Sahabatku, banyak orang merasa tidak bersalah ketika orang lain tidak mengetahui perbuatan dosa yang ia lakukan. Mereka berusaha menutup-nutupi perbuatannya yang buruk dihadapan orang lain. Mereka akan sangat malu jika perbuatan tersebut diketahui oleh orang lain, seolah-olah langit menimpa mereka dan bumi menghimpit mereka. Seolah-olah dunia ini terasa sempit dan jalan-jalan menjadi buntu untuk dilalui. Mereka tidak merasa takut kepada Allah, yang mereka takutkan adalah manusia. Kalaupun dihati mereka ada rasa takut kepada Allah, tapi itu sangat rendah. Mereka menangis dihadapan manusia, memohon ampun dan meminta maaf, tapi mereka tidak menangis kepada Allah saat sepi. Padahal, Allah Maha Melihat dan Dia lebih agung daripada makhluk ciptaan-Nya. Jika Allah murka, maka murka Allah jauh lebih dahsyat dan mengerikan daripada murka manusia.
Dihadapan manusia, mereka menyesali perbuatan-perbuatan buruk yang telah mereka lakukan. Tetapi, mereka sedikit sekali menyesali perbuatan buruk mereka dihadapan Allah. Orang seperti mereka kelak, apabila ada peluang untuk berbuat maksiat lagi, maka akan segera mereka lakukan. Apabila ada orang yang melihatnya, mereka akan segera menghentikannya. Penyesalan mereka hanya manis dimulut, agar orang lain mau memaafkan kesalahannya, dan jika sudah dimaafkan mereka merasa bahwa sangat mudah untuk kembali berbuat jahat.
Hukuman mungkin menimbulkan efek jera, tapi yang paling utama adalah kesadaran hati akan akibat dari dosa yang kita lakukan. Sebelum orang lain mengetahui perbuatan buruk kita, kita menyadari bahwa perbuatan buruknya itu salah. Lantas kita menyesalinya, memohon ampunan Allah, dan mengisi hari-hari kita dengan amal saleh. Orang yang mengakui kesalahannya sebelum tertangkap basah, tentu jauh lebih baik ketimbang orang yang mengakui kesalahannya sesudah tertangkap basah. Karena orang sudah tahu dengan pasti bahwa orang yang tertangkap basah berbuat maksiat, pasti ia telah berbuat maksiat. Sedangkan orang yang mengakui kesalahannya sebelum tertangkap basah, belum tentu orang itu telah berbuat maksiat. Seperti halnya seorang wanita pezina di zaman Rasulullah Saw.. Wanita itu mengakui telah berzina dan minta dihukum rajam, padahal Rasulullah Saw. dan para sahabatnya tidak mengetahui kalau wanita itu berzina. Seandainya saja wanita itu tidak melapor kepada Rasulullah, tentu Rasulullah tidak akan merajamnya. Tapi karena keimanan yang wanita itu miliki, ia menyadari kesalahannya itu dihadapan Rasulullah dan para sahabatnya. Kemudian Rasulullah Saw. merajamnya hingga wafat. Rasulullah Saw. bersabda kepada para sahabatnya, seandainya keimanannya ditimbang dengan keimanan pendudukan Madinah, maka keimanannya jauh lebih berat.
Keimanan seseorang hanya bisa diperoleh dari ketaatan kepada Allah di kala ramai maupun sepi, dan dikala susah maupun senang. Jika ia hanya beriman di satu waktu saja, maka ia belumlah menjadi seorang mukmin. Allah Swt. berfirman, “Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar.” (QS. Ali Imran: 142).
Kita Tidak Luput Dari Dosa
Manusia diciptakan dengan kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan. Tidak ada manusia yang sempurna. Tidak ada manusia yang luput dari dosa. Tidak terkecuali para Nabi dan Rasul-Nya. Mereka semua pernah berbuat salah. Hanya saja Allah memaafkan kesalahan-kesalahan mereka, sehingga mereka sudah pasti ditempatkan di dalam surga-Nya. Rasulullah Saw. sendiri secara istiqomah beristighfar sebanyak seratus kali setiap harinya, padahal beliau adalah orang yang paling saleh sedunia. Hal ini berarti, Rasulullah Saw. mengajarkan kepada kita bahwa sesaleh apapun kita, pasti ada kekurangannya.
Jika kita mengerjakan shalat, mungkin saja ada bacaannya yang salah atau kita tidak khusyu mengerjakannya, atau hal-hal lain yang mengurangi pahala shalat. Mungkin kita lupa atau tidak menyadarinya. Oleh karena itu, setiap selesai mengerjakan shalat, disunahkan membaca istighfar. Mudah-mudahan Allah mau memaafkan kealpaan kita. Begitupun dengan fungsi shalat sunah rawatib, tujuannya adalah menyempurnakan shalat fardhu jika ada kekurangan di dalamnya.
Jika kita mengerjakan shalat, mungkin saja ada bacaannya yang salah atau kita tidak khusyu mengerjakannya, atau hal-hal lain yang mengurangi pahala shalat. Mungkin kita lupa atau tidak menyadarinya. Oleh karena itu, setiap selesai mengerjakan shalat, disunahkan membaca istighfar. Mudah-mudahan Allah mau memaafkan kealpaan kita. Begitupun dengan fungsi shalat sunah rawatib, tujuannya adalah menyempurnakan shalat fardhu jika ada kekurangan di dalamnya.
Ketika Rasulullah Saw. dan para sahabatnya berhasil menaklukan Makkah, Allah Swt. menurunkan surat an-Nashr, di mana di dalamnya diperintahkan agar kaum muslimin bertasbih dan beristighfar. Kita bisa bertanya, mengapa Allah memerintahkan bertasbih dan beristighfar, bukankah penaklukan ini menunjukkan kekuatan umat Islam? Ya, bisa jadi dibalik kenikmatan besar itu terselip penyakit-penyakit hati seperti sombong, atau bahkan kufur nikmat. Oleh karenanya, untuk melengkapi kemenangan itu, kaum muslimin diperintahkan untuk bertasbih dan beristighfar dan menyadari bahwa kemenangan itu datangnya semata-mata dari Allah Swt.. Bukannya setiap kali kita mendapat nikmat, lantas kita berpoya-poya atau corat-coret baju seperti pelajar yang baru lulus sekolah. Kemenangan harus kita rayakan dengan tasbih dan istighfar. Itulah kemenangan yang hakiki.
Sejarah Orang-Orang yang Berdosa
Sahabatku, akibat berbuat dosa tampak dari sejarah kehidupan manusia. Dosa yang manusia lakukan, tidak hanya berdampak pada dirinya sendiri, tapi juga pada lingkungannya, orang-orang yang terdekat dengannya, hingga kendaraannya. Janganlah heran jika kita dapati tubuh kita mudah sakit, orang-orang yang terdekat dengan kita benci kepada kita, dan kendaraan kita sering rusak. Itu semua diakibatkan oleh dosa yang telah kita perbuat.
Hancurnya bangsa Tsamud, Aad, Sadum, Firaun dan pasukannya, Qarun, dan kaum lainnya yang telah berbuat dosa, telah menunjukkan akibat dari perbuatan dosa mereka. Introspeksilah diri kita dan mohonlah ampun kepada Allah, sebelum Allah mengazab kita seperti mereka.
أَفَلَمْ يَسِيرُوا فِي اْلأَرْضِ فَيَنظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ دَمَّرَ اللهُ عَلَيْهِمْ وَلِلْكَافِرِينَ أَمْثَالُهَا
“Maka apakah mereka tidak mengadakan perjalanan di muka bumi sehingga mereka dapat memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka; Allah telah menimpakan kebinasaan atas mereka dan orang-orang kafir akan menerima (akibat-akibat) seperti itu.” (QS. Muhammad: 10)
Istighfar kepada Allah
Sahabatku, mari kita jadikan hari-hari kita sebagai hari-hari istighfar kepada Allah. Yaitu mengingat dosa-dosa yang telah kita perbuat, menyadari betapa banyaknya dosa-dosa tersebut dan betapa dekatnya azab Allah bagi para pendosa. Sebelum kita tidak mampu lagi beristighfar, sebelum ruh lepas dari jasad. Sudah seharusnya mata kita diistighfari, karena beberapa kali dan bahkan sering melihat hal-hal yang diharamkan-Nya. Begitupun juga dengan telinga, mulut, tangan, kaki, dan hati ini yang kerap dikotori oleh penyakit-penyakit hati. Seluruh jasad ini harus kita istighfari agar ia bersih dari dosa. Dosa seperti kotoran yang melekat pada tubuh, selagi tidak dibersihkan, ia akan semakin kotor. Sedangkan istighfar ibarat air yang membersihkan kotoran-kotoran tersebut. Sehingga ketika manusia keluar dari kamar mandi, ia tampak bersih, segar, dan sehat. Begitulah keutamaan istighfar. Orang yang telah merutinkan istighfar berarti telah membuka pintu kekuatan, kesuksesan, kebahagiaan, dan kesejahteraan.
Sebanyak apakah kita beristighfar? Minimal kita beristighfar seratus kali sebagaimana yang telah dilakukan Nabi Saw.. Jika kita mampu lebih dari itu, hal itu lebih baik bagi kita; lebih banyak pahalanya dan lebih besar keutamaannya. Karena, Nabi Saw. yang notabene orang yang paling saleh dan dosa-dosanya sudah diampuni oleh Allah saja beristighfar seratus kali, apalagi kita yang banyak dosa dan belum tentu dosa kita diampuni-Nya. Seharusnya istighfar kita lebih banyak daripada Nabi Saw..
Hikmah Terhalang Bagi Orang yang Berbuat Maksiat
“Al-Hikmah tidak akan turun pada hati yang di dalamnya terdapat keinginan pada maksiat.” (Muhammad bin Ka’ab al-Qarzhi)
Maksiat memadamkan cahaya hati sehingga ia tidak mampu mengeluarkan hikmah. Semakin besar keinginan berbuat maksiat, semakin sempit pula hikmah itu keluar dari akal pikiran kita.
Perhatikanlah hal ini, wahai para penuntut ilmu! Bagaimana mungkin engkau memperoleh hikmah sementara engkau berbuat maksiat? Hikmah hanya ada pada jiwa orang-orang yang taat, bukan orang yang gemar berbuat maksiat. Bukankah Allah Swt. telah berfirman,
وَاتَّقُوا اللهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللهُ
“Bertakwalah kepada Allah, niscaya Allah akan mengajarimu.” (QS. al-Baqarah: 282)
Yaitu mengajari ilmu asli; yang dapat menyembuhkan dan memberikan petunjuk, yang diilhamkan oleh Allah hanya kepada orang yang bertakwa.
Sementara mereka yang rajin menuntut ilmu namun gemar berbuat maksiat atau tidak menjadikan ilmunya itu jalan menuju takwa kepada Allah. Tidak memperoleh ilmu melainkan ilmu dakhil atau ilmu yang tidak bermanfaat. Ilmu itu bukanlah inti permasalahan, tetapi hanya kulit luarnya saja. Maksiat telah melencengkan ilmu dari makna sesungguhnya.
Sumber : Kutipan dari berbagai referensi dan http://denyaks.blogspot.com/2014/05/kedahsyatan-istighfar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar