Terbitnya
matahari dari arah barat termasuk salah satu tanda hari kiamat besar
yang telah tetap berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Beberapa Dalil yang Menjadi Dasar Terjadinya Peristiwa Tersebut
1. Dalil dari Al-Qur’an.
Allah ta’ala berfirman :
يَوْمَ
يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ
تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا
“Pada
hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi
iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau
dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya” [QS. Al-An’am : 158].
Beberapa hadits shahih menunjukkan bahwasannya yang dimaksudkan dengan ‘sebagian tanda-tanda (ayat)’ yang disebutkan dalam ayat di atas adalah terbitnya matahari dari arah barat. Hal itu merupakan perkataan kebanyakan mufassiriin (ahli tafsir).[1]
Telah berkata Ath-Thabariy – setelah menyebutkan perkataan mufassiriin tentang ayat ini - :
وأولى الأقوال بالصواب في ذلك ما تظاهرت به الأخبار عن رسول الله صلى الله عليه وسلم أنه قال : ذلك حين تطلع الشمس من مغربها
“Perkataan yang lebih mendekati kebenaran tentang perkara itu adalah apa yang datang dengannya khabar dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bahwasannya beliau bersabda : ‘Hal itu terjadi ketika matahari terbit dari arah barat”.[2]
Asy-Syaukaniy berkata :
فإذا ثبت رفع هذا التفسير النبوي من وجه صحيح لا قادح فيه، فهو واجب التقديم، محتَّم الأخذ به
“Apabila telah tetap akan marfu’-nya tafsir nabawiy ini dari jalan yang shahih tanpa ada cacat di dalamnya, maka wajib untuk mendahulukan dan mengambil/menerimanya”.[3]
2. Dalil dari As-Sunnah Ash-Shahiihah
Hadits-hadits yang menunjukkan terbitnya matahari dari arah barat sangat banyak, diantaranya :
a. Al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا
تقوم الساعة حتى تطلع الشمس من مغربها، فإذا طلعت، فرآها الناس؛ آمنوا
أجمعون، فذاك حين لا ينفع نفسًا إيمانُها لم تكن آمنت من قبل أو كسبت في
إيمانها خيرًا
“Tidaklah
tegak hari kiamat hingga matahari terbit dari arah barat. Apabila ia
telah terbit (dari arah barat) dan manusia melihatnya, maka berimanlah
mereka semua. Pada hari itu tidaklah bermanfaat keimanan seseorang yang
tidak beriman sebelum hari itu atau belum mengusahakan kebaikan di masa
imannya”.[4]
b. Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
لا
تقوم الساعة حتى تقتتل فئتان...(فذكر الحديث، وفيه : ) حتى تطلع الشمس من
مغربها، فإذا طلعت، فرآها الناس؛ آمنوا أجمعون، فذاك حين لا ينفع نفسًا
إيمانُها لم تكن آمنت من قبل أو كسبت في إيمانها خيرًا
“Tidaklah tegak hari kiamat hingga berperang dua kelompok besar kaum manusia….. (yang kemudian di dalamnya disebutkan : ) hingga
terbitnya matahari dari arah barat. Apabila ia telah terbit (dari arah
barat) dan manusia melihatnya, maka berimanlah mereka semua. Pada hari
itu tidaklah bermanfaat keimanan seseorang yang tidak beriman sebelum
hari itu atau belum mengusahakan kebaikan di masa imannya”. [5]
c. Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallalaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
بادِروا بالأعمال ستًّا : طلوع الشمس من مغربها
“Bersegeralah melakukan amal-amal ketaatan sebelum datangnya enam perkara : terbitnya matahari dari arah barat”.[6]
d. Muslim meriwayatkan dari Hudzafah bin Usaid radliyallaahu ‘anhu, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda :
إنها
لن تقوم حتى ترون قبلها عشر آيات". فذكر الدخان، والدجال، والدابة، وطلوع
الشمس من مغربها، ونزول عيسى ابن مريم صلى الله عليه وسلم....
“Tidaklah
tegak hari kiamat hingga kalian melihat sepuluh tanda-tanda sebelumnya,
yaitu : Ad-Dajjaal, kabut (ad-dukhaan), ad-daabbah, terbitnya matahari
dari arah barat, turunnya ‘Isa bin Maryam shallallaahu ‘alaihi wa
sallam….”.[7]
e. Al-Imam Ahmad dan Muslim meriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata :
حفظتُ
من رسول الله صلى الله عليه وسلم حديثًا لم أنسه بعد، سمعتُ رسول الله صلى
الله عليه وسلم يقول : إن أول الآيات خروجًا طلوعُ الشمس من مغربها
“Aku menghapal dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebuah hadits yang aku tidak lupa setelahnya. Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Sesungguhnya tanda-tanda (besar hari kiamat) pertama yang akan muncul adalah terbitnya matahari dari arah barat”.[8]
f. Dari Abu Dzarr radliyallaahu ‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda pada suatu hari :
أتدرون
أين تذهب هذه الشمس ؟. قالوا : الله ورسوله أعلم. قال : إن هذه تجري حتى
تنتهي إلى مستقرِّها تحت العرش، فتخرُّ ساجدةً، فلا تزال كذلك، حتى يقال
لها : ارتفعي، ارجعي من حيث جئت، فترجع فتصبح طالعة من مطلعها، ثم تجري حتى
تنتهي إلى مستقرها تحت العرش، فتخرُّ ساجدة، ولا تزال كذلك حتى يقال لها :
ارتفعي ارجعي من حيث جئت، فترجع فتصبح طالعة من مطلعها، ثم تجري لا يستنكر
الناس منها شيئًا، حتى تنتهي إلى مستقرها ذاك تحت العرش، فيقال لها :
ارتفعي، أصبحي طالعة من مغربك، فتصبح طالعة من مغربها. فقال رسول الله صلى
الله عليه وسلم : أتدرون متى ذاكم ؟. ذاك حين لا ينفع نفسًَا إيمانُها لم
تكن آمنت من قبل أو كسبت في إيمانها خيرًا.
“Apakah kalian mengetahui kemana perginya matahari ?”. Mereka (para shahabat) menjawab : “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau melanjutkan : “Sesungguhnya
matahari terus berjalan hingga berhenti di tempat menetapnya di bawah
‘Arsy, lalu tunduk bersujud (kepada Allah). Maka terus-menerus ia
melakukan hal itu hingga dikatakan kepadanya : ‘Bangkitlah, dan
kembalilah dari tempat kamu datang (yaitu arah timur)’. Maka ia pun
kembali, dan muncul dari tempat terbitnya. Kemudian ia berjalan hingga
berhenti di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy, lalu tunduk bersujud
(kepada Allah). Maka terus-menerus ia melakukan hal itu hingga dikatakan
kepadanya : ‘Bangkitlah, dan kembalilah dari tempat kamu datang (yaitu
arah timur)’. Maka ia pun kembali, dan muncul dari tempat terbitnya.
Kemudian ia berjalan dimana manusia tidak mengingkarinya sedikitpun.
Hingga ia berhenti di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy. Dikatakan
kepadanya : ‘Bangunlah, dan terbitlah dari arah tenggelammu (arah
barat)’. Maka ia pun muncul dari tempat tenggelamnya”. Kemudian Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bertanya : “Apakah
kalian mengetahui kapan hal itu terjadi ? Hal itu terjadi ketika
keimanan seseorang yang tidak beriman sebelum hari itu atau belum
mengusahakan kebaikan di masa imannya”.[9]
Bantahan kepada Rasyiid Ridlaa atas Penolakannya terhadap Hadits Abu Dzarr tentang Sujudnya Matahari
Rasyiid
Ridlaa membawakan hadits Abu Dzarr di atas, dan mengomentarinya bahwa
matan hadits tersebut mengandung kemusykilan. Ia berkata ketika
mengomentari sanadnya :
هذا
الحديث رواه الشيخان من طرق عن إبراهيم بن يزيد بن شريك التيمي عن أبي ذر،
وهو - على توثيق الجماعة له مدلِّس - ؛ قال الإمام أحمد : (لم يلق أبا
ذر). كما قال الدارقطني : (لم يسمع من حفصة، ولا من عائشة، ولا أدرك
زمانهما). وكما قال ابن المديني : (لم يسمع من علي، ولا ابن عباس). ذكر ذلك
في تهذيب التهذيب.
وقد رُوِيَ غير هذا عن هؤلاء بالعنعنة، فيحتمل أن يكون مَن حدَّثه عنهم غير ثقة.
فإذا كان في بعض روايات الصحيحين والسنن مثل هذه العلل، وراء احتمال دخول الإسرائيليات، وخطأ النقل بالمعنى، فما القول فيما تركه الشيخان وما تركه أصحاب السنن ؟!.
وقد رُوِيَ غير هذا عن هؤلاء بالعنعنة، فيحتمل أن يكون مَن حدَّثه عنهم غير ثقة.
فإذا كان في بعض روايات الصحيحين والسنن مثل هذه العلل، وراء احتمال دخول الإسرائيليات، وخطأ النقل بالمعنى، فما القول فيما تركه الشيخان وما تركه أصحاب السنن ؟!.
“Hadits
ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim melalui banyak jalan dari
Ibrahim bin Yaziid bin Syariik At-Taimiy, dari Abu Dzarr. Dan ia
(Ibrahim) adalah seorang yang ditetapkan oleh para ulama sebagai seorang
mudallis. Al-Imam Ahmad
berkata : “Ia tidak pernah bertemu dengan Abu Dzarr”. Sebagaimana
dikatakan juga oleh Ad-Daaruquthni : “Ibrahim tidak mendengar hadits
dari Hafshah dan ‘Aisyah. Ia tidak menemui jaman mereka berdua”. Ibnu
Madini berkata : “Ibrahim tidak mendengar hadits dari ‘Aliy, dan tidak
pula dari Ibnu ‘Abbas”. Ini semua tertera dalam Tahdziibut-Tahdziib.
Dan telah diriwayatkan selain hadits ini dari mereka dengan ‘an’anah. Oleh karena itu dimungkinkan orang yang menceritakan hadits kepadanya dari mereka adalah orang yang tidak tsiqah. Apabila dalam sebagian riwayat Ash-Shahihain dan Sunan keadaannya seperti ‘ilal (cacat) ini, maka dimungkinkan masuknya kisah Israailiyyaat
dan salahnya penukilan yang dibawakan dengan makna. Lantas, bagaimana
keadaannya dengan hadits-hadits yang tidak diriwayatkan oleh Asy-Syaikhain dan Ashhaabus-Sunan ?”.[10]
Inilah yang dikatakan oleh Asy-Syaikh Muhammad Rasyiid Ridla !!
Apa
yang dikatakannya itu adalah perkataan yang sangat membahayakan, dan
merupakan satu bentuk celaan terhadap hadits-hadits shahih dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam serta meragukan keshahihannya. Khususnya yang termuat dalam Shahihain dimana umat telah sepakat menerimanya.
Alangkah baiknya apabila beliau bersikap teliti terhadap sanad hadits ini dan menyelamatkan matannya dan isykaal yang
beliau dakwakan. Juga, mengikuti apa yang telah dikatakan para ulama
sebelum beliau yang mengimani apa-apa yang telah tetap (tsabit) dari Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam, dengan tidak memperberat diri dengan apa-apa yang mereka tidak punya pengetahuan tentangnya. Bahkan, menerima sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan makna shahih yang dapat dipahami dengan segera dari hadits tersebut.
Telah berkata Abu Sulaiman Al-Khaththaabiy ketika mengomentari sabda beliau : “di tempat menetapnya di bawah ‘Arsy” :
لا
ننكر أن يكون لها استقرار تحت عرش، من حيث لا ندركه، ولا نشاهده، وإنما
أخبرنا عن غيب، فلا نكذب به، ولا نكيِّفه، لأن علمنا لا يحيط به.
“Kami
tidak mengingkari bahwasannya matahari mempunyai tempat menetap di
bawah ‘Arsy, yang tidak kita temui dan saksikan. Beliau hanya
mengkhabarkan kepada kita perkara ghaib. Kita tidak mendustakannya dan
tidak pula menanyakan bagaimana, karena ilmu kita tidak dapat
menggapainya”.
Kemudian Al-Khaththabiy berkata juga mengenai sujudnya matahari di bawah ‘Arsy :
وفي
هذا إخبار عن سجود الشمس تحت العرش، فلا ينكر أن يكون ذلك عند محاذاتها
العرش في مسيرها، والتصرف لما سخرت له، وأما قوله عز وجل : (حَتَّى إِذَا
بَلَغَ مَغْرِبَ الشَّمْسِ وَجَدَ تَغْرُبُ فِيْ عَيْنٍِ حَمِئَةٍِ) [الكهف
: ٨٦]؛ فهو نهاية مدرك البصر إياها حالة الغروب، ومصيرها تحت العرش للسجود
إنما هو بعد الغروب.
“Dalam riwayat ini, beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan
sujudnya matahari di bawah ‘Arsy; maka hal ini tidak mustahil ketika
dalam perjalanannya itu berada di tempat yang lurus dengan ‘Arsy, dan
melaksanakan apa yang diciptakan untuknya. Adapun firman Allah ‘azza wa jalla : “Hinga apabila dia telah sampai ke tempat terbenam matahari, dia melihat matahari terbenam di dalam laut yang berlumpur hitam”
(QS. Al-Kahfi : 86). Maka ini hanyalah batas terakhir kemampuan
pandangan mata terhadapnya pada waktu tenggelam. Sedangkan keberadaannya
di bawah ‘Arsy untuk bersujud setelah ia terbenam”.[11]
An-Nawawiy berkata :
وأما سجود الشمس؛ فهو بتمييز وإدراك يخلقه الله تعالى فيها
“Adapun sujudnya matahari adalah menurut pengetahuan yang diciptakan Allah untuknya”.[12]
Ibnu Katsir berkata :
يسجد لعظمته كل شيءٍ طوعًا وكرهًا، وسجود كل شيءٍ مما يختصُّ به
“Segala
sesuatu sujud untuk mengagungkan Allah dalam keadaan taat dan
benci/terpaksa. Dan sujudnya segala sesuatu termasuk satu kekhususan”.[13]
Ibnu Hajar berkata :
وظاهر
الحديث أن المراد بالاستقرار وقوعه في كل يوم وليلة عند سجودها، ومقابل
الاستقرار المسير الدائم. المعبر عنه بالجري، والله أعلم.
“Menurut dhahir hadits ini bahwasannya yang maksud menetap adalah terhentinya setiap hari dan setiap malam ketika bersujud. Dan kebalikan dari menetap adalah berjalan terus-menerus. Wallaahu a’lam”.[14]
Pembicaraan
kita di sini bukanlah mengenai menetapnya matahari dan tidak pula
tentang sujudnya. Namun, saya (Yusuf Al-Wabiil) hendak menjelaskan Abu
Dzarr radliyallaahu ‘anhu bahwasannya tidak ada isykal dalam matannya sebagaimana diduga oleh Rasyid Ridla rahimahullah. Para ulama telah menerima hadits ini dan sekaligus menerangkan maknanya.
Adapun anggapan adanya cacat dalam sanad hadits ini, maka beliau (Rasyid Ridla) telah keliru, karena hadits ini adalah muttashil (bersambung) sanadnya dengan riwayat dari perawi tsiqah. Perkataan beliau tentang tadlis Ibrahim
bin Yaziid At-Taimiy yang dikatakan tidak bertemu dengan Abu Dzarr,
Hafshah, dan ‘Aisyah, serta bahwasannya ia tidak mendapati jaman Hafshah
dan ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhuma ; maka dijawab sebagai berikut:
1. Bahwasannya sanad hadits itu bukan berasal dari riwayat Ibrahim bin Yaziid At-Taimiy dari Abu Dzarr, namun – sebagaimana dalam Shahih Al-Bukhari dan Shahih Muslim – dari riwayat Ibrahim bin Yaziid At-Taimiy, dari bapaknya, dari Abu Dzarr.
Bapaknya
Ibrahim adalah Yaziid bin Syariik At-Taimiy. Ia meriwayatkan dari
‘Umar, ‘Aliy, Abu Dzarr, Ibnu Mas’ud, dan selainnya dari kalangan
shahabat radliyallaahu ‘anhum. Dan yang meriwayatkan hadits dari adalah anaknya – Ibrahim - , Ibrahim An-Nakha’iy, dan yang selain keduanya. Ia di-tsiqah-kan
oleh Ibnu Ma’in, Ibnu Hibban, Ibnu Sa’d, dan Ibnu Hajar. Al-Jama’ah
meriwayatkan hadits darinya. Berkata Abu Musa Al-Madiniy : “Dikatakan
bahwa ia menemui masa Jahiliyyah”.[15]
2. Bahwasannya Ibrahim bin Yaziid telah menjelaskan sima’
(pendengaran)-nya dari bapaknya, Yazid, sebagaimana ada dalam riwayat
Muslim. Ia (Muslim) berkata : “Telah menceritakan kepada kami Yunus,
dari Ibrahim bin Yaziid At-Taimiy, ia mendengar – sebatas yang aku
ketahui – dari bapaknya, dari Abu Dzarr”.[16]
Orang yang tsiqah apabila ia menjelaskan penyimakannya, maka diterima riwayatnya sebagaimana ditetapkan dalam Mushthalahul-Hadiits.[17]
Tidak Diterimanya Iman dan Taubat Setelah Matahari Terbit dari Arah Barat
Apabila
matahari terbit dari arah barat, maka saat itu tidak diterima keimanan
seseorang yang belum beriman sebelumnya, sebagaimana juga tidak diterima
taubatnya orang-orang yang berbuat maksiat. Hal itu dikarenakan
terbitnya matahari dari arah barat merupakan satu tanda (hari kiamat)
yang sangat besar, yang dapat dilihat oleh seluruh manusia di waktu itu.
Maka tersingkaplah semua hakekat bagi mereka, dan mereka menyaksikan
berbagai hal mengerikan yang menjadikan leher mereka tunduk membenarkan
ayat-ayat Allah. Hukum mereka pada waktu itu adalah seperti hukum orang
yang tertimpa adzab Allah ta’ala, sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla :
فَلَمَّا
رَأَوْا بَأْسَنَا قَالُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَحْدَهُ وَكَفَرْنَا بِمَا
كُنَّا بِهِ مُشْرِكِينَ * فَلَمْ يَكُ يَنْفَعُهُمْ إِيمَانُهُمْ لَمَّا
رَأَوْا بَأْسَنَا سُنَّةَ اللَّهِ الَّتِي قَدْ خَلَتْ فِي عِبَادِهِ
وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْكَافِرُونَ
“Maka
tatkala mereka melihat azab Kami, mereka berkata: "Kami beriman hanya
kepada Allah saja dan kami kafir kepada sembahan-sembahan yang telah
kami persekutukan dengan Allah. Maka iman mereka tiada berguna bagi
mereka tatkala mereka telah melihat siksa Kami. Itulah sunah Allah yang
telah berlaku terhadap hamba-hamba-Nya. Dan di waktu itu binasalah
orang-orang kafir” [QS. Al-Mukmin : 84-85].
Telah berkata Al-Qurthubi :
قال
العلماء : وإنما لا ينفع نفسًا إيمانُها عند طلوع الشمس من مغربها لأنه
خلص إلى قلوبهم من الفزع ما تخمد معه كل شهوة من شهوات النفس، وتفتر كل قوة
من قوى البدن، فيصير الناس كلهم - لإيقانهم بذنو القيامة - في حال مَن
حضره الموت؛ في انقطاع الدواعي إلى أنواع المعاصي عنهم، وبطلانها من أبدانهم، فمن تاب في مثل هذه الحال؛ لم تقبل توبته؛ كما لا تقبل توبة مَن حضره الموت
“Para
ulama berkata : Keimanan seseorang tidaklah bermanfaat ketika matahari
telah terbit dari arah barat (bagi orang yang belum beriman sebelumnya),
karena pada satu itu perasaan takut menghunjam sangat dalam pada hati
sehingga mematikan segala syahwat jiwa, serta seluruh kekuataan tubuh
menjadi lemah. Seluruh manusia saat itu menjadi – karena yakin kiamat
telah dekat – seperti keadaan orang yang datang kematian (sakaratul-maut) padanya
dalam hal terputusnya segala ajakan untuk berbuat maksiat dan
sia-sianya apa yang ada pada tubuh/diri mereka. Barangsiapa yang
bertaubat dalam keadaan seperti ini (ketika matahari terbit dari arah
barat), maka tidak diterima taubatnya sebagaimana tidak diterimanya
taubat orang yang sakaratul-maut”.[18]
Ibnu Katsir berkata :
إذا
أنشأ الكافر إيمانًا يومئذ لا يقبل منه، فأما مَن كان مؤمنًا قبل ذلك؛ فإن
كان مصلحًا في عمله؛ فهو بخير عظيم، وإن كان مخلطًا فأحدث توبة؛ حينئذ لم
تقبل منه توبة
“Apabila
orang kafir baru mulai beriman pada hari itu, maka tidak diterima.
Adapun orang-orang yang telah beriman sebelumnya, apabila ia melakukan
amal shalih, maka ia berada dalam kebaikan yang sangat besar. Adapun
jika ia seorang yang senang bergelimang dengan kemaksiatan, dan baru
bertaubat setelah itu; maka taubatnya tidak diterima”.[19]
Dan inilah penjelasan yang datang dari Al-Qur’an Al-Kariim dan hadits-hadits yang shahih. Allah ta’ala berfirman :
يَوْمَ
يَأْتِي بَعْضُ آيَاتِ رَبِّكَ لا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ
تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ أَوْ كَسَبَتْ فِي إِيمَانِهَا خَيْرًا
“Pada
hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi
iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau
dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya” [QS. Al-An’am : 158].
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
لا
تنقطع الهجرة ما تقبلت التوبة، ولا تزال التوبة مقبولة حتى تطلع الشمس من
المغرب، فإذا طلعت؛ طُبِعَ على كل قلب بما فيه، وكفي الناس العمل
“Hijrah
tidak terputus selama taubat masih diterima. Dan taubat akan senantiasa
diterima hingga terbitnya matahari dari arah barat. Apabila telah
terbit (dari arah barat), ditutuplah setiap hati dengan apa yang ada di
dalamnya, dan cukuplah manusia amal (yang telah dilakukannya)”.[20]
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :
إن
الله عز وجل جعل المغرب بابًا عرضه مسيرة سبعين عامًا للتوبة، لا يغلق حتى
تطلع الشمس من قبله، وذلك قول الله تبارك وتعَلى : (يَوْمَ يَأْتِي بَعْضُ
آيَاتِ رَبِّكَ لا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ)
“Sesungguhnya
Allah ‘azza wa jalla menjadikan arah barat sebagai satu pintu yang
luasnya seperti perjalanan tujuh puluh tahun untuk bertaubat. Ia tidak
akan tertutup hingga matahari terbit dari arahnya. Dan itulah makna
firman Allah tabaaraka wa ta’ala : ‘Pada hari datangnya sebagian
tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya
sendiri yang belum beriman”.[21]
Sebagian ulama[22]
berpendapat bahwa yang tidak diterima taubatnya adalah orang-orang
kafir yang hidup pada saat matahari terbit dari arah barat. Adapun
ketika jaman telah berganti, dan lalailah/lupalah manusia akan hal itu,
maka iman orang yang kafir dan taubat orang yang berbuat maksiat
diterima.
Al-Qurthubi menjelaskan :
قال
صلى الله عليه وسلم : (إن الله يقبل توبة العبد ما لم يغرغر)؛ أي : تبلغ
روحه رأس حلقه، وذلك وقت المعاينة الذي يرى فيه مقعده من الجنة ومقعده من
النار، فالمشاهد لطلوع الشمس من مغربها مثله، وعلى هذا ينبغي أن تكون توبة
كل مَن شاهد ذلك أو كان كالشاهد له مردودةً ما عاش؛ لأن علمه بالله تعالى
ونبيه صلى الله عليه وسلم وبوعده قد صار ضرورة، فإن امتدت أيام الدنيا إلى
أن ينسى الناس من هذا الأمر العظيم ما كان، ولا يتحدثون عنه إلا قليلًا،
فيصير الخبرعنه خاصّا، وينقطع التواتر عنه، فمن أسلم في ذلك الوقت أو تاب،
قُبِلَ منه، والله أعلم.
“Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah akan menerima taubat seorang hamba selama nyawa ada di kerongkongannya”.[23]
Yaitu pada waktu yang sangat menentukan ketika seseorang melihat tempat
yang kelak akan dihuninya yang berupa surga atau neraka. Maka orang
yang menyaksikan terbitnya matahari dari barat adalah seperti orang yang
sedang menghadapi sakaratul-maut. Karena itu taubat orang yang
menyaksikan matahari terbit dari barat atau orang yang keadaannya
seperti itu adalah tertolak, kalau toh ia
masih hidup. Karena pengetahuan akan Allah, Nabi-Nya, janji, serta
ancaman-Nya pada waktu itu merupakan sesuatu yang tidak dapat ditawar
lagi. Tetapi apabila hari-hari kehidupan masih terus berlangsung hingga
manusia melupakan peristiwa besar itu dan sudah tidak membicarakan lagi
melainkan hanya sedikit saja, dan berita mengenai masalah ini sudah
menjadi berita khusus, tidak menjadi bahasan umum; maka pada waktu itu
orang yang masuk Islam atau bertaubat masih diterima”.[24]
Hal itu dikuatkan lagi dengan riwayat :
إن الشمس والقمر يكسيان بعد ذلك الضوء والنور، ثم يطلعان على الناس ويغربان
“Sesungguhnya matahari dan bulan akan bersinar lagi setelah itu, dan kemudian terbit dan terbenam pada manusia seperti biasanya”.
Dan diriwayatkan dari ‘Abdullah bin ‘Amr, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
يبقى الناس بعد طلوع الشمس من مغربها عشرين ومئة سنة
“Manusia tinggal di bumi setelah terbitnya matahari dari arah barat selama 120 tahun”.
Diriwayatkan dari ‘Imraan bin Hushain bahwa ia berkata :
إنما
لم تقبل وقت الطلوع حتى تكون صيحة؛ فيهلك فيها كثير من الناس، فمَن أسلم
أو تاب في ذلك الوقت ثم هلك، لم تقبل توبته، ومن تاب بعد ذلك، قبلت توبته
“Sesungguhnya
tidaklah diterima taubat pada saat terbitnya matahari hingga ada suara
yang keras. Lalu banyak orang yang mati. Barangsiapa yang masuk Islam
atau bertaubat pada waktu tersebut kemudian ia mati; maka tidak diterima
tobatnya darinya. Namun barangsiapa yang bertaubat setelah waktu itu,
diterima taubatnya”.[25]
Jawaban dari beberapa hal tersebut di atas adalah sebagai berikut :
Sesungguhnya
nash-nash menunjukkan bahwa taubat itu tidak diterima lagi setelah
terbitnya matahari dari arah barat. Orang-orang kafir yang baru berikrar
masuk Islam setelah itu juga tidak diterima ikrarnya. Nash-nash
tersebut juga tidak membedakan antara orang yang menyaksikan tanda-tanda
hari kiamat (terbitnya matahari dari barat) dan yang tidak
menyaksikannya.
Pendapat ini diperkuat dengan dengan riwayat Ath-Thabariy dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa, ia berkata :
إذا خرج أول الآيات؛ طُرِحت الأقلام، وحُبِست الحفظة، وشهدت الأجسام على الأعمال
“Apabila
telah keluar tanda-tanda hari kiamat yang pertama, maka pena-pena
(pencatat amal) dilemparkan, para (malaikat) penjaga ditahan, dan jasad
manusia dijadikan saksi atas segala amalnya”.[26]
Dan
yang dimaksud dengan tanda-tanda (hari kiamat) yang pertama di sini
adalah terbitnya matahari dari arah barat. Adapun tanda-tanda yang
muncul sebelum terbitnya matahari dari arah barat, maka hadits-hadits
menunjukkan masih diterimanya taubat dan ikrar keislaman pada waktu itu.
Ibnu Jarir Ath-Thabariy juga meriwayatkan dari ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
التوبة مبسوطةٌ ما لم تطلع الشمس من مغربها
“Taubat itu masih dibentangkan selama matahari belum terbit dari arah barat”.[27]
Al-Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إن الله يبسط يده بالليل ليتوب مسيء النهار، ويبسط يده بالنهار ليتوب مسيء الليل، حتى تطلع الشمس من مغربها
“Sesungguhnya
Allah membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk mengampuni
orang-orang yang bersalah di waktu siang, dan membentangkan tangan-Nya
di waktu siang untuk mengampuni orang-orang yang bersalah di waktu
malam; hingga terbitnya matahari dari arah barat”.[28]
Menurut hadits tersebut Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menetapkan batas akhir diterimanya taubat itu adalah ketika matahari terbit dari arah barat.
Ibnu Hajar menyebutkan banyak atsar
dan hadits yang menunjukkan terus ditutupnya pintu taubat (setelah
terbitnya matahari dari arah barat) hingga hari kiamat, yang kemudian
berkata :
فهذه
آثار يشد بعضها بعضًا متفقة على أن الشمس إذا طلعت من المغرب؛ أغلق باب
التوبة، ولم يفتح بعد ذلك، وأن ذلك لا يختص بيوم الطلوع، بل يمتدُّ إلى يوم
القيامة
“Atsar-atsar
ini saling menguatkan satu dengan yang lainnya yang secara kesepakatan
menyatakan bahwa matahari apabila telah terbit dari arah barat, maka
tertutup pintu taubat dan tidak akan terbuka setelah itu. Hal itu tidak
dikhususkan dengan hanya pada hari terbitnya saja, melainkan terus
berlanjut hingga hari kiamat”.[29]
Adapun pendalilan Al-Qurthubiy dapat dijawab sebagai berikut :
Tentang hadits ‘Abdullah bin ‘Amr, Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata : “Tidak tsabit riwayat ini secara marfu’”.
Sedangkan hadits ‘Imraan bin Hushain, tidak ada asalnya (laa ashla lahu).[30]
Hadits : “Sesungguhnya matahari dan bulan akan bersinar lagi…” ; maka Al-Qurthubiy tidak menyebutkan sanadnya. Kalaupun toh dianggap
shahih, maka kembalinya matahari dan bulan seperti semua tidak
menunjukkan bahwa pintu taubat dibuka kembali untuk kali yang lain.
Al-Haafidh
menyebutkan bahwa ia tetap berpegang pada nash yang jelas dalam
perbedaan pendapat ini, yaitu hadits ‘Abdullah bin ‘Amr yang menyebutkan
terbitnya matahari dari barat, yang di dalamnya terdapat ucapan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
فمن يومئذ إلى يوم القيامة (لا يَنْفَعُ نَفْسًا إِيمَانُهَا لَمْ تَكُنْ آمَنَتْ مِنْ قَبْلُ )....الآية.
“Maka
sejak hari itu hingga hari kiamat : ‘tidaklah bermanfaat lagi iman
seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu’”.[31]
[Ditulis oleh Abul-Jauzaa’ dari Asyraatus-Saa’ah karya Yusuf bin ‘Abdillah Al-Wabiil, MA, hal. 391-402]
[1] Lihat Tafsir Ath-Thabariy (8/96-102), Tafsir Ibni Katsir (3/366-371), Tafsir Al-Qurthubi (7/145), dan Ittihaaful-Jamaa’ah (2/315-316).
[2] Tafsir Ath-Thabariy (8/103).
[3] Tafsir Asy-Syaukaniy (2/182).
[4] Shahih Al-Bukhariy, Kitaabur-Riqaaq (11/352 – bersama Al-Fath) dan Shahih Muslim, Kitaabul-Iimaan, Baab Az-Zamani Alladzii laa Yuqbalu fiihil-Iiman (2/194 – bersama Syarh An-Nawawiy).
[5] Shahih Al-Bukhariy, Kitaabul-Fitan (13/81-82 – bersama Al-Fath).
[6] Shahih Muslim, Baab Fii Baqiyyatin min Ahaadiitsid-Dajjaal (18/87 – bersama Syarh An-Nawawiy).
[7] Shahih Muslim, Kitaabul-Fitan wa Asyraathis-Saa’ah (18/27-28 – bersama Syarh An-Nawawiy).
[8] Musnad Ahmad (11/110-111 no. 6881) tahqiq Ahmad Syaakir, dan Shahih Muslim, Kitaabul-Fitan, Baab Dzikrid-Dajjaal (18/77-78 – bersama Syarh An-Nawawiy).
[9] Shahih Muslim, Kitaabul-Fitan, Baab Bayaaniz-Zamani Alladzii Laa Yuqbalu fiihil-Iimaan (2/195-196 – bersama Syarh An-Nawawiy). Diriwayatkan juga oleh Al-Bukhari secara ringkas dalam Shahih-nya, Kitaabut-Tafsiir, Baab : Wasy-Syamsu tajrii li-mustaqarril-lahaa (8/541 – bersama Al-Fath), dan Kitaabut-Tauhiid, Baab Wa Kaana ‘Arsyuhu ‘alal-Maa’, Wahuwa Rabbul-‘Arsyil-‘Adhiim (13/404 – bersama Al-Fath).
[10] Tafsir Al-Manaar (8/211-212) karangan Muhammad Rasyiid Ridlaa, Cet. 2 dengan offset, Daarul-Ma’rifah, Beirut, Libanon.
[12] Syarhun-Nawawiy li-Shahih Muslim (2/197).
[13] Tafsir Ibni Katsir (5/398).
[14] Fathul-Baariy (8/542).
[15] Lihat Tahdziibut-Tahdziib (11/337).
[16] Shahih Muslim, Kitaabul-Fitan, Baab Bayaaniz-Zamani Alladzii Laa Yuqbalu fiihil-Iimaan (2/195 – bersama Syarh An-Nawawiy 2/195).
[17] Lihat Taisiru Musthalahil-Hadiits, hal. 83.
[18] At-Tadzkirah (hal. 706) dan Tafsir Al-Qurthubiy (7/146).
[19] Tafsir Ibni Katsir (3/371).
[20] Musnad Al-Imam Ahmad (3/133-134, no. 1671), tahqiq Ahmad Syaakir, dan ia berkata : “Isnadnya hasan”.
Ibnu Katsir berkata : Isnad ini jayyid lagi kuat” [An-Nihaayah/Al-Fitan wal-Malaahim (1/170)].
Al-Haitsami berkata : “Rijalnya Ahmad adalah tsiqah” [Majma’uz-Zawaaid, (5/251)].
[21] Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Baab Maa Jaa-a fii Fadllit-Taubah wal-Istighfaar (9/517-518 – bersama Tuhfatul-Ahwadziy).
At-Tirmidzi berkata : “Hadits ini hasan shahih”.
Ibnu Katsir berkata : “Dishahihkan oleh An-Nasa’iy” [Tafsir Ibni Katsir (3/369)].
[22] Lihat At-Tadzkirah oleh Al-Qurthubiy (hal. 706) dan Tafsir Al-Alusiy (8/63).
[23] Musnad Al-Imam Ahmad (9/17-18 no. 6160), tahqiq Ahmad Syaakir. Ia berkata : “Isnadnya hasan”.
Makna yugharhir adalah ketika ruh telah sampai di kerongkongan.
Lihat An-Nihaayah fii Ghariibil-Hadiits (3/360) dan Syarh Musnad Ahmad (9/18).
[24] Tafsir Al-Qurthubiy (7/146-147) dan At-Tadzkirah (hal. 706).
[25] At-Tadzkirah (hal. 705-706).
[26] Tafsir Ath-Thabariy (8/103).
Ibnu Hajar berkata : “Sanadnya shahih. Dan ia adalah riwayat mauquf, namun dihukumi marfu’ [Fathul-Baariy (11/355)].
[27] Tafsir Ath-Thabariy (8/101).
Ibnu Hajar berkata : “Sanadnya jayyid” [Fathul-Bariy (11/355)].
[28] Shahih Muslim, Kitaabut-Taubah, Bab Qabuulit-Taubah mindz-Dzunuub wa in Takarraradz-Dzunuub wat-Taubah (17/79 – bersama Syarh An-Nawawiy).
[29] Fathul-Bariy (11/354-355).
[30] Fathul-Bariy (11/354).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar