Senin, 14 Juli 2014

HADIST

Definisi Hadits, Sunnah, Khabar, dan Atsar    
      1.   Definisi Hadits
Kata hadis berasal dari bahasa arab, a) al Hadits, hudatsa jamaknya ahadis, hidtsan dan hudtsan. Sedangkan menurut terminologi, hadis diberi pengertian yang berbeda–beda oleh para ulama’. Perbedaan pandangan tersebut banyak dipengaruhi oleh terbatas dan luasnya obyek tinjauan masing–masing, yang tentu saja mengandung kecenderungan pada aliran ilmu yang didalaminya.
Menurut istilah ahli ushul; pengertian hadis adalah :
كل ما صدرعن النبى ص م غيرالقران الكريم من قول اوفعل اوتقريرممايصلح ان يكون دليلا لحكم شرعى
“Hadis yaitu segala sesuatu yang dikeluarkan dari Nabi SAW selain Al Qur’an al Karim, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum syara”
Sedangkan menurut istilah fuqaha. Hadis adalah :
كل ماثبت عن النبى ص م ولم يكن من باب الفرض ولاالواجب
“yaitu segala sesuatu yang ditetapkan Nabi SAW yang tidak bersangkut paut dengan masalah–masalah fardhu atau wajib”
Para ahli ushul memberi pengertian yang demikian disebabkan mereka bergelut dalam ilmu ushul yang banyak mempelajari tentang hukum syari’at saja. Dalam pengertian tersebut hanya yang berhubungan dengan syara’ saja yang merupakan hadis, selain itu bukan hadis, misalnya urusan berpakaian. Sedangkan para fuqaha mengartikan yang demikian di karenakan segala sesuatu hukum yang berlabel wajib pasti datangnya dari Allah swt melalui kitab Al Qur’an. Oleh sebab itu yang terdapat dalam hadis adalah sesuatu yang bukan wajib karena tidak terdapat dalam Al Qur’an atau mungkin hanya penjelasannya saja.Sedangkan menurut ulama’ Hadis mendefinisikannya sebagai berikut :
كل ما اثر عن النبى ص م من قول اوفعل اوتقريراوصفة خلقية او خلقية
“Segala sesuatu yang diberitakan dari Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat–sifat maupun hal ikhwal Nabi.
Menurut jumhur muhadisin sebagaimana ditulis oleh Fatchur Rahman adalah sebagai berikut:
مااضيف للنبى ص م قولااوفعلااوتقريرااونحوها
“segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW baik berupa perkataan, perbuatan, pernyataan dan yang sebagainya”
Perbedaan pengertian antara ulama’ ushul dan ulama’ hadis di atas disebabkan adanya perbedaan disiplin ilmu yang mempunyai pembahasan dan tujuan masing–masing. Ulama’ ushul membahas pribadi dan prilaku Nabi SAW sebagai peletak dasar hukum syara’ yang dijadikan landasan ijtihad oleh kaum mujtahid dizaman sesudah beliau. Sedangkan ulama Hadis membahas pribadi dan prilaku Nabi Saw sebagai tokoh panutan (pemimpin) yang telah diberi gelar oleh Allah swt sebagai Uswah wa Qudwah (teladan dan tuntunan). Oleh sebab itu ulama hadis mencatat semua yang terdapat dalam diri Nabi saw baik yang berhubungan dengan hukum syara’ maupun tidak. Oleh karena itu hadis yang dikemukakan oleh ahli ushul yang hanya mencakup aspek hukum syara’ saja, adalah hadis sebagai sumber tasyri’. Sedangkan definisi yang dikemukan oleh ulama’ hadis mencakup hal–hal yang lebih luas.
Jadi, Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmahnya
Taqrir adalah perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui Rosulullah dan beliau mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau beliau tidak menunjukkan pengingkarannya.
Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya hadits riwayat Ibnu Abbas :
“Dikala Rosulullah saw berpuasa pada hari ‘Asura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata : ‘Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’.” (HR Muslim dan Abu Dawud)
tetapi Rasulullah tidak sempat merealisasikannya, disebabkan beliau telah wafat.
Menurut Imam Syafi’i bahwa menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani mengatakan tidak termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh Rasulullah.
      2.   Definisi Sunnah
Di samping istilah hadis terdapat sinonim istilah yang sering digunakan oleh para ulama’ yaitu sunnah. Pengertian istilah tersebut hampir sama, walaupun terdapat beberapa perbedaan. Maka dari itu kami kemukakan pengertiannya agar lebih jelas.
Sunnah dalam kitab Ushul Al hadis adalah sebagai berikut :
مااثرعن النبى ص م من قول اوفعل اوتقرير اوصفة خلقية اوسيرة سواء كان قبل البعثة اوبعدها
“Segala sesuatu yang dinukilkan dari Nabi saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, pengajaran, sifat, kelakuan, perkjalanan hidup, baik sebelum Nabi diangkat jadi Rasul atau sesudahnya”
Dalam pengertian tersebut tentu ada kesamaan antara hadis dan sunnah, yang sama–sama bersandar pada Nabi saw, tetapi terdapat kekhususan bahwa sunnah sudah jelas segala yang bersandar pada pribadi Muhammad baik sebelum atau sesudah diangkat menjadi Nabi, misalnya mengembala kambing, menikah minimal umur 25 tahun dan sebagainya.
Walaupun demikian terdapat perbedaan yang sebaiknya kita tidak berlebihan dalam menyikapinya. Sebab keduanya sama–sama bersumber pada Nabi Muhammad saw.
Definisi Sunnah menurut para Ulama’:
Kalangan ahli agama di dalam memberikan pengertian sunnah berbeda-beda, sebab para Ulama’ memandang sunnah dari segi yang berbeda-beda, pun pula dasar membicarakannya dari segi yang berlainan.
a. Ulama Hadits
Ulama Hadits memberikan pengertian Sunnah meliputi biografi Nabi, sifat-sifat Nabi baik yang berupa fisik, umpamanya; mengenai tubuhnya, rambutnya dan sebagainya, maupun yang mengenai physic dan akhlak Nabi dalam keadaan sehari-harinya, baik sebelum atau sesudah bi’stah atau di angkat sebagai nabi.
b. Ulama Ushul Fiqh
Ulama Ushul Fiqh memberikan pengertian sebagai berikut;
“Segalayang di nuklikan dari Nabi Muhammad SAW. Baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrirnya yang ada sangkut pahutnya dengan Hukum”.
c. Ulama Fiqh
Menurut Ulama Fiqh, sunnah ialah “perbuatan yang di lakukan dalam agama, tetapi tingkatannya tidak sampai wajib atau fardlu. Jadi suatu pekerjaan yang utama di kerjakan”.
Atau dengan kata lain: sunnah ialah suatu amalan yang di beri pahala apabila di kerjakan, dan tidak dituntut apabila di tinggalkan.
      3.   Definisi Khabar
Menurut bahasa berarti an-Naba’ (berita-berita), sedang jama’nya adalah Akhbar
Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.
Menurut istilah ada tiga pendapat yaitu:
  1. Merupakan sinonim bagi hadits, yakni keduanya berarti satu.
  2. Berbeda dengan hadits, di mana hadits adalah segala sesuatu yang datang dan Nabi SAW. sedang khabar adalah suatu yang datang dari selain Nabi SAW.
  3. Lebih umum dari hadits, yakni bahwa hadits itu hanya yang datang dari Nabi saja, sedang khabar itu segala yang datang baik dari Nabi SAW. maupun yang lainnya.
     4.   Definisi Atsar
Atsar menurut lughat/etimologi ialah bekasan sesuatu, atau sisa sesuatu, atau berarti sisa reruntuhan rumah dan sebagainya. dan berarti nukilan (yang dinukilkan). Sesuatu do’a umpamanya yang dinukilkan dari Nabi dinamai: do’a ma’tsur.
Atsar menurut Istilah/terminologi
Sedangkan secara terminologi ada dua pendapat mengenai definisi atsar ini. Pertama, kata atsar sinonim dengan hadits. Kedua, atsar adalah perkataan, tindakan, dan ketetapan Shahabat.
Menurut istilah Jumhur ahli hadits mengatakan bahwa Atsar sama dengan khabar juga hadits, yaitu sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW., sahabat, dan tabi’in. Dari pengertian menurut istilah ini, terjadi perbedaan pendapat di antara ulama.
Sedangkan menurut ulama Khurasan, bahwa Atsar untuk yang mauquf (yang disandarkan kepada sahabat) dan khabar untuk yang marfu. (yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam .
Jadi, atsar merupakan istilah bagi segala yang disandarkan kepada para sahabat atau tabi’in, tapi terkadang juga digunakan untuk hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, apabila berkait misal dikatakan atsar dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam.
Contoh Atsar
Perkataan Hasan Al-Bashri rahimahullaahu tentang hukum shalat di belakang ahlul bid’ah:
وَقَالَ الْحَسَنُ: صَلِّ وَعَلَيْهِ بِدَعَتُهُ
“Shalatlah (di belakangnya), dan tanggungan dia bid’ah yang dia kerjakan.”
B.     Struktur Hadits
1.   Komponen-komponen Hadits
Secara struktur, hadits terdiri atas tiga komponen, yakni sanad atau isnad (rantai penutur), matan (redaksi hadits), dan mukhraj (rawi). Berikut ini contoh hadits yang memuat
2.   Sanad Hadits
Sanad adalah jalan yang menyampaikan kita pada matan hadits atau rentetan para rawi yang menyampaikan matan hadits. Dalam hubungan ini dikenal istilah musnid, musnad dan isnad. Musnid adalah orang yang menerangkan hadits dengan menyebutkan sanadnya. Musnad adalah hadits yang seluruh sanadnya disebutkan sampai kepada Nabi SAW (pengertian ini berbeda dengan kitab musnad). Sedangkan isnad adalah keterangan atau penjelasan mengenai sanad hadits atau keterangan mengenai jalan sandaran suatu hadits.
Selain itu juga terdapat istilah sigat al isnad, yaitu lafal yang terdapat dalam sanad yang digunakan oleh rawi yang menunjukkan tingkat penerimaan dan penyampaian hadits dari rawi tersebut. Ada delapan sigat al isnad sesuai dengan tingkatannya:
  1. al sima’ min lafz al sheikh (mendengar dari lafal syekh), contoh: sami’tu (aku mendengar)
  2. qira’at ‘ala al sheikh (membaca tulisan syekh), contoh: qara’tu ‘ala (aku membaca)
  3. al ijazat, contoh: ajaztu laka Sahih al Bukhari (aku ijinkan untukmu kitab Sahih al Bukhari)
  4. al munawalah, contohnya “hadis ini saya terima dari si fulan, maka riwayatkanlah atas namaku”
  5. al mukatabah (tulisan), contoh: “si fulan telah menceritakan padaku secara tertulis”
  6. al I’lam (pemberiahuan), contoh: “saya telah meriwayatkan hadis ini dari si fulan, maka riwayatkanlah daripadaku”
  7. al wasiyat, yakni guru mewasiatkan suatu hadis menjelang ia pergi jauh atau merasa ajalnya sudah dekat, dan
  8. al wijadah, yakni rawi memperoleh hadis yang ditulis oleh seorang guru, tetapi tidak dengan jalan sima’i atau ijazah, baik semasa atau tidak, baik berjumpa atau tidak.
3.   Matan
Menurut bahasa, matan artinya sesuatu yang tampak, bagian bumi yang keras dan tinggi. Dalam istilah ilmu hadis, matan adalah materi atau redaksi hadis yang diriwayatkan dari satu orang ke orang lain.
Ditinjau dari cara dalam menyampaikan hadits, terdapat beberapa matan hadits, yaitu:
  1. yang lafal atau setiap katanya persis atau sama dengan lafal pada matan hadits yang lain
  2. yang antara satu matan hadits dan lainnya hanya terdapat persamaan makna, isi atau tema, sedangkan lafalnya berbeda
  3. yang antara satu matan hadits dan lainnya saling bertentangan (berbeda), baik lafal maupun maknanya. Keadaan inilah, antara lain, yang menjadi obyek penelitian para ahli guna memperoleh hadits yang benar-benar bisa dipertanggungjawabkan untuk dinisbahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Dalam hadits sahih, dari segi matan disyaratkan dua hal, yakni:
  1. Tidak ada shadz (bertentangan), artinya isi hadits tersebut tidak bertentangan dengan hadits lain dari orang yang terpercaya.
  2. Tidak ada cacat (‘illat), artinya hadits tersebut tidak ada cacatnya, dalam arti adanya sebab tersembunyi yang dapat mengurangi kesahihan hadits.
 4.   Rawi Hadits
Rawi adalah orang yang menyampaikan atau menuliskan dalam suatu kitab apa-apa yang pernah didengar atau diterimanya dari seseorang (gurunya). Seringkali sebuah hadis diriwayatkan oleh bukan hanya satu rawi, akan tetapi oleh banyak rawi.
Kritik terhadap periwayatan hadis biasanya mempersoalkan baik dari segi kualitas pribadi atau kelurusan moral (‘adalah) maupun kapasitas intelektualnya (dhabit}). Periwayatan dikategorikan memenuhi segi kualitas pribadi bila telah memenuhi syarat berikut:
a. Beragama Islam
b. Mukallaf
c. Melaksanakan ketentuan agama Islam
d. Memelihara muru’ah, yang sejalan dengan patokan norma tentang orang jujur yang dapat diterima pemberitaannya.
Sedang pemenuhan segi kapasitas intelektual adalah:
a. Hafal dengan sempurna hadis yang diterimanya
b. Mampu menyampaikan dengan baik hadis yang dihafalnya itu kepada orang lain
c. mampu memahami dengan baik hadis yang dihafalnya
C.     Kedudukan sanad dan Matan Hadits
Latarbelakang sejarah periwayatan hadits sejak mula didominasi oleh tradisi penuturan (shafahiyah) setidaknya hingga generasi tabi’in dan amat sedikit data hadits yang tertulis. Tradisi riwayat semacam itu memposisikan silsilah keguruan dalam proses pembelajaran menjadi penentu data kesejarahan hadits, karena kecil kemungkinan menyandarkan kepada dokumentasi hadits.
Upaya antisipasi terhadap gejala pemalsuan hadits ternyata efektif bila ditempuh dengan mengidentifikasi kepribadian orang-orang yang secara berantai meriwayatkan hadits yang diduga palsu.
Proses penghimpunan hadits secara formal memakan waktu yang lama (sejak abad ke 2 hijriyah hingga 3 abad kemudian) melibatkan banyak orang dengan pola koleksi, cara seleksi dan sistimatika yang beragam. Namun tanpa ada kesepakatan sebelumnya, telah terjadi kekompakan dikalangan ulama kolektor hadits dalam mempotensikan sanad sebagai mahkota bagi keberadaan matan, terbukti hampir seluruh kitab koleksi hadits menempatkan rangkaian sanad sebagai pengantar riwayat, minimal nama perawi terutama pada pola penyajian hadits mua’allaq.
Akibat pemanfaatan dispensasi penyaduran (riwayah bi al ma’na) yang tidak merata dan diketahui sebagian perawi lebih berdislipin meriwayatkan secara harfiyyah (riwayah bi al lafzi) maka uji kualitas komposisi teks matan lebih ditentukan oleh tingkat kredibilitas perawi dengan sifat kecenderungannya dalam beriwayat.
Hasil uji hipotesis tentang gejala shadz pada matan hadits ternyata berbanding lurus dengan keberadaan rawi hadits (sanad) yang shadz. Shu’bah bin al Hajjaj ( w. 160 h) sebagaimana dikutip oleh khatib al Baghdadi (w. 463 h) dalam al kifayah menegaskan :
لا يجيئك الحديث الشاذ الا من الرجل الشاذ
Tidak datang kepadamu hadis yang shadz kecuali riwayat hadits itu melalui orang yang shadz pula.
Memang dalam aplikasi kaidah untuk menduga gejala shadz pada matan hadits, harus dilakukan uji kedhabitan (tsiqah)perawi yang merupakan bagian dari kegiatan kritik sanad. Hasil temuan akan memunculkan staus berbeda, bila perawi yang kedapatan menyimpang dalam matan hadits itu sesama orang thiqah, maka haditsnya distatuskan shadz. Tetapi bila perawi tersebut tidak tsiqah maka matan hadits yang menyimpang itu dikategorikan mungkar. Prosedur penduggaan gejala penyimpangan (kelainan) adalah dengan memperbandingkan antar teks matan dari perawi yang berbeda.
Diperoleh petunjuk bahwa dalam rangka pengujian kkualitas matan hadits acapkali peneliiti dihadapkan pada kondisi kekurangan data, namun sebatas mengkritisi sanad hadits bersangkutan cukup memadai data yang mendukung. Nisbah label hadits;
هذا اصح شيئ فى الباب. هذا حديث حسن الإسناد.
هذا حديث صحيح الإسناد. هذا حديث حسن صحيح
Idiom-idiom tersebut mensifati kondisi kualitas sanad dan belum menyinggung hal ihwal matannya.
Kecenderungan menempatkan keunggulan matan hadits dengan mensejajarkan derajat keunggulan sanadnya. Sebagai contoh derajat kesahihan hadits tertinggi dilihat proses tahrij ditempati oleh hadits muttafaq ‘alaih.
DAFTAR PUSTAKA
http://referensiagama.blogspot.com. Tanggal 01 November 2011
Prof, Drs. H. Masj fuk Zuhdi, Pengantar Ilmu Hadits, pt. Bina Ilmu, Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar