Kisah seorang Yahudi yang
mengislamkan jutaan orang
Siraaj Kamis, 26 Jumadil Akhir 1434 H / 1 Maret
2012 21:26
(Arrahmah.com) - Di suatu tempat di Perancis
sekitar lima puluh tahun yang lalu, ada seorang berkebangsaan Turki berumur 50
tahun bernama Ibrahim, ia adalah orang tua yang menjual makanan di sebuah toko
makanan. Toko tersebut terletak di sebuah apartemen dimana salah satu
penghuninya adalah keluarga Yahudi yang memiliki seorang anak bernama “Jad”
berumur 7 tahun.
Jad si anak
Yahudi Hampir setiap hari mendatangi toko tempat dimana Ibrahim bekerja untuk
membeli kebutuhan rumah, setiap kali hendak keluar dari toko –dan Ibrahim
dianggapnya lengah– Jad selalu mengambil sepotong cokelat milik Ibrahim tanpa
seizinnya.
Pada suatu
hari usai belanja, Jad lupa tidak mengambil cokelat ketika mau keluar, kemudian
tiba-tiba Ibrahim memanggilnya dan memberitahu kalau ia lupa mengambil sepotong
cokelat sebagaimana kebiasaannya. Jad kaget, karena ia mengira bahwa Ibrahim
tidak mengetahui apa yang ia lakukan selama ini. Ia pun segera meminta maaf dan
takut jika saja Ibrahim melaporkan perbuatannya tersebut kepada orangtuanya.
Ibrahim pun
menjawab: “Tidak apa, yang penting kamu berjanji untuk tidak mengambil sesuatu
tanpa izin, dan setiap saat kamu mau keluar dari sini, ambillah sepotong
cokelat, itu adalah milikmu!” Jad pun menyetujuinya dengan penuh kegirangan.
Waktu
berlalu, tahun pun berganti dan Ibrahim yang muslim kini menjadi layaknya
seorang ayah dan teman akrab bagi Jad si anak Yahudi.
Sudah
menjadi kebiasaan Jad saat menghadapi masalah, ia selalu datang dan
berkonsultasi kepada Ibrahim. Dan setiap kali Jad selesai bercerita, Ibrahim
selalu mengambil sebuah buku dari laci, memberikannya kepada Jad dan kemudian
menyuruhnya untuk membukanya secara acak. Setelah Jad membukanya, kemudian
Ibrahim membaca dua lembar darinya, menutupnya dan mulai memberikan nasehat dan
solusi dari permasalahan Jad.
Beberapa
tahun pun berlalu dan begitulah hari-hari yang dilalui Jad bersama Ibrahim,
seorang Muslim Turki yang tua dan tidak berpendidikan tinggi.
14 tahun
berlalu, kini Jad telah menjadi seorang pemuda gagah dan berumur 24 tahun,
sedangkan Ibrahim saat itu berumur 67 tahun.
Ibrahim pun
akhirnya meninggal, namun sebelum wafat ia telah menyimpan sebuah kotak yang
dititipkan kepada anak-anaknya dimana di dalam kotak tersebut ia letakkan
sebuah buku yang selalu ia baca setiap kali Jad berkonsultasi kepadanya.
Ibrahim berwasiat agar anak-anaknya nanti memberikan buku tersebut sebagai
hadiah untuk Jad, seorang pemuda Yahudi.
Jad baru
mengetahui wafatnya Ibrahim ketika putranya menyampaikan wasiat untuk
memberikan sebuah kotak, Jad pun merasa tergoncang dan sangat bersedih dengan
berita tersebut, karena Ibrahim lah yang selama ini memberikan solusi dari
semua permasalahannya, dan Ibrahim lah satu-satunya teman sejati baginya.
Hari-haripun
berlalu, Setiap kali dirundung masalah, Jad selalu teringat Ibrahim. Kini ia
hanya meninggalkan sebuah kotak. Kotak yang selalu ia buka, di dalamnya
tersimpan sebuah buku yang dulu selalu dibaca Ibrahim setiap kali ia
mendatanginya.
Jad lalu
mencoba membuka lembaran-lembaran buku itu, akan tetapi kitab itu berisikan
tulisan berbahasa Arab sedangkan ia tidak bisa membacanya. Kemudian ia pergi ke
salah seorang temannya yang berkebangsaan Tunisia dan memintanya untuk
membacakan dua lembar dari kitab tersebut. Persis sebagaimana kebiasaan Ibrahim
dahulu yang selalu memintanya membuka lembaran kitab itu dengan acak saat ia
datang berkonsultasi.
Teman Tunisia
tersebut kemudian membacakan dan menerangkan makna dari dua lembar yang telah
ia tunjukkan. Dan ternyata, apa yang dibaca oleh temannya itu, mengena persis
ke dalam permasalahan yang dialami Jad kala itu. Lalu Jad bercerita mengenai
permasalahan yang tengah menimpanya, Kemudian teman Tunisianya itu memberikan
solusi kepadanya sesuai apa yang ia baca dari kitab tersebut.
Jad pun
terhenyak kaget, kemudian dengan penuh rasa penasaran ini bertanya, “Buku apa
ini !?”
Ia menjawab
: “Ini adalah Al-Qur’an, kitab sucinya orang Islam!”
Jad sedikit
tak percaya, sekaligus merasa takjub,
Jad lalu
kembali bertanya: “Bagaimana caranya menjadi seorang muslim?”
Temannya
menjawab : “Mengucapkan syahadat dan mengikuti syariat!”
Setelah itu,
dan tanpa ada rasa ragu, Jad lalu mengucapkan Syahadat, ia pun kini memeluk
agama Islam!
Jadullah
seorang Muslim.
Kini Jad
sudah menjadi seorang muslim, kemudian ia mengganti namanya menjadi Jadullah
Al-Qur’ani sebagai rasa takdzim atas kitab Al-Qur’an yang begitu istimewa dan
mampu menjawab seluruh problema hidupnya selama ini. Dan sejak saat itulah ia
memutuskan akan menghabiskan sisa hidupnya untuk mengabdi menyebarkan ajaran
Al-Qur’an.
Mulailah
Jadullah mempelajari Al-Qur’an serta memahami isinya, dilanjutkan dengan
berdakwah di Eropa hingga berhasil mengislamkan enam ribu Yahudi dan Nasrani.
Suatu hari,
Jadullah membuka lembaran-lembaran Al-Qur’an hadiah dari Ibrahim itu. Tiba-tiba
ia mendapati sebuah lembaran bergambarkan peta dunia. Pada saat matanya tertuju
pada gambar benua afrika, nampak di atasnya tertera tanda tangan Ibrahim dan
dibawah tanda tangan itu tertuliskan ayat :
((اُدْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ
الْحَسَنَةِ…!!))
“Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik!!…” (QS.
An-Nahl; 125)
Iapun yakin
bahwa ini adalah wasiat dari Ibrahim dan ia memutuskan untuk melaksanakannya.
Beberapa
waktu kemudian Jadullah meninggalkan Eropa dan pergi berdakwah ke negara-negara
Afrika yang diantaranya adalah Kenya, Sudan bagian selatan (yang mayoritas
penduduknya adalah Nasrani), Uganda serta negara-negara sekitarnya. Jadullah
berhasil mengislamkan lebih dari 6.000.000 (enam juta) orang dari suku Zolo,
ini baru satu suku, belum dengan suku-suku lainnya.
Akhir Hayat
Jadullah
Jadullah
Al-Qur’ani, seorang muslim sejati, da’i hakiki, menghabiskan umur 30 tahun
sejak keislamannya untuk berdakwah di negara-negara Afrika yang gersang dan
berhasil mengislamkan jutaan orang.
Jadullah
wafat pada tahun 2003 yang sebelumnya sempat sakit. Kala itu beliau berumur 45
tahun, beliau wafat dalam masa-masa berdakwah.
Kisah pun
belum selesai
Ibu Jadullah
Al-Qur’ani adalah seorang wanita Yahudi yang fanatik, ia adalah wanita
berpendidikan dan dosen di salah satu perguruan tinggi. Ibunya baru memeluk
Islam pada tahun 2005, dua tahun sepeninggal Jadullah yaitu saat berumur 70
tahun.
Sang ibu
bercerita bahwa –saat putranya masih hidup– ia menghabiskan waktu selama 30
tahun berusaha sekuat tenaga untuk mengembalikan putranya agar kembali menjadi
Yahudi dengan berbagai macam cara, dengan segenap pengalaman, kemapanan ilmu
dan kemampuannya, akan tetapi ia tidak dapat mempengaruhi putranya untuk
kembali menjadi Yahudi. Sedangkan Ibrahim, seorang Muslim tua yang tidak
berpendidikan tinggi, mampu melunakkan hatinya untuk memeluk Islam, hal ini
tidak lain karena Islamlah satu-satunya agama yang benar.
Kemudian
yang menjadi pertanyaan: “Mengapa Jad si anak Yahudi memeluk Islam?”
Jadullah
Al-Qur’ani bercerita bahwa Ibrahim yang ia kenal selama 17 tahun tidak pernah
memanggilnya dengan kata-kata: “Hai orang kafir!” atau “Hai Yahudi!” bahkan
Ibrahim tidak pernah untuk sekedar berucap: “Masuklah agama islam!”
Bayangkan,
selama 17 tahun Ibrahim tidak pernah sekalipun mengajarinya tentang agama,
tentang Islam ataupun tentang Yahudi. Seorang tua muslim sederhana itu tak
pernah mengajaknya diskusi masalah agama. Akan tetapi ia tahu bagaimana
menuntun hati seorang anak kecil agar terikat dengan akhlak Al-Qur’an.
Kemudian
dari kesaksian DR. Shafwat Hijazi (salah seorang dai kondang Mesir) yang suatu
saat pernah mengikuti sebuah seminar di London dalam membahas problematika
Darfur serta solusi penanganan dari kristenisasi, beliau berjumpa dengan salah
satu pimpinan suku Zolo. Saat ditanya apakah ia memeluk Islam melalui Jadullah
Al-Qur’ani?, ia menjawab; tidak! namun ia memeluk Islam melalui orang yang
diislamkan oleh Jadullah Al-Qur’ani.
Subhanallah, akan ada berapa banyak lagi orang
yang akan masuk Islam melalui orang-orang yang diislamkan oleh Jadullah
Al-Qur’ani. Dan Jadullah Al-Qur’ani sendiri memeluk Islam melalui tangan
seorang muslim tua berkebangsaan Turki yang tidak berpendidikan tinggi, namun
memiliki akhlak yang jauh dan jauh lebih luhur dan suci.
Begitulah
hikayat tentang Jadullah Al-Qur’ani, kisah ini merupakan kisah nyata yang
penulis dapatkan kemudian penulis terjemahkan dari catatan
Almarhum Syeikh Imad Iffat yang dijuluki sebagai “Syaikh Kaum Revolusioner
Mesir”. Beliau adalah seorang ulama Al-Azhar dan anggota Lembaga Fatwa Mesir
yang ditembak syahid dalam sebuah insiden di Kairo pada hari Jumat, 16 Desember
2011 silam.
Kisah nyata
ini layak untuk kita renungi bersama di masa-masa penuh fitnah seperti ini. Di
saat banyak orang yang sudah tidak mengindahkan lagi cara dakwah Qur’ani. Mudah
mengkafirkan, fasih mencaci, mengklaim sesat, menyatakan bid’ah, melaknat,
memfitnah, padahal mereka adalah sesama muslim.
Dulu
da’i-da’i kita telah berjuang mati-matian menyebarkan Tauhid dan mengislamkan
orang-orang kafir, namun kenapa sekarang orang yang sudah Islam malah justru
dikafir-kafirkan dan dituduh syirik? Bukankah kita hanya diwajibkan menghukumi
sesuatu dari yang tampak saja? Sedangkan masalah batin biarkan Allah yang
menghukumi nanti. Kita sama sekali tidak diperintahkan untuk membelah dada
setiap manusia agar mengetahui kadar iman yang dimiliki setiap orang.
Mari kita
renungi kembali surat Thaha ayat 44 yaitu Perintah Allah swt. kepada Nabi Musa
dan Harun –‘alaihimassalam– saat mereka akan pergi mendakwahi fir’aun.
Allah berfirman,
((فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ
يَخْشَى))
“Maka
berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut,
Mudah-mudahan ia ingat atau takut.”
Bayangkan,
fir’aun yang jelas-jelas kafir laknatullah, namun saat dakwah dengan orang
seperti ia pun harus tetap dengan kata-kata yang lemah lembut. Lalu apakah kita
yang hidup di dunia sekarang ini ada yang lebih Islam dari Nabi Musa dan Nabi
Harun? Atau adakah orang yang saat ini lebih kafir dari fir’aun sehingga
Al-Qur’an pun merekam kekafirannya hingga kini? Lantas alasan apa bagi kita
untuk tidak menggunakan dahwah dengan metode Al-Qur’an? Yaitu dengan Hikmah,
Nasehat yang baik, dan Diskusi menggunakan argumen yang kuat namun tetap sopan
dan santun?
Maka dalam
dakwah yang perlu kita perhatikan adalah bagaimana cara kita agar mudah
menyampaikan kebenaran Islam ini. Oleh karenanya, jika sekarang kita dapati ada
orang yang kafir, bisa jadi di akhir hayatnya Allah akan memberi hidayah
kepadanya sehingga ia masuk Islam. Bukankah Umar bin Khattab dulu juga pernah
memusuhi Rasulullah? Namun Allah berkehendak lain, sehingga Umar pun mendapat
hidayah dan akhirnya memeluk Islam. Lalu jika sekarang ada orang muslim, bisa
jadi di akhir hayatnya Allah mencabut hidayah darinya sehingga ia mati dalam
keadaan kafir. Na’udzubillah tsumma Na’udzubillahi min Dzalik.
Karena
sesungguhnya dosa pertama yang dilakukan iblis adalah sombong dan angkuh serta
merasa diri sendiri paling suci sehingga tak mau menerima kebenaran Allah
dengan sujud hormat kepada nabi Adam –’alaihissalam–. Oleh karena itu,
bisa jadi Allah mencabut hidayah dari seorang muslim yang tinggi hati lalu
memberikannya kepada seorang kafir yang rendah hati. Segalanya tiada yang
mustahil bagi Allah!
Marilah kita
pertahankan akidah Islam yang telah kita peluk ini, dan jangan pernah mencibir
ataupun “menggerogoti” akidah orang lain yang juga telah memeluk Islam serta
bertauhid. Kita adalah saudara seislam seagama. Saling mengingatkan adalah
baik, saling melindungi akidah sesama muslim adalah baik. Marilah kita senantiasa
berjuang bahu-membahu demi perkara yang baik-baik saja.
Wallahu
Ta’ala A’la Wa A’lam Bis-Shawab.
Penulis: Mustamid, seorang mahasiswa Program Licence
Universitas Al-Azhar Kairo Konsentrasi Hukum Islam.
Foto: Muslim
Afsel
(siraaj/arrahmah.com)
- See more
at:
http://www.arrahmah.com/read/2012/03/01/18487-kisah-seorang-yahudi-yang-mengislamkan-jutaan-orang-kisah-seorang-yahudi-yang-mengislamkan-jutaan-orang.html#sthash.udqWRbrd.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar