TASAWUF DALAM AJARAN ISLAM
Oleh: KH. Muh. Said Abd. Shamad, Lc.**
“Ilmu kita harus selalu
disesuaikan dengan al Qur’an dan sunnah. Maka barang siapa yang tidak menghafal
al Qur’an dan tidak menulis Hadis, maka ia dianggap belum paham tentang agama
dan tidak layak dijadikan qadhi (hakim).” (Junaid Al-Bagdadi)[1]
A. Pendahuluan
Surah yang
paling mulia dalam al Qur’an adalah surah al Fatihah, maka dapat dikatakan
bahwa do’a yang paling penting ialah do’a yang terdapat dalam al Fatihah xÞºuÅ_Ç9$# tLìÉ)tGó¡ßJø9$# $tRÏ÷d$# Tunjukilahk
kami jalan yang lurus. (QS. [1]: 6).
Kenapa kita harus memohon ash Shiraath al Mustaqiim ? pentingkah?
Karena ash Shiraath al Mustaqiim adalah jalan orang-orang yang telah
diberi nikmat oleh Allah Ta’ala. tûüÏj9!$Ò9$# wur öNÎgøn=tãÅ óUqàÒøóyJø9$# Îö�xîOÎgøn=tæ |MôJyè÷Rr&
tûïÏ%©!$# xÞºuÅÀ “Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka
yang sesat.” (QS. [1]: 7).
Di dalam Surah
an Nisa’ ayat ke-69, disebut bahwa orang-orang yang telah mendapat nikmat ialah
para Nabi, ash Shiddiqiin, asy Syuhada’, dan ash Shalihin.
Agar Allah menempatkan kita kelak bersama dengan mereka, maka kita harus
mentaati Allah dan Rasul-Nya (al Qur’an dan Hadis). Namun dalam memahami al
Qur’an dan Hadis, kadang terjadi perbedaan dan silang pendapat, maka Nabi saw
memberi petunjuk.
قَامَ فِينَا
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ فَوَعَظَنَا
مَوْعِظَةً بَلِيغَةً وَجِلَتْ مِنْهَا الْقُلُوبُ وَذَرَفَتْ مِنْهَا الْعُيُونُ
فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَعَظْتَنَا مَوْعِظَةَ مُوَدِّعٍ فَاعْهَدْ
إِلَيْنَا بِعَهْدٍ فَقَالَ عَلَيْكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ
وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا وَسَتَرَوْنَ مِنْ بَعْدِي اخْتِلَافًا
شَدِيدًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ
الْمَهْدِيِّينَ عَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَالْأُمُورَ
الْمُحْدَثَاتِ فَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
"...Pada suatu hari Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri
di tengah-tengah kami. Beliau memberi nasihat yang sangat menyentuh, membuat
hati menjadi gemetar, dan airmata berlinangan. Lalu dikatakan, ‘Wahai
Rasulullah, engkau telah memberikan nasihat kepada kami satu nasihat
perpisahan, maka berilah kami satu wasiyat,’ beliau bersabda, ‘Hendaklah kalian
bertakwa kepada Allah, mendengar dan taat meski kepada seorang budak Habasyi.
Dan sepeninggalku nanti, kalian akan melihat perselisihan yang sangat dahsyat, maka hendaklah kalian
berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafaur Rasyidin yang mendapat
petunjuk. Gigitlah sunnah itu dengan gigi geraham, dan jangan sampai kalian
mengikuti perkara-perkara yang dibuat-buat, karena sesungguhnya semua bid'ah
itu adalah sesat’.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, Addarimi).[2]
أَلَا إِنَّ
مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ افْتَرَقُوا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ
مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلَاثٍ وَسَبْعِينَ
ثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ
الْجَمَاعَةُ
"Ketahuilah! Sesungguhnya orang-orang
sebelum kalian dari kalangan ahlu kitab berpecah belah menjadi tujuh puluh dua
golongan, dan umatku akan berpecah menjadi tujuh puluh tiga golongan; tujuh
puluh dua golongan masuk neraka dan satu golongan masuk surga, yaitu Al Jama'ah."
(Silsilah Hadis Shohih, Al Albani. 204).
Juga sebagaimana sabda Nabi bahwa seluruh umatnya akan masuk neraka kecuali
satu golongan,
كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلّا مِلَّةً
وَاحِدةً : مَــا أَنـَا عَلَيْهِ وَأَصْحَــابِيْ
“...semuanya akan masuk neraka kecuali satu
golongan: ialah orang yang melakukan seperti aku dan para sahabatku.” (HR. At Tirmizi, dan Al Hakim).
عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ
الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
“...Sebaik-baik kalian adalah orang yang hidup pada masaku (periode sahabat), kemudian orang-orang pada masa berikutnya (Tabi'in),
kemudian orang-orang pada masa berikutnya (Tabi'ut tabi'in)...” (HR. Muslim).
Berdasarkan
kandungan dalil-dalil di atas nyatalah bahwa pemahaman dan pengamalan Islam
yang terbaik dan harus menjadi standar dalam menilai aliran yang berkembang
dalam masyarakat termasuk tasawuf, ialah al Qur’an dan Hadis sesuai
dengan pemahaman dan pengamalan generasi yang terbaik dalam Islam yaitu para
Sahabat, tabi’in, tabi’i-tabi’in, temasuk para Imam yang mu’tabarah
seperti Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin
Hambal. Generasi inilah yang disebut salaf (para pendahulu) dalam Islam.
Merekalah para Ahlussunnah wal Jama’ah dan atau pengikut mereka disebut Sunni.
Berkata al
Junaid al Bagdadi, “Ilmu kita harus selalu
disesuaikan dengan al Qur’an dan Assunnah. Maka barang siapa yang tidak
menghafal al Qur’an dan tidak menulis Hadis, maka ia dianggap belum paham
tentang agama dan tidak layak dijadikan qadhi (hakim).”[3] Dan berkata
Imam al Auza’i, “Hendaklah kamu mengikuti jejak para salaf, meskipun manusia
menolakmu, jauhilah (yang semata-mata) pendapat pribadi meskipun mereka menghiasi
pendapat itu bagimu. Semua itu akan jelas dan engkau (tetap) di atas jalan yang
lurus. “[4]
Makalah ini,
akan memaparkan perbandingan dua karya tulis tentang tasawwuf, yaitu Falsafat
dan Mistisisme Dalam Islam oleh Prof. Dr. Harun Nasution (Mantan
Rektor UIN Syarif Hidayatullah), dan Ushul Thariqah al Tasawuf oleh
KH. M. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU).
B. Mistisisme Islam dalam Tulisan Harun Nasution
Mistisisme
dalam Islam diberi nama tasawuf, dan oleh kaum orientalis Barat disebut
sufisme. Kata sufisme dalam istilah orientalis Barat khusus dipakai untuk
mistisisme Islam. Sufisme tidak dipakai untuk mistisisme yang terdapat dalam
agama-agama lain.[5]
Tasawuf atau
sufisme sebagaimana halnya dengan mistisisme di luar agama Islam, memiliki
tujuan memperoleh hubungan langsung dan disadari dengan Tuhan. Intisari dari
mistisisme, termasuk sufisme ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog
antara roh manusia dengan Tuhan dengan jalan mengasingkan diri dan
kontemplasi. Kesadaran berada dekat dengan Tuhan itu dapat mengambil bentuk ittihad الاتحـــاد bersatu dengan Tuhan.[6]
Tasawuf
merupakan satu ilmu pengetahuan dan sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf atau sufisme
mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Islam dapat berada sedekat mungkin
dengan Allah swt.
Ada pun
asal-usul kata tasawuf berasal dari kata sufi. Menurut sejarah, orang yang
pertama memakai kata sufi adalah seorang zahid ascetic bernama Abu Hasyim
Al-Kufi (w. 150 H.) di Irak, dan mengenai asal atau etimologi kata sufi. Maka
teori-teori berikut selalu dikemukakan:
a. Ahl as Suffah أهل الصفة , orang-orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah
ke Madinah, dan karena kehilngan harta, mereka berada dalam keadaan miskin dan
tak memiliki apa-apa. Mereka tinggal di Mesjid Nabi dan tidur di atas bangku
batu dengan memakai pelana sebagai bantal. Pelana disebut suffah. Kata sofa
(kursi) dalam bahasa Eropa berasal dari kata suffah صفـــة . Sungguh pun Miskin ahl suffah berhati baik
dan mulia. Sifat tidak mementingkan keduniaan, miskin tetapi berhati baik dan
mulia itulah sifat-sifat kaum sufi.
b. Saf صـف pertama, sebagimana halnya dengan orang sembahyang di saf pertama mendapat
kemuliaan dan pahala, demikian pula kaum sufi dimuliakan Allah dan diberi
pahala.[7]
c. Sufi صوفي dari صافي danصفي yaitu
suci. Seorang sufi adalah orang yang disucikan dan kaum sufi adalah orang-orang
yang telah mensucikan diri melalui latihan berat dan lama.
d. Sophos kata Yunani yang berarti hikmat. Orang sufi betul ada hubungannya dengn
hikmat, hanya huruf ‘s’ dalam sophos ditransliterasikan ke dalam bahasa
Arab menjadi س dan bukan ص, sebagai
kelihatan dalam kata فـــلسفة dari kata philosopia. Dengan demikian
seharusnya sufi ditulis dengan سوفــــي bukan صــــوفي.
e. Suf صوف, kain yang
dibuat dari bulu yaitu wol. Hanya kain wol yang dipakai kaum sufi adalah wol
kasar, bukan wol halus seperti sekarang. Memakai wol kasar waktu itu adalah
simbol kesederhanaan dan kemiskinan. Lawannya adalah memakai sutera, oleh
orang-orang yang mewah hidupnya di kalangan pemerintahan. Kaum sufi sebagai
golongan yang hidup sederhana dan dalam keadaan miskin. Tetapi berhati
suci dan mulia, menjauhi pemakaian sutera dan sebagai gantinya menggunakan kain
wol kasar.[8]
Di antara
sekian banyak pendapat tentang asal-usul sufi, maka pendapat yang terakhirlah
yang paling banyak diterima. Tentang pendapat ini, Ibnu Taimiah menjelaskan
bahwa andaikata diambil dari kata ahl al ashuffah maka kata yang tepat
adalah shuffi; jika diambil dari kata al shaf, maka ia akan
berbunyi shaffi; dan jika diambil dari kata al shafwah maka ia
akan berbunyi shafawi.[9] Ada pula
pendapat yang mengatakan bahwa kata sufi berasal dari kata Shufah bin Basyr
nama salah satu kabilah di zaman jahiliah yang dekat di Mekkah, namun kabilah
ini tidaklah begitu terkenal.[10]
Ada pun
asal-usul aliran sufisme, atau asal timbul dan munculnya aliran ini dalam
Islam, maka juga memiliki beberapa versi, di antaranya :
a. Pengaruh
Kristen dengan paham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri dalam
biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisan-tulisan tentang
rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia.
b. Filsafat mistik
Pytagoras yang berpendapat bahwa roh manuisa bersifat kekal dan berada di dunia
sebagai orang asing. Badan jasmani merupakan penjara bagi roh. Kesenangan roh
yang sebenarnya ialah di alam samawi. Untuk memperoleh kehidupan yang bahagia
di alam samawi, manusia harus membersihkan roh dengan meninggalkan hidup
materi, yaitu zuhud, untuk selanjutnya berkontemplasi.
c. Filsafat
emanasi (pancaran) Plotinus yang mengatakan bahwa wujud ini memancar zat Tuhan.
Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepadaNya. Akan tetapi dengan masuknya
ke alam materi, roh menjadi kotor, untuk kembali ke tempat asalnya roh harus
terlebih dahulu dibersihkan. Pensucian roh adalah dengan cara meninggalkan
dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan-Nya.
d. Aliran Budha
dengan paham nirwananya. Untuk mencapai niwrana orang harus menanggalkan dunia
dan memasuki hidup kontemplasi. paham fana’
yang terdapat dalam sufisme hampir serupa dengan faham niwrana.
e. Ajaran-ajaran
Hinduisme yang juga mendorong manusia untuk meninggalkan dunia dan mendekati
Tuhan untuk mencapai persatuan Atman dengan Brahma.
Itulah beberapa
paham dan ajaran yang nenurut teorinya mempengaruhi timbul dan munculnya
sufisme di kalangan umat Islam. Apakah teori di atas benar atau tidak, sulit
dibuktikan. Tetapi bagaimana pun, dengan atau tanpa pengaruh-pengaruh dari
luar, sufisme bisa tumbuh dalam Islam.[11]
Dalam al Qur’an
juga terdapat beberapa ayat yang mengatakan bahwa manusia dengan tuhannya
terjalin kedekatan, sebagaimana berikut :
#sÎ)ur
y7s9r'y
Ï$t6Ïã ÓÍh_tã
ÎoTÎ*sù ë=Ì�s%
( Ü=Å_é&
nouqôãy
Æí#¤$!$#
#sÎ) Èb$tãy
( (#qç6ÉftGó¡uù=sù Í<
(#qãZÏB÷sãø9ur
Î1 öNßg¯=yès9 crßä©ö�t ÇÊÑÏÈ
“Dan
apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah),
bahwasanya aku adalah dekat. aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa
apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada
dalam kebenaran.” (QS. Albaqarah [2]: 186).
Tuhan di sini
mengatakan bahwa Dia dekat dengan manusia dan mengabulkan permintaan yang
diminta. Oleh kaum sufi kata da’a di sini diartikan berseru, yaitu Tuhan
mengabulkan seruan orang yang ingin dekat pada-Nya.
¬!ur ä-Ì�ô±pRùQ$# Ü>Ì�øópRùQ$#ur 4 $yJuZ÷r'sù (#q9uqè? §NsVsù çmô_ur «!$# 4 cÎ) ©!$# ììźur ÒOÎ=tæ ÇÊÊÎÈ
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka
kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas
(rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui.” (QS. Albaqarah [2]: 115).
Ke mana saja manusia berpaling,
demikan ayat di atas, manusia akan berjumpa dengan Tuhan. Demikian dekatnya
manusia dengan Tuhan. Sebagaimana ayat berikut.
ôs)s9ur $uZø)n=yz z`»|¡SM}$# ÞOn=÷ètRur $tB â¨Èqóuqè? ¾ÏmÎ/ ¼çmÝ¡øÿtR ( ß`øtwUur Ü>t�ø%r& Ïmøs9Î) ô`ÏB È@ö7ym ÏÍuqø9$# ÇÊÏÈ
“Dan sesungguhnya kami telah
menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan kami
lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf [50]:
16).
Ayat ini
mengandung arti bahwa Tuhan ada di dalam, bukan di luar diri manusia.
Pengertian yang sama juga diberikan pada ayat berikut.
öNn=sù öNèdqè=çFø)s? ÆÅ3»s9ur ©!$# óOßgn=tGs% 4
$tBur |MøtBu øÎ) |MøtBu ÆÅ3»s9ur ©!$# 4tGu 4
uÍ?ö7ãÏ9ur
úüÏZÏB÷sßJø9$#
çm÷ZÏB
¹äIxt/
$·Z|¡ym 4
cÎ)
©!$#
ììÏJy ÒOÎ=tæ ÇÊÐÈ
“Maka (yang sebenarnya) bukan
kamu yang membunuh mereka, akan tetapi Allahlah yang membunuh mereka, dan bukan
kamu yang melempar ketika kamu melempar, tetapi Allah-lah yang melempar. (Allah
berbuat demikian untuk membinasakan mereka) dan untuk memberi kemenangan kepada
orang-orang mukmin, dengan kemenangan yang baik. Sesungguhnya Allah Maha
mendengar lagi Maha mengetahui.” (QS. Alanfal [8]: 17).
Dapat diartikan
dari ayat di atas bahwa Tuhan dengan manusia sebenarnya satu. Perbuatan manusia
adalah perbuatan Tuhan.
Bukan ayat-ayat
al Qur’an saja, tetapi Hadis juga ada yang mengabarkan dektanya hubungan
manusia dengan Tuhan.
من عرف نفسه فقد عرف ربه
“Orang yang mengetahui dirinya,
itulah orang yang mengetahui Tuhan”
Hadis ini juga
mengandung arti bahwa manusia dengan Tuhan adalah satu. Untuk mengetahui Tuhan
orang tidak perlu pergi jauh-jauh. Cukup ia masuk ke dalam dirinya dan mencoba
mengetahui dirinya. Dengan kenal pada dirinya ia kenal pada Tuhan.[12]
كنت كــنزا مخفيـــا فأحببت أن
أعـــرف فخلقت الخلق فبي عرفوني
“Aku pada mulanya adalah
harta yang tersembunyi, kemudian aku ingin kenal, maka kuciptakanlah makhluk
dan melalui Aku mereka kenal padaKu.”
Hadis di atas
mengatakan bahwa Tuhan ingin dikenal dan untuk dikenal itu, Tuhan menciptakan
makhluk. Ini mengandung arti bahwa Tuhan dengan makhluk adalah satu, karena
melalui makhluk Tuhan dapat dikenal. Jadi terlepas dari kemungkinan ada atau
tidaknya pengaruh dari luar, ayat serta Hadis seperti tersebut di atas dapat
membawa pada timbulnya aliran sufi dalam Islam, yaitu kalau yang dimaksud
dengan sufisme ialah ajaran-ajaran tentang berada sedekat mungkin pada Tuhan.
Untuk berada
dekat pada Tuhan, seorang sufi harus menempuh jalan panjang yang berisi
stasion-stasion yang disebut maqomatمقامـــات atau tahapan-tahapan. Buku-buku
tasawuf tidak selamanya memberikan angka dan susunan yang sama tentang
tingkatan-tingkatan tersebut. Namun yang lazim adalah :
Taubat – zuhud – sabar – tawakkal
– kerelaan التوبة – الزهد – الصبــر – التوكل –
الـــرضي. Dan di atas tingkatan-tingkatan itu terdapat lagi
tingkatan lanjutan :
Cinta – ma’rifat – fana’ dan
baqa’ – bersatu المحـــبة – المعرفة – الفناء والبقاء –
الاتحـــاد -
Dalam persatuan
الاتحـــاد dapat mengambil bentuk al hulul الحلول atau wahdat al wujud, الوجود وحدة. Di samping istilah maqom ini terdapat pula
dalam literatur tasawuf istilah hal حـــال yang merupakan keadaan mental, seperti perasaan
senang, sedih, takut, dan sebagainya. Hal ini bisa disebut :
Takut – rendah
hati – patuh – ikhlas – rasa berteman – gembira hati – syukur. - الخوف - التواضع – التقوي –
الاخلآص – الانسان – الوجه - الشكر
Hal, berlainan dengan maqom, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi
didapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan.[13]
C. Ajaran Tasawuf Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari
Menurut KH.
Muhammad Hasyim Asy’ari, pendiri Jam’iyyah Nahdhatul Ulama, bahwa pokok-pokok
ajaran tasawuf itu ada lima :
a.
Takwa kepada Allah baik secara sirr (rahasia, tersembunyi) maupun secara nyata.
b.
Mengikuti sunnah dalam berbicara dan berbuat.
c.
Berpaling dari makhluk di saat menghadap atau membelakang.
d.
Ridha terhadap Allah, menerima yang sedikit dan banyak.
Pemantapan takwa dengan wara’
dan istiqamah, pemantapan mengikuti sunnah dengan berhati-hati dan
akhlak yang baik, pemantapan sikap berpaling dari makhluk dengan sabar dan
tawakkal, pemantapan ridha terhadap Allah dengan qanaa’ah dan menyerahkan diri,
pemantapan sikap kembali kepada Allah dengan syukur di saat senang dan
bersandar kepadaNya di saat susah.
Landasan dari
semua itu ada lima, yaitu semangat yang tinggi, menjaga diri dari yang
diharamkan, berkhidmat dengan baik, tekad yang kuat serta menghargai nikmat.
Barangsiapa
yang tinggi semangatnya akan meningkat kedudukannya, dan siapa menjaga diri
dari yang diharamkan Allah, Allah akan menjaga kehormatannya dan siapa
berkhidmat dengan baik, maka pasti mendapat kemurahan Allah, dan barangsiapa
yang kuat tekadnya, maka hidayah berkesinambungan baginya, dan barangsiapa
mensyukuri nikmat Allah pasti Dia akan menambah nikmat kasih-Nya.[15]
Pokok-pokok
petunjuk ada lima: menuntut ilmu agar dapat melaksanakan perintah; menemani
guru dan teman agar mencermati keteladanan; meninggalkan sikap meringan-ringankan
yang tidak berdasar agar bisa hati-hati; mengatur waktu untuk berwirid agar
hati selalu sadar (kepada Allah) dan selalu introspeksi terhadap dirinya,
keluar dari hawa nafsu dan selamat dari kebinasaan.[16]
Menuntut ilmu,
mengikatnya ialah berteman dengan orang yang muda umur, akal dan agamanya.
Berteman, penyakitnya ialah kebanggaan dan berlebih-lebihan. Meninggalkan sikap
meringan-ringankan dan penafsiran-penafsiran keliru, penyakitnya ialah
memanjakan diri. Sikap introspeksi, penyakitnya ialah sikap tenang karena
merasa sudah baik dan istiqamah. Allah swt berfirman,
bÎ)ur
öAÏ÷ès?
¨@à2
5Aôtã
w
õs{÷sã
!$pk÷]ÏB
3
“...dan jika ia menebus dengan
segala macam tebusan pun, niscaya tidak akan diterima dari padanya...” (QS. Alan’am [6]: 70) .
Pokok-pokok
pengobatan jiwa ada lima: meringankan lambung dengan mengurangi makan dan
minum; bersandar kepada Allah terhadap segala tantangan; meninggalkan
tempat-tempat yang dikhawatirkan terjerumus padanya; selalu istigfar dan
salawat di waktu malam dan tepi-tepi siang dengan konsentrasi; dan menemani
orang yang bisa menunjukkan jalan kepada Allah.[17]
Penutup,
tentang cara untuk sampai kepada Allah yaitu bertaubat dari segala yang
diharamkan dan dimakruhkan; mencintai ilmu sesuai kebutuhan; selalu menjaga
wudhu; melaksanakan fardhu dan sunnah rawatib di awal waktu secara berjamaah;
menetapkan salat 8 rakaat di waktu dhuha; 6 rakaat antara Magrib dan Isya;
salat witir; puasa Senin dan Kamis dan puasa tiga hari putih; puasa pada
hari-hari utama; membaca al Qur’an dengan kehadiran hati dan tadabbur;
memperbyanyak istigfar; dan shalawat kepada Nabi saw; membiasakan zikir pagi
dan petang berdasarkan sunah Nabi saw.[18]
Selanjutnya
KH.M. Hasyim Asy’ari juga menulis sekian banyak zikir pagi dan petang untuk
diamalkan (yang banyak persamaannya dalam kitab “Hisnul Muslim” susunan Dr.
Said bin Ali Al Qahthani dan al Ma’tsurat susunan Imam Hasan Al Banna.)
Kadar ini cukup
bagi orang yang memiliki perhatian dari Allah yang memberi taufiq untuk
memperoleh petunjuk, Dia yang memberi petunjuk kepada jalan (yang lurus),
Dialah yang mencukupi kita dan (di atas) sebaik-baik Pelindung demikian menurut
KH. M. Hasyim Asy’ari.[19]
D. Bantahan Terhadap Harun Nasution dan Dukungan Terhadap Hasyim Asy’ari
Menelaah
tulisan Prof. Dr. Harun Nasution Falsafat dan Mistisisme dalam Islam maka
penulis menyimpulkan bahwa terdapat beberapa kekeliruan yang harus diluruskan
sesuai dengan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah, di antaranya adalah:
a. Mahabbah yang tidak mengharapkan surga
serta tidak takut pada neraka. Ini adalah pernyataan keliru karena, mahabbah
atau cinta kepada Allah dengan arti sesungguhnya senantiasa disertai sikap
berharap dan bermunajat agar mendapat ridha Allah, supaya kelak di masukkan ke
dalam surga dan dijauhkan dari siksa api neraka.
Oleh karena itu, Allah Azza wa
Jalla memuji sifat para Nabi dan Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, yang
mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan
mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut
terhadap siksaan-Nya. (Lihat, misalnya
firman Allah swt dalam surat al-Anbiyâ`/21 ayat
90, dan ayat-ayat lainnya.)
Para Salafush Shaleh dalam
mencintai Allah selalu berzikir, tafakkur atas kebesarana Allah, rajin salat
berjamaah, tidak ktinggalan salat-salat nawafil, seperti rawatib dan tahajjud,
senantiasa membaca al Qur’an, cintanya kepada Allah selalu mengalahkan hawa
nafsunya, merasa nikmat dalam beribadah, mengasihi semua yang dikasihi Allah
dan membenci semua yang dibenci Alllah, selalu menyambut seruan Allah dan
mentaatinya. Cinta yang seperti inilah yang layak dimantapkan oleh setiap
muslim untuk dapat masuk surga dan selamat dari jilatan api neraka, sebuah
kecintaan rohani yang mampu mengubah sesuatu yang pahit menjadi manis, yang
sukar menjadi mudah, yang sakit menjadi sembuh, penderitaan menjadi kenikmatan,
dan kemarahan menjadi kasih sayang. Seorang yang sedang dalam kecintaan pada
Allah, baginya tidak ada lagi kesombongan dan kebanggaan diri, tidak pula ada
kesedihan, ketakutan, kedengkian, kekikiran, dan tidak pula tersisa dalam
jiwanya kecuali sifat-sifat kemuliaan semata. Inilah mahabbah yang dituntut.
b. Ma’rifah menurut kaum sufi adalah dapat melihat
Allah dalam hati sanubari.
c. Al-Fana’ – fana’ (menghancurkan diri)
sehingga dapat bersatu (melebur) dengan Tuhan.
d. Al-Ittihad, yaitu seorang sufi merasa telah bersatu dengan Tuhan, di mana yang
mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu sehingga salahsatu di dari
mereka dapat memanggil yang satu lagi dengan kata-kata, “hai aku”.
e. Al-Hulul, Tuhan mengambil tempat dalam
diri hamba di saat manusia menghilangkan sifat kemanusiaan dalam dirinya sehingga yang ada adalah sifat ketuhanan.
f. Wahdatul wujud, di kala Allah ingin melihat
diri-Nya di luar diri-Nya maka ia menjadikan alam ini, maka alam ini merupakan
cermin bagi Allah. Maka di kala Allah melihat diri-Nya maka Dia pun melihat
kepada alam. Yang memiliki wujud sebenarnya hanyalah Allah. Dengan demikian
hanya satu wujud, yaitu wujud Tuhan.
Pemahaman seperti ini sungguh
sangat nista dan kotor. Karena, konsekuensinya berarti seluruh keburukan, binatang-binatang najis, kejahatan,
iblis, setan dan perihal buruk lainnya merupakan jelmaan Allah. Maha Suci Allah
dari perkataan orang-orang mujrimin (berbuat kejelekan).
Padahal Allah swt telah berfirman tentang diri-Nya, "… Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat." (QS. Asy Syura: 11).
Syaikhul Islam mengatakan,
“Aqidah yang dibawa para rasul dan yang termuat pada kitab-kitab yang Allah
turunkan, serta sudah menjadi kesepakatan Salaful Ummah dan para tokohnya,
yaitu penetapan bahwa pencipta itu berbeda dengan ciptaan-Nya, dan Dia berada
di atasnya (ciptaan-Nya)”.[20]
Demikian ditinjau dari aspek
agama (dalil). Sedangkan dari aspek aqli (logika), sungguh tidak mungkin
pencipta menyerupai yang dicipta. Apalagi kalau semua makhluk adalah juga
pencipta. Tentu sangat mustahil.
Kesimpulannya untuk membantah
pemahaman-pemahaman di atas (al fana’, al ittihad, al hulul, dan ma’rifah),
marilah kita merujuk kepada apa yang disebutkan oleh Ibnu Taimiah, “Dan
termasuk bahagian beriman kepada Allah ialah beriman (kepada-Nya) sesuai dengan
apa yang Ia sifatkan tentang diri-Nya dalam Kitab-Nya dan sesuai dengan apa
yang Rasul-Nya Muhammad saw sifatkan tentang diri-Nya, tanpa tahrif,
ta’thil, takyif, dan tamtsil. Bahkan mereka beriman bahwa Allah swt
tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dan Dialah Maha Mendengar lagi
Maha Melihat (QS. 42: 11)... karena Allah swt yang paling mengetahui tentang
diri-Nya dan tentang selain-Nya, Dia yang paling benar perkataan-Nya dan yang
paling baik penjelasan-Nya dari (perkataan dan penjelasan) para
mahluk-Nya. Kemudian para rasul-Nya, yang benar dan diakui kebenarannya (oleh
Allah). Tidak demikian halnya dengan orang yang berbicara tentang Allah dengan
apa yang mereka tidak ketahui, sebagaimana firman Allah, “Maha suci Tuhanmu
yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan
dilimpahkan atas para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian
Alam.” (QS. 37: 180-182). Maka Allah mensucikan diri-Nya dari penjelasa
orang-orang yang menyalahi para rasul tentang diri-Nya, dan Allah memberi salam
terhadap para rasul karena kebenaran penjelasan mereka (tentang Allah) yang
tidak mengandung kekurangan dan cacat, Ia telah menjamakkan terhadap apa yang
Ia sifatkan dan namai diri-Nya antara nafyi dan itsbat, maka
Ahlussunnah wal Jama’ah tidak akan menyelisihi apa yang dibawa oleh para rasul.
Itulah jalan yang lurus, yaitu jalannya orang-orang yang mendapat nikmat dari
Allah: para nabi, ash shiddiqin, asy syuhada’ dan ash sholihin.
(QS. 4: 69.)[21]
g. Hadis yang
dikutip, “Orang yang mengetahui dirinya, itulah orang yang mengetahui Tuhan”
adalah Hadis palsu.[22]
Begitu pula Hadis, “Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian
aku ingin kenal, maka kuciptakanlah makhluk dan melalui Aku mereka kenal padaKu.”
Adalah Hadis yang la ashla lahu alias tidak berdasar.[23]
Lain halnya
dengan KH. Hasyim Asy’ari, menurut hemat penulis, seluruh ajaran-ajarannya
tidak diketemukan hal-hal yang menyimpang dari akidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Seluruh ajaran-ajaran tasawuf yang beliau kembangkan mengarah kepada
pembersihan jiwa dengan cara memperbanyak mengingat Allah zikrullah
dengan ragam cara dan metode seperti melaksanakan amalan fardhu,
sunnah-sunnah, dan seterusnya. Ajaran yang semacam inilah akan melahirkan
sifat-sifat yang terpuji mahmudah seperti percaya al amanah,
pemaaf al afwu, benar ash shidiq, menepati janji al wafa’,
adil al adl, memelihara kesucian diri al iffah, malu al haya,
berani as syaja’ah, sabar as shabru, kasih sayang ar rahman,
murah hati as sakha, sederhana al iqtishad, rendah hati tawadhu’,
menundukkan diri pada Allah khsyu’, merasa cukup atas apa yang ada qana’ah,
lemah lembut ar rifq, dan toleran tasamuh. Selain beberapa sifat
terpuji yang bersemi dengan amalan-amalam tasawuf versi Hasyim As’ari, juga
amalan-amalan tersebut akan selalu mereduksi sifat-sifat tercela mazmumah
yang muncul dari jiwa-jiwa yang kotor karena kontaminasi bisikan para
laskar-laskar iblis, seperti sikap curang, zalim, berlaku tidak adil, berdusta,
mengingkari janji, sombong, wujub, gila pamrih, budak harta, meyusahkan orang
lain, merampas hak mereka, korupsi, kolusi, nepotisme dan seterusnya. Dalam
konteks ini peranan tasawuf ala pendiri Nahdatul Ulama ini sangat dibutuhkan
dengan tak kenal setting ruang dan waktu.
E. Tasawuf Alternatif
Risalah Islam
datang dengan membawa tiga pilar utama, yaitu tauhid, syariat, dan akhlak.
Ketiga unsur pokok ini tidak bisa terpisah antara satu dengan yang lainnya
alias harus saling bersinergi, idealnya makin murni tauhid seorang muslim maka
ia akan mudah menerima setiap ketentuan-ketentuan syariat, dan syariat yang
sempurna hanyalah jika diiringi dengan akhlak yang mulia.
Tasawuf
sebagaimana yang telah penulis paparkan di atas adalah salahsatu ajaran
tambahan dalam Islam yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah untuk
mendapat Ridho-Nya, agar kelak terbebas dari siksa api neraka dan di masukkan
kedalam surga Allah swt, dan inilah sebenarnya inti dan tujuan kita beribadah “nas’aluka
ridhaka wal jannah wa na’udzubika min sakhotika wa annar”, kami mohon ridho
dan surgamu (ya Allah), dan jauhkanlah kami dari murka dan siksa api neraka!
Demikian doa yang kerap kita baca.
Persoalan
tasawuf dalam Islam adalah persoalan klasik, para peneliti dari dulu hingga
kini masih belum dan tidak akan pernah sepakat tentang asal-muasal ilmu dan
istilah ini secara pasti. Semua pendapat bersifat relatif, hal itu kita bisa
maklumi karena memang istilah tasawuf sebagaimana yang dikatakan Al Qusyairi
dalam kitabnya Risalah Al Qusyairiah, bahwa istilah tasawuf tidak pernah
diketemukan padanannya dalam bahasa Arab apalagi dalam al Qur’an dan Hadis.
Hemat penulis
istilah tasawuf sebaiknya kita kembalikan kepada al Qur’an sebagai sumber utama
ilmu kita, sebagaimana penegasan Al Junaid bahwa ilmu kita harus selalu selaras
dengan kitabullah dan sunnah rasulullah. Nampaknya penulis lebih
cenderung menggunakan istilah tazkiyatun nafs dengan merujuk
kepada Firman Allah.
ôs)s9 £`tB ª!$# n?tã
tûüÏZÏB÷sßJø9$#
øÎ)
y]yèt/
öNÍkÏù
Zwqßu
ô`ÏiB
ôMÎgÅ¡àÿRr& (#qè=÷Gt
öNÍkön=tæ
¾ÏmÏG»t#uä öNÍkÅe2tãur ãNßgßJÏk=yèãur
|=»tGÅ3ø9$# spyJò6Ïtø:$#ur bÎ)ur
(#qçR%x.
`ÏB ã@ö6s% Å"s9
9@»n=|Ê
AûüÎ7B
ÇÊÏÍÈ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada
orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus diantara mereka seorang Rasul
dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah,
membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka al kitab dan al
hikmah, dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah
benar-benar dalam kesesatan yang nyata.” (Ali Imran [3]: 164).
Dan firman-Nya,
<§øÿtRur $tBur
$yg1§qy
ÇÐÈ $ygyJolù;r'sù
$yduqègéú
$yg1uqø)s?ur
ÇÑÈ ôs% yxn=øùr& `tB
$yg8©.y
ÇÒÈ
“Dan jiwa serta penyempurnaannya
(ciptaannya), maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan
ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. (QS. Asy Syams [91]: 7-9).
Dengan berpedoman kepada kitabullah dan sunnah rasulullah, maka dengan
sendirinya kita telah mengikuti pemahaman dan pengamalan yang tepat sebagaimana
telah dipraktikkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya yang mulia, lalu
ditransformasi pada generasi selanjutnya yang disebut tabi’in, pengikut tabi’in,
kemudian para imam mazhab, seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Syafi’i, dan
Ahmad bin Hambal. Mereka inilah yang tergolong sebagai Ahlussunnah wal Jama’ah
(baca: Sunni) yang menjadi acuan bagi generasi selanjutnya sampai masa sekarang
dalam berakidah dan beribadah.
Pembersihan
jiwa tazkiyatun nafs dalam terminologi di atas adalah upaya yang
sungguh-sungguh membersihkan jiwa dan hati dengan cara pengenalan pada Allah
secara benar dengan selalu menjalankan segenap perintah-Nya dan menjauhi
larangan-larangan-Nya. Inilah yang dimaksud dengan taqwa yang dengannya kita
kelak akan mendapatkan surga yang luasnya melebihi langit dan bumi sebagaimana
janji Allah. Wallahu a’lam!
BIBLIOGRAFI
A. Hanafi, Theology Islam, (Ilmu
Kalam), Jakarta: Bulan Bintang, 1962.
Abdul Qadir bin Habibillah As
Sindiy, Attashawwuf fi Mizanil Bahts wa at Tahqiq, wa ar Ra’du ‘ala
Ibni ‘arabiy ash Shufiy fi Dhau’i al Kitab wa Assunnah, Cet. I; Madinah al
Munawwarah, t.th.
Achmad Suyuti, Percik-percik
Kesufian, Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 1996.
As’ad Al Khatib, Al buthulah
wal Fida’ ‘Inda al Shufiyyah, diterjemahkan oleh Fathurrazi dengan judul, Kala
Nurani Terusik Tirani, Cet. II; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005.
Harun Nasution, Filsafat dan
Mistisisme dalam Islam, Cet. IX; Jakarta: Bulang Bintang, 1995.
Ibnul al Jawziy, Talbis Iblis,
Cet. I; Lubnan: Dar el Kutub ‘Ilmiyah, 1983.
Isa Malullah, Al Mukhtashar al
Hatsi tsiy, Cet. I; Kwait: Maktabah Gharas, 2008.
Julian Baldick, Mystical
Islam: An Introduction to Sufism, diterjemahkan oleh Satrio Wahono dengan
judul Mistik Islam, Cet. I; Jakarta: Serambi Ilmu, 2003.
Muhammad Ishomuddin Hadziq (ed.),
Kumpulan Kitab Karya Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari,
Tebuireng Jombang: Pustaka Warisan Islam, t.th.
Sa’id Hawwa, Tazkiyah al Anfus,
Cet. IX; Egypt: Dar es Salam, 2002.
Said bin Musafir Al Qahthani, Asy
Syaikh Abdul Qadir Al Jailani wa Arauhu Al I’tiqadiyah wa Ash Shufiyah,
diterjemahkan oleh Munirul Abidin dengan judul, Buku Putuh Saikh Abdul Qadir
Al Jailani, Cet. I; Jatiwaringin: Darul Falah, 2003.
Syamsuddin Arif “Manipulasi
Dalam Kajian Tentang Sufisme”, Jurnal Islamia Vol. III/No. I, 2006, hal.
23.
Titus Burckhardt, An
introduction to Sufi Doctrine, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Jaya
dengan judul Mengenal Ajaran Sufi, Cet. I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1984.
Yazid bin Abdul Qadir Jawwas, Mulia
dengan Manhaj Salaf, Cet. III; Bogor: Pustaka At Taqwa.
http://www.dorar.net diakses 11 April 2012
* Disampaikan dalam acara Diskusi Tasawuf, Menggugat
Ajaran Tasawuf; Sebuah Wacana Mencari Kebenaran, di Gedung Graha Pena
Makassar, tanggal 14 April 2012.
**Ketua Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam (LPPI) Perwakilan Indonesia
Timur, Anggota Komisi Dakwah MUI Makassar, Waketum Pimpinan Daerah Muhammadiyah Makassar.
[1] Abdul Qadir
bin Habibillah As Sindiy, Attashawwuf fi Mizanil Bahts wa at Tahqiq, wa
ar Ra’du ‘ala Ibni ‘arabiy ash Shufiy fi Dhau’i al Kitab wa Assunnah, (Cet.
I; Madinah al Munawwarah, t.th.), h. 1
[2] Keterangan yang gamblang mengenai Hadis-hadis yang berkaitan perpecahan iftiraq
serta kewajiban berpaham Ahlussunnah wal Jamaah, perintah untuk meneladani para
salaf (sahabat Nabi, tabi’in, dan tabi’-tabi’in) dapat dilihat dalam Yazid bin
Abdul Qadir Jawwas, Mulia dengan Manhaj Salaf, (Cet. III; Bogor: Pustaka
At Taqwa, 2009), hal. 96.
[4] Riwayat Baihaqi dalam Kitab Al Madhal, hal. 233, lihat juga Isa Malullah, Al
Mukhtashar al Hatsi tsiy, (Cet. I; Kwait: Maktabah Gharas, 2008), hal. 22.
[5] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Cet. IX;
Jakarta: Bulang Bintang, 1995), hal. 56.
[7]Abdul Karim bin Hawazin Al Qusyairi, penulis buku Arrisalah,
menekankan bahwa seandainya yang dimaksud dari kata sufi adalah ash
shaf al muqaddam shaf pertama (dalam shalat) maka pasti akan menjadi shaffiyah,
menurut beliau kata sufi itu lebih kepada istilah atau gelar yang tidak ada
padanannya dalam bahasa Arab. Lihat juga, Julian Baldick, Mystical Islam: An
Introduction to Sufism, diterjemahkan oleh Satrio Wahono dengan judul Mistik
Islam, (Cet. I; Jakarta: Serambi Ilmu, 2003), hal. 88.
[8]Ibid., hal. 57. Lihat juga footnote, Titus Burckhardt, An introduction
to Sufi Doctrine, diterjemahkan oleh Penerbit Pustaka Jaya dengan judul Mengenal
Ajaran Sufi, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), hal. 15.
[11] Menurut Syamsuddin Arif, kajian Sufisme yang berasal dari kaum
oreintalis setidaknya telah melahirkan beberapa teori tentang asal-usul sufisme
atau ajaran tasawuf, yaitu: Teori pertama mengatakan, ajaran tasauf
merupakan “produk samping” dari persinggungan Islam dengan agama-agama yang
lebih senior di sekelilingnya. Salah seorang penggagas teori ini adalah
Margaret Smith. Orientalis asal Inggris ini menyimpulkan bahwa tasauf Islam sebagian
besar telah dipengaruhi oleh ajaran Mistisisme Kristen. Teori kedua,
bahwa tasauf Islam besar kemungkinan berasal dari ajaran Upanishad dan Vedanta
Hindu, hal tersebut dapat dilacak dengan menyelami ajaran hindu yang
mengetengahkan perlunya menjauhi atau bahkan meninggalkan sama sekali ragam
kenikmatan jasadiah demi meraih kesucian dan ketenangan jiwa (moksa). Eksponen
teori ini diwakili antaran lain oleh Alfred von Kremer, R.C. Zaehner, dan Max
Horten. Teori kegita berpendapat, ajaran sufi banyak dipengaruhi oleh
tradisi Hellenisme abad pertengahan, dengan alasan bahwa dontrin-doktrin yang
dikembangkan kaum sufi mayoritas dapat ditemukan presedennya dalam tradisi
mistik dan gnostik Yunani. Teori ini termasuk favorit, namun para pengusung
teori ini tidak sepakat, apakah seluruh amalan para sufi berasal dari tradisi
Hellenisme atau hanya pada teoritisnya saja. Dengan alasan bahwa pengaruh
tradisi Yunani bukan terdapat pada aspek praktisnya, melainkan pada aspek
teoritisnya saja, ini dapat dibuktikan lewat jejak-jejak Neo-Platonisme dan
Aristotelianisme justru lebih nampak dalam bangunan pemikiran para tokoh sufi
ketimbang dalam manual praktis yang mereka tulis untuk para murid. Pengusung
teori ini adalah Stephen bar Sudaili, Simon Magus, R.A. Nicolson, dll. Teori
keempat, berusaha menjadi penengah dari tiga teori sebelumnya dengan
menyatakan bahwa ajaran sufi adalah mixing atau amalgamasi dari pelbagai
ajaran esoteris yang terdapat dalam tradisi Islam, Hindu, Budha,
Zoroastrianisme, Kristen, Neo Platonisme, dan Gnostisisme. Alasannya, tidak ada
kebudayaan dan pradaban yang berdiri sendiri dan lahir di ruang hampa. Setiap
tradisi pasti terpengaruh dan mengambil dari tradisi yang sedia ada. Teori ini
diusung oleh Martin Schreiner dan Ignaz Goldziher. Lihat Syamsuddin Arif “Manipulasi
Dalam Kajian Tentang Sufisme”, Jurnal Islamia Vol. III/No. I, 2006, hal.
23.
[13] Ibid., hal. 62. Selain itu ada juga tiga unsur
inti ajaran tasawuf yang sering dipaparkan yaitu, Takhalli min ar
Radza’il, mebersihkan hati dari sifat-sifat yang rendah dan hina,
seperti sikap kibru sombong, hasad dengki, riya’ mencari
popularitas, ujub meninggikan diri, thama’ serakah, hubbul jah
gila pangkat (jabatan), dll.; Tahalli bil Fadhail, menghiasi hati
dengan sifat-sifat utama dan terpuji, seperti tawadhu’ rendah hati,
ikhlas, qana’ah selalu merasa bersyukur, haya’ malu, al jud
murah hati, dll.; Tabarri’ amma Siwallah, memurnikan hati dari
apa saja selain Allah, sehingga tumbuh perasaan Mahabbah kepada Allah, selalu
rindu dan ridha kepada-Nya. Uraian lebih lengkap silahkan rujuk Achmad Suyuti, Percik-percik
Kesufian, (Cet. I; Jakarta: Pustaka Amani, 1996), hal. 12.
[14]Muhammad Ishomuddin Hadziq (ed.), Kumpulan Kitab Karya Hadratus
Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, (Tebuireng Jombang: Pustaka Warisan
Islam, t.th.) hal. 34.
[19]Salah satu penganut tasawuf yang sangat populer dan hingga kini memiliki
pengikut yang banyak adalah Syaikh Abdul Qadir Al Jailani, sebagaimana yang
dikutip oleh Dr. Said Al Qahthani, beliau menegaskan bahwa tasawuf adalah
percaya kepada Yang Haq (Allah) dan berprilaku baik kepada makhluk. Dan pada
kesempatan yang lain beliau menuturkan makna tasawuf, “Yaitu bertakwa kepada
Allah, mentaati-Nya, menerapkan syariat secara lahir, menyelamatkan hati,
mengayakan hati, membaguskan wajah, melakukan dakwah, mencegah penganiayaan,
sabar menerima penganiayaan dan kefakiran, menjaga kehormatan para guru,
bersikap baik dengan saudara, menasihati orang kecil dan besar, meninggalkan
permusuhan, bersikap lembut, melaksanakan keutamaan, menghindari dari
menumpuk-numpuk harta benda, dan tolong-menolong dalam urusan agama dan dunia.”
Lihat Said bin Musafir Al Qahthani, Asy Syaikh Abdul Qadir Al Jailani wa
Arauhu Al I’tiqadiyah wa Ash Shufiyah, diterjemahkan oleh Munirul Abidin
dengan judul, Buku Putuh Saikh Abdul Qadir Al Jailani, (Cet. I;
Jatiwaringin: Darul Falah, 2003) hal, 418. Ibnu Khaldun juga tidak ketinggalan
untuk terjun meneliti tentang ajaran tasawuf, Bapak sosiolog ini berpandangan
bahwa para pengikut tasawuf yang lazin di kenal sebagai kaum sufi adalah karena
mereka bersih dan terhindar dari segala macam perbuatan keji. Mengenai metode
para sufi ia menjelaskan, “Metode kaum sufi telah digunakan oleh kaum salaf
dari kalangan sahabat, tabiin, dan para pengikutnya. Metode ini bertujuan untuk
mendapat petunjuk Allah swt, dan menempuh jalur kebenaran. Dasarnya adalah
beribadah secara terus-menerus kepada-Nya dan berpaling dari kehidupan dunia.
Itulah yang sering dilakukan oleh para sahabat dan kaum salaf.” Lebih jauh
lagi, Ibnu Khaldun menjelaskan tentang kodifikasi ilmu tasawuf, beliau
berpendapat bahwa ketika ilmu mulai disusun secara sistematis dan dibukukan,
para ulama mulai menulis tentang ilmu fikih, ilmu kalam, tafsir, dan
sebagainya, maka para ulama sufi juga mulai menulis dan menjelaskan tentang
metode mereka. Menurut Imam Junaid, Tasawuf adalah mengikuti semua perangai
yang baik dan menghindari semua perangai yang buruk. Pengertian ini sangat
sulit dilaksanakan oleh setiap manusia. Sebab manusia pada dasarnya memiliki
hawa nafsu yang mendorong berbuat jahat. Oleh karena itu, pengertian tasawuf
seperti ini hanya mampu dilakukan oleh segelintir orang saja. Merekalah orang
yang benar-benar menyerahkan seluruh jiwa dan rela berkorban demi Allah
semata.” Imam Malik, pengasas mazhab Maliki berkata, “Orang yang menyucikan
diri, tetapi tidak mau mendalami agama, maka ia telah keluar dari Islam. Dan
orang yang mendalami Islam, tetapi tidak mau mensucikan diri, maka ia telah
fasik. Sedangkan orang yang menggabungkan keduanya, maka ia benar-benar telah
mencapai hakikat iman.” Imam Abu Hanifah dalam satu riwayat juga disebutkan
bahwa beliau sangat mencintai para sufi dan memuliakan kedudukan mereka.
Silahkan rujuk ke As’ad Al Khatib, Al buthulah wal Fida’ ‘Inda al Shufiyyah,
diterjemahkan oleh Fathurrazi dengan judul, Kala Nurani Terusik Tirani,
(Cet. II; Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2005), hal. 14.
[22] Tentang kepalsuan Hadis ini dapat dilihat dalam kitab Maudhu’at karya
As San’ani, Majmu’ al Fatawa Ibnu Taimiah, Madarijussalikin Ibnul
Qayyim, Tadriburrawi Asy Syuyuti, lihat, dorar.net. diakses 11 April
2012.
[23] Al Fawa’id Al Maudhu’ah fi Al Ahadits Al Maudhu’ah, Mar’i bin Yusuf Al Karmi, Dar Al Warraq, Beirut, Cet ke 3, 1419 H,
hal/no hadis: 102, lihat, dorar.net diakses 11 April 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar