh diukur dari jumlah
pendukungnya, tetapi diukur dari esensi sebuah pendapat. Jika ia diusung
oleh hujjah yang kuat, maka itulah kebenaran, sementara pendapat yang
didukung oleh hawa nafsu dinilai salah dan runtuh, walaupun pendukungnya
mayoritas.
Sikap Ibrahim dan pengikutnya mendapat pujian langsung dari Allah swt
dan di dalam surat al-mumtahanah. Kita disuruh untuk meneladaninya,
wabil khusus sikap ideologisnya yang tak mengenal kompromi.
Ibrahim dan pengikutnya dengan tegas mengatakan: ‘Kami berlepas dari
kalian dan dari sembahan kalian. Kami menolak kamu dan telah tampak
permusuhan dan kebencian antara kami dan kalian untuk selamanya sampai
kalian beriman hanya kepada Allah.’ Masya Allah, sungguh menggetarkan
ketegasan Nabi Ibrahim dalam bersikap menghadapi musuh aqidah mereka,
yakni tidak menerima kompromi, menampakkan permusuhan dan kebencian,
hingga mereka mau beriman hanya kepada Allah swt.
Andaikan sikap Ibrahim ini dipelajari dan dipraktikkan oleh kaum
Muslimin, paling tidak mereka yang berhaji dan umroh, niscaya akan
terjadi perubahan besar dalam visi dan pandangan hidup mereka. Aqidah
mereka semakin kokoh, iltizam mereka semakin kuat, komitmen mereka
semakin jelas.
4. Dalam berbagai praktik manasik, tampak pelajaran tauhid melalui kepasrahan (al-inqiyad) dan taat yang sempurna.
Setiap orang yang berhaji menampakkan kepasrahan pada aturan yang
ditentukan oleh Allah, tanpa catatan, debat atau protes, betapapun
terasa berat. Kita diperintah berjemur di Arafah di siang hari, menginap
malam hari di Muzdalifah, melempar jumrah dalam jumlah yang besar,
dilanjutkan dengan tawaf ifadhah. Semua ini dilaksanakan dengan pasrah
dan patuh, karena perintahnya datang dari Allah dan RasulNya.
Kepatuhan dan penerimaan itu adalah tolok ukur utama mengetahui
tauhid seseorang. Orang yang bertauhid senantiasa pasrah dan patuh pada
ketentuan Allah. Ia tidak mengatakan, saya akan patuh pada aturan Allah
jika saya telah mengerti betul seluk beluk aturan itu.
Akan halnya perintah manusia, memang sikap kritis (ala bashiroh) itu
harus ditunjukkan, agar tidak hanyut dibawa oleh arus yang menyesatkan.
Karena pertanggung jawaban di hari Akhirat bersifat personal bukan
bersama. Kesalahan bawahan tidak ditimpakan kepada pimpinannya,
sekalipun itu disebabkan karena menjalankan sebuah perintah. Wala taqfu
malaysa laka bihi ilmun, innassam’a wal bashara wal fu’ada kullu ula’ika
kana anhu mas’ula.
Lalu kenapa kepatuhan itu hanya sebatas pada manasik saja, tidak
meliputi ketentuan-ketentuan syari’at lainnya, seperti bertahkim kepada
hukum Allah swt.?
Di sinilah kita harus evaluasi kembali, bahwa penanaman tauhid dalam
haji dan umroh harus diutamakan ketimbang persoalan fiqh yang bersifat
furu’.
Seharusnya setiap orang yang kembali dari haji dan umroh akan semakin
kuat tauhid dan komitmen keislamannya dalam sikap dan perjuangannya.
Namun jika ada yang kembali umroh semakin kabur identitas keislamannya,
pertanda ibadahnya hanya sia-sia.
Nas’alullah al-’Afwa wal ‘afiyah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar