Penerapan syariat Islam di Aceh didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 dan UU No. 18 tahun 2001. Hasil penelitian oleh Bustami (Pascasarjana UGM, 2004) memperlihatkan bahwa kalangan ulama dan aktivis mahasiswa memang melakukan tuntutan agar syariat Islam diberlakukan di Aceh, sedangkan aktivis LSM, cendekiawan, dan masyarakat kalangan bawah, tidak pernah melakukannya. Terlepas dari ada atau tidaknya tuntutan, penerapan Syariat Islam di Aceh lebih berkorelasi dengan aspek politik, yaitu sebagai upaya pemerintah menyelesaikan konflik di daerah ini.
Menyimak pelaksanaan Syariat Islam di Aceh beberapa waktu lalu, terdapat beberapa keluhan terkait dengan metode penerapan Syariat Islam yang cenderung dipraktekkan dengan cara-cara bernuansa kekerasan oleh masyarakat di berbagai kabupaten dan kota di Aceh, dan pihak pelaksana Syariat Islam seperti tidak berdaya mencegah meluasnya tindak kekerasan yang sering diberitakan melalui media-media lokal di Aceh. Atas nama Syariat Islam, seringkali pelaku pelanggaran menerima perlakuan tidak manusiawi dan penganiayaan dari masyarakat, seperti dimandikan dengan air comberan, diarak massa tanpa busana, bahkan sampai pada pelecehan seksual (contohnya pemaksaan adegan mesum di pantai Lhok Nga oleh oknum polisi Syariah). Kasus Mesum tahun 2007 di Abdya yang juga berakhir dengan pembakaran rumah seorang janda yang diduga sebagai pelaku perbuatan mesum oleh warga.
Salah satu kritik adalah selain belum kaffahnya penerapan syariat di Aceh penekanannya juga hanya pada beberapa hal dan terkesan dangkal, seperti yang seringkali muncul ke permukaan adalah kasus mesum, khalwat, judi, dan khamar, yang kemudian direspon oleh masyarakat melalui sweping-sweping di jalan-jalan negara yang dalam beberapa kasus berakhir ricuh, dan kafe-kafe dengan penekanan pada penggunaan pakaian bagi perempuan. Dalam pelaksanaan Syariat Islam, justru terjadi pelanggaran terhadap serangkaian aturan-aturan lainnya. Oleh karenanya muncul pertanyaan, apakah korupsi dan manipulasi keuangan negara dibenarkan dalam Islam? Apakah tidak menunaikan ibdah shalat, puasa dan zakat dibenarkan dalam Islam? Apakah menghujat orang lain, memukul dan menghina pelaku pelanggaran Syariat Islam tanpa adanya proses hukum yang adil dibenarkan oleh Islam? Sebagian besar masyarakat di Aceh membenci pelanggar Syariat Islam, padahal justru si pembenci sendiri terkadang jarang beribadah untuk melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim, bak kata pepatah lama Aceh “sembahyang wajeb uro jumat, sembahyang sunat uro raya” (shalat wajib adalah Shalat Jumat, dan shalat sunnah adalah Shalat Ied).
Tidak mengherankan apabila masih dijumpai masyarakat di Aceh yang sudah akhil baligh belum begitu mampu membaca Al Quran dengan lancar, tidak pernah menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan, padahal dia mengaku sebagai seorang muslim. Orang-orang seperti ini tidak pernah mendapat hukuman, tetapi sudah bertindak sebagai penegak syariat dengan ikut serta dalam berbagai penangkapan atas nama syariat, karena masih dangkalnya pemahaman tentang Syariat Islam.
Sejauh ini, penerapan Syariat Islam belum menghasilkan perubahan ke arah yang lebih positif dalam tata kehidupan masyarakat. Penerapan Syariat Islam dilakukan ketika Aceh berada dalam pusaran konflik, sehingga kelancaran pelaksanaannya mengalami gangguan yang cukup serius, bahkan isu Syariat Islam pernah berada di bawah bayang-bayang isu konflik. Dalam penerapan Syariat Islam di Aceh terdapat berbagai kelemahan dan kekurangan yang harus diperbaiki secepatnya, antara lain:
- Terbatasnya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang mampu menyusun konsep-konsep dan formula syariat Islam yang hendak diaplikasikan. Di samping itu, rumusan formula syariat yang tepat dan ideal untuk diaplikasikan juga belum ditemukan.
- Penegasan hukum terhadap permasalahan pelindungan anak dalam Syariat Islam. Anak.anak yang berumur 18 tahun nantinya tunduk kepada undang-undang anak walau melakukan pelanggaran syariat dan mereka harus diproses melalui pengadilan anak
- Pemahaman dan pengertian yang masih sangat minim tentang pola penerapan yang Syariat Islam yang baik dan benar, baik di tingkat aparatur maupun di masyarakat Aceh.
- Ketidakseriusan dan kurangnya sosialisasi tentang tata cara pelaksanaan Syariat Islam yang seharusnya terhadap masyarakat oleh pemerintah melalui Dinas Syariat Islam terkait dengan melakukan sosialisasi, diskusi-diskusi rutin dengan masyarakat Aceh di berbagai pelosok. Keterlibatan aktif masyarakat dalam penerapan Syariat Islam memang diperlukan tetapi tetap menempuh prosedur hukum yang berlaku sehingga niat baik menegakkan hukum Islam tidak melanggar hukum dan norma lainnya yang berlaku di negara ini.
- Status, keterampilan dan ”code of conduct” polisi syariat itu sendiri. Kadangkala seringkali polisi syariat tidak berdaya ketika berhadapan dengan pelaku syariat yang kuat secara struktural dan finansial, serta sering menimbulkan kekecewaan masyarakat.
- Mengemukanya konflik kepentingan antara pemerintah daerah dan masyarakat.
- Memudarnya kepercayaan masyarakat kepada elit politik setempat.
- Munculnya resistensi masyarakat terhadap berbagai regulasi yang dikeluarkan pemerintah daerah, terutama regulasi yang terkait dengan penerapan syariat Islam.
Penerapan Syariat Islam di Aceh sat ini harus mendapat kajian ulang yang mendalam dari semua pihak, sehingga Islam di Aceh tidak terkesan sebagai Islam yang radikal yang menghalalkan cara-cara kekerasan, tetapi menjadi Islam yang berwibawa, bersahaja dan rahmatan lil’alamin. Ditakutkan konsekuensi di kemudian hari, masyarakat akan takut terhadap pelaksanaan Syariat Islam di Aceh. Namun bukanlah takut akan hukuman Allah, tetapi justru takut mendapat perlakuan yang merendahkan martabat dari manusia itu sendiri. Seharusnya pelaksana atau pemegang kebijakan dapat memberikan penyadaran moral kepada masyarakat melalui penerapan Syariat Islam untuk mencapai ridha Allah SWT secara jangka panjang. Bukan hasil pemikiran jangka pendek karena asumsi Aceh sebagai Negeri Serambi Mekah dan kepentingan politik semata. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar