At
Tabari dari Ibnu Hatim meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas ra, bahwa
orang-orang Quraisy mendatangi kaum Yahudi dan berkata: "Bukti-bukti
kebenaran apakah yang dibawa Musa kepadamu?"
Pertanyaan itu dijawab: "Tongkatnya dan tangannya yang putih bersinar bagi yang memandangnya".
Sesudah itu mereka pergi mendatangi kaum Nasrani dan berkata: "Bagaimana halnya Isa?".
Sesudah itu mereka pergi mendatangi kaum Nasrani dan berkata: "Bagaimana halnya Isa?".
Pertanyaan
itu dijawab: "Isa itu menyembuhkan mata yang buta sejak lahir dan
penyakit sopak serta menghidupkan orang yang sudah mati".
Selanjutnya mereka mendatangi Rasulullah saw dan berkata: "Mintalah dari Tuhanmu supaya bukti Safa' itu jadi emas untuk kami".
Maka
berdoalah Nabi Muhammad saw kepada Allah dan turunlah ayat tersebut di
atas yangi intinya mengajak supaya mereka memikirkan langit dan bumi
tentang kejadiannya, hal-hal yang menakjubkan di alamnya, seperti
bintang-bintang, bulan dan matahari serta peredarannya laut,
gunung-gunung, pohon-pohon, buah-buahan, binatang-binatang,
tambang-tambang dan sebagainya di bumi ini.
Memikirkan pergantian siang dan malam. mengikuti terbit dan terbenamnya matahari, siang lebih lama dari malam dan sebaliknya. Semuanya itu menunjukkan atas kebesaran dan Kekuasaan Penciptanya bagi orang-orang yang berakal.
Memikirkan pergantian siang dan malam. mengikuti terbit dan terbenamnya matahari, siang lebih lama dari malam dan sebaliknya. Semuanya itu menunjukkan atas kebesaran dan Kekuasaan Penciptanya bagi orang-orang yang berakal.
Diriwayatkan dari 'Aisyah ra, bahwa Rasulullah saw berkata: "Wahai 'Aisyah saya pada malam ini beribadah kepada Allah SWT ".
Jawab
Aisyah ra: "Sesungguhnya saya senang jika Rasulullah berada di
sampingku. Saya senang melayani kemauan dan kehendaknya" Tetapi baiklah!
Saya tidak keberatan.
Maka
bangunlah Rasulullah saw dari tempat tidurnya lalu mengambil air wudu,
tidak jauh dari tempatnya itu lalu shalat sunah. Di waktu shalat
Beliau menangis sampai-sampai air matanya membasahi kainnya, karena
merenungkan ayat Al-Quran yang dibacanya. Setelah shalat Beliau duduk
memuji-muji Allah SWT dan kembali menangis tersedu-sedu. Kemudian
beliau mengangkat kedua belah tangannya berdoa dan menangis lagi dan
air matanya membasahi tanah.
Setelah
Bilal datang untuk azan subuh dan melihat Nabi saw menangis ia
bertanya: "Wahai Rasulullah! Mengapakah Rasulullah menangis, padahal
Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang terdahulu maupun
yang akan datang".
Nabi menjawab: "Apakah
saya ini bukan seorang hamba yang pantas dan layak bersyukur kepada
Allah SWT SWT? Dan bagaimana saya tidak menangis? Pada malam ini Allah
SWT telah menurunkan ayat kepadaku. Selanjutnya beliau berkata:
"Alangkah rugi dan celakanya orang-orang yang membaca ini dan tidak
memikir dan merenungkan kandungan artinya"
Suatu ketika, selepas shalat berjamaah di masjid, Rasulullah saw. berkumpul bersama para sahabatnya. Kemudian beliau meminta sahabat Ibnu Mas'ud membacakan ayat-ayat Al-Qur'an. Pada awalnya Ibnu Mas'ud menolak halus karena ia merasa Rasulullah jauh lebih memahami Al-Qur'an daripada dirinya. Namun sesungguhnya Rasulullah mengetahui kelebihan masing-masing dari para sahabatnya. Dan Ibnu Mas'ud ini, meskipun tubuhnya kecil dan sedikit cacat kakinya (pincang jalannya), namun ia memiliki suara yang merdu dan bacaannya bagus. Sehingga ketika Rasulullah memintanya kembali, Ibnu Mas'ud pun menurutinya. Ketika itu Ibnu Mas'ud membaca ayat-ayat Al-Qur'an surah Ali Imran. Dan ketika sampai pada ayat 190-191(seperti di atas), terdengar isak tangis Rasulullah, sehingga Ibnu Mas'ud menghentikan bacaannya. Para sahabat pun merasa heran melihat Rasulullah menangis, sehingga meraka bertanya seperti pertanyaan yang diajukan Bilal kepada Rasulullah ketika ayat tersebut baru saja turun pada kisah asbabun nuzul di atas. Rasulullah bersabda : "Celakalah bagi orang yang membaca ayat ini, namun tidak memahami maknanya".
Memperhatikan
hadits Rasulullah saw tersebut setiap kita baca Al-Qur’an henddaknya
memahami isi dan merenungkan maknanya (tafakur). Bagi mereka yang
memiliki pemikiran luas dan mendalam atau berinteligensi tinggi, maka
seluruh apa yang ada di langit dan di bumi yang tercipta itu merupakan
kenyataan ontologis, sebagai ayat kauniyyah Allah SWT untuk
dipelajari. Demikian pula tentang pergantian waktu malam dan siang
memberikan makna tertentu, paling tidak dapat menimbulkan pertanyaan
yang semakin mendalam, kemudian menyimpulkan secara sederhana bahwa ada
fenomena alam yang penuh keteraturan dan ke-ajeg-an, sebagai suatu hukum alam yang berlaku atau sunnatullah. Dan kunci tabir sunnatullah tersebut tersirat dalam Al-Qur'an bagi orang yang memperhatikan dan memahaminya.
Banyak di antara kita yang pandai membaca Al-Qur'an, bahkan mengerti artinya. Namun umumnya kita tidak pandai membaca ayat-ayat kauniyyah
yang ada di alam ini, sehingga kita tidak menguasai ilmu pengetahuan
dan teknologi. Atau sebaliknya, banyak di antara kita yang menguasai
ilmu pengetahuan dan teknologi tetapi jauh dari tuntunan Al-Qur'an.
Sehingga kemudian terjadi dikotomi antara petunjuk Al-Qur'an dan ilmu
pengetahuan, bahkan dalam beberapa hal saling bertentangan. Oleh
karenanya, Allah SWT akan mengangkat derajat seorang muslim yang mau
belajar dan berusaha dengan sungunh-sungguh (mujahadah) memahai dan
melaksanakan petunjuk-petunjuk (hidayah) Allah di dalam Al-Qur'an
dan ilmu pengetahuan sebagai pembuktian akan ke-Esa-an, ke-Agung-an
dan ke-Benaran Allah SWT, dimana dalam beberapa firmanNya orang
tersebut diberi predikat sebagai Ulul Albab (QS Ali Imran 190-191 dan Ar Ra'd 19-22)
Istilah Ulul Albab diambil dari bahasa Al-Quran sehingga untuk memahaminya diperlukan kajian terhadap nash-nash yang berbicara tentang Ulul Albab, karena itu agar diperoleh pemahaman yang utuh mengenai istilah tersebut, maka diperlukaan kajian mendalam terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan Ulul Albab, baik dari segi lughawi (bahasa) maupun dari kandungan makna yang dibangun dari pemahaman terhadap pesan, kesan, dan keserasian (munasabah) antara ayat yang satu dengan ayat-ayat sebelumnya.
Menurut
Prof . Dr. M. Qurash Shihab (1993) seorang ahli tafsir di Indonesia
menjelaskan bahwa kata Albab adalah bentuk jamak dari kata lubb yang berarti saripati sesuatu. Kacang misalnya, memiliki kulit yang menutupi isinya, maka isi kacang itulah yang disebut dengan lubb. Dengan demikian, Ulul Albab
adalah orang-orang yang memiliki akal yang murni, yang tidak
diselubungi oleh kulit atau kabut ide yang dapat melahirkan kerancuan
dalam berfikir sebagaimana terungkap dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat
190-191. Dalam kaitannya dengan Al-Quran surat Ali Imran ayat di atas,
ia menjelaskan bahwa orang yang berdzikir dan berfikir (secara murni)
atau merenungkan tentang fenomena alam raya, maka akan dapat sampai
pada bukti yang sangat nyata tentang keesaan dan kekuasaan Allah SWT.
Dalam ayat 191, diterangkan karakteristik Ulil Albab, yaitu selalu melakukan aktivitas dzikir dan fikir sebagai metode memahami alam, baik yang ghaib maupun yang nyata.
Dzikir, secara bahasa berasal dari kata dzakara , tadzakkara, yang artinya menyebut, menjaga, mengingat-ingat.
Secara istilah dzikir artinya tidak pernah melepaskan Allah SWT dari
ingatannya ketika beraktifitas. Baik ketika duduk, berdiri, maupun
berbaring. Ketiga hal itu mewakili aktifitas manusia dalam hidupnya.
Jadi,dzikir merupakan aktivitas yang harus selalu dilakukan dalam kehidupan. Ada dua dimensi dalam melaksanakan dzikir; (1) bi al-bathin dan (2) bi al-dhahir. Dzikir dengan batin atau dengan hati artinya kalbu manusia harus selalu thawaf kepada Allah SWT, disebabkan adanya cinta, takut, dan harap kepada-Nya yang berhimpun di hati (qalbu al-dzakir). Bukan hati berkata “Allah SWT… Allah SWT.. Allah SWT..” namun qalbu benar-benar hadir di hadapan Allah SWT SWT. Dari sini tumbuh keimanan yang kokoh, kuat dan mengakar di hati. Bahkan dari “qalbu al-dzakir” ini berimplikasi atau menjadikan efek pada gerak-gerik seluruh tubuh dan fikiran, yang kita bisa sebut dengan (2)“dzikir bi al-dhahir”. Bila manusia telah dimampukan hatinya senantiasa thawaf
kepada Allah SWT (qalbu al-dzakir) maka seluruh tindakan dan
fikirannya berdasarkan petunjuk (hidayah) dari Allah SWT. Bisa kita
artikan juga bahwa menggunakan seluruh anggota badan dalam kegiatan yang
sesuai dengan aturan Allah SWT atau yang diridhai Allah SWT. Secara
reflek pun lisan kita akan berucap hamdallah ketika mendapatkan nikmat,
ketika memulai suatu pekerjaan mengucapkan basmalah, ketika takjub
mengucapkan tasbih. Refleksi lisan yang demikian biasa kita sebut dengan
“dzikru al-lisan” yang masih bagian dari “dzkir bi al-dhahir”.
Fikir, secara bahasa adalah fakara, tafakkara yang artinya memikirkan, mengingatkan, teringat. Dalam pembahasan ayat ini berpikir berarti memikirkan proses kejadian alam semesta dan berbagai fenomena yang ada di dalamnya sehingga mendapatkan manfaat daripadanya dan teringat atau mengingatkan kita kepada sang Pencipta alam, Allah SWT. Dengan kalimat sederhana begitu melihat makhluk fikiran dan hati reflek ingat (dzikir) kepada Allah SWT.
Keberhasilan hidup bagi penyandang Ulul Albab bukan terletak pada jumlah kekayaan, kekuasaan, sahabat, dan sanjungan yang diperoleh, melainkan terletak pada ke-ridha-an Allah SWT. Selalu memilih jenis dan cara kerja yang shaleh artinya mereka bekerja dengan cara yang benar, lurus, ikhlas, dan profesional.
Dari uraian diatas, menurut penulis bentuk operasional suatu alat ukur sebagaimana terkandung dalam 16 ayat Al-Quran, ditemukan adanya 16 ciri khusus yang selanjutnya disarikan ke dalam 4 (empat) ciri utama, yang menjadi konsep Ulul Albab yaitu:
1) Kedalaman spiritual yaitu karunia (fadlal)
Allah SWT yang dianugerahkan kepada manusia berupa kesadaran terhadap
kehadiran Allah SWT kapan dan di mana saja berada, dan dalam kondisi
apa pun.
2) Keagungan
akhlak yaitu kemampuan berperilaku mulia sesuai dengan ajaran Islam
sehingga perilaku tersebut menjadi ciri dari kepribadiannya.
3) Keluasan
ilmu yaitu kualitas seseorang yang dicirikan dengan kepintaran dan
kecerdikan dalam menyelesaikan masalah. Selalu kreatif, inofatif dan
responsif dalam melihat persoalan, terutama persoalan yang mencakup
masyarakat atau umat.
4) Profesional
yaitu kemampuan seseorang untuk bekerja dan berperilaku sebagai
seorang profesional dibidangnya. Kemampuan ini dicirikan dengan adanya
kesediaan untuk menyampaikan ilmu, kesediaan berperan serta dalam
memecahkan masalah umat, dan kebiasaan untuk bertindak sesuai dengan
konsep ilmiah dan islami.
Dari ke 4 (empat) ciri dan konsep Ulul Albab tersebut,
penulis menggaris bawahi bahwa akibat atau efek dari ciri dan konsep
yang no 1 (pertama)-lah kemudian melahirkan ciri-ciri dan konsep-konsep Ulul Albab
berikutnya. Karena hati yang telah sadar akan hadirnya Allah SWT kapan
dan di mana saja berada dan dalam kondisi apa pun akan menuntun akal
pikiran sikap dan tingkah laku menjadi penuh nilai kemuliaan dan
kehormatan yang hakiki, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Ingatlah
dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging. Kalau segumpal daging itu
baik maka akan baiklah seluruh tubuhnya. Tetapi bila rusak niscaya
akan rusak pula seluruh tubuhnya. Segumpal daging itu bernama qolbu”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar